Delapan Belas

1451 Kata
Ye-Jun melihat layar ponselnya, sudah 10 menit sejak Aida keluar dari rumah. Ye-Jun sudah mengirimkan pesan ke ponsel istrinya namun belum juga di baca maupun di balas. Rasa bersalah itu kian menusuk hatinya. Perasaan marah yang tadi ia rasakan pada Rika dan pamannya justru ia limpahkan pada Aida yang tidak mengetahui apa-apa. Apalagi Ye-Jun juga tidak memberitahu apapun pada Aida, termasuk saat Rika datang pada Ye-Jun saat di Jepang. Ye-Jun menghembuskan nafasnya berat, ia melihat jam dinding yang berada di atasnya, 20 menit lagi ia harus pergi menemui sutradara mengenai film yang akan di bintangi olehnya. Ye-Jun menaruh kembali ponselnya lalu beranjak pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian dan bergegas pergi ketempat meeting. Tidak sampai setengah jam saat Ye-Jun sampai ke tempat makan siangnya bersama sutradara dan beberapa tamu penting lainnya. Mengingat tadi Ye-Jun mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ye-Jun melihat manager nya sudah datang dan sedang berbincang dengan tamu yang ada. Ye-Jun mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan sebelum menghampiri mereka. Senyum bisnis terpampang di wajah tampannya. Semua pembicaraan tentang film terbarunya pun bisa di bilang lancar. "Jadi yang akan menjadi lawan main mu adalah Eunha, model wanita yang sedang naik daun dan juga aktris baru." Ucap salah satu sutradara di hadapan Ye-Jun. Jujur saja, untuk saat ini ia tidak begitu peduli pada siapa yang akan menjadi lawan mainnya. Biasanya Ye-Jun akan banyak bertanya tentang kredibilitas dari lawan mainnya, walaupun Ye-Jun juga terbilang aktor baru namun ia ingin semua film yang di bintangi olehnya sukses. Ia tidak ingin setengah-setengah dalam bekerja. Tapi kali ini ia benar-benar tidak peduli, pikirannya terlalu di penuhi dengan masalah yang sedang ia hadapi. Terutama karena Aida belum juga menjawab pesannya. "Apa ada yang ingin kau tanyakan Ye-Jun?" Tanya sutradara itu. Ye-Jun menggeleng, "Tidak, untuk saat ini saya yakin anda sudah menyeleksi para pemain dengan baik." Pria tua di hadapannya mengangguk seraya menyeruput minumannya. "Bagaiamana kabar istrimu?" Ye-Jun langsung mengubah duduknya tidak nyaman. Ia paling tidak suka jika ada yang bertanya tentang rumah tangganya di saat sedang meeting seperti ini. Ia tahu ini hanya sekedar basa-basi untuk mencairkan suasana, tetapi tetap saja ia tidak suka. Ye-Jun hanya mengangguk, "Dia baik. Lalu bagaiamana dengan lokasi syutingnya? Apakah sudah dapat tempat yang cocok?" Tanya Ye-Jun mengalihkan pertanyaan. Sutradara itu tersenyum lebar. "Ah, untung saja kau mengingatkan ku. Tentu saja lokasinya sudah di tentukan. Lokasinya berada di Indonesia, lebih tepatnya kita akan pergi ke beberapa kota di sana untuk mengambil beberpa part." "Indonesia?" Pria itu mengangguk yakin. "Iya, Indonesia. Setelah mendengar jika istrimu berasal dari sana. Aku penasaran dengan negara tersebut. Yang aku tahu dari Indonesia hanyalah Bali, tapi ternyata mereka memiliki tempat menarik lainnya dan sangat pas dengan kebutuhan syuting kita. Baik dari segi cerita ataupun pemandangan yang kita butuhkan." Jelas sutradara tersebut. Ye-Jun mengangguk paham, pikirannya kembali pada Aida. Haruskah ia mengajak istrinya ikut untuk pergi ke sana bersama? Ye-Jun kembali bertanya, "Kapan kita akan memulai syutingnya?" "Kita akan mulai syuting sekitar dua atau tiga bulan lagi setelah semua sponsor siap, kita akan sesegera mungkin untuk memulainya." Dua jam sudah mereka membicarakan agenda pekerjaan mereka kedepan. Setelah sutradara itu pergi, Ye-Jun meminta managernya untuk pergi lebih dahulu. Karena tadi ia membawa kendaraan sendiri Ye-Jun memutuskan untuk pergi seorang diri kembali ke studio menemui kedua rekannya dan berlatih untuk comeback mereka beberapa minggu lagi. Ye-Jun memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia berjalan santai menuju gedung yang sudah menaunginya selama ini. Ye-Jun melihat Nico yang juga baru datang. Pria itu pasti baru saja selesai pemotretan. "Nico!" Seru Ye-Jun. Nico yang merasa namanya di panggil langsung menolehkan kepalanya dan senyum lebar langsung menghiasi wajah tampannya begitu melihat Ye-Jun. "Hyung! Kau juga baru datang?" Ye-Jun mengangguk sekilas, "Yup.apa Yujin sudah datang?" Nico mengedikan bahunya tidak tahu. "Hari ini Yujin tidak ada pekerjaan. Kurasa dia masih ada di dorm. Hyung kan tahu bagaimana dia kalau sedang tidak ada pekerjaan.  Sister Complex satu itu kalau tidak di Dorm pasti ke tempat adiknya bekerja." Ye-Jun terkekeh geli, ia setuju dengan itu. Yujin benar-benar menyayangi adiknya itu. Kadang sahabatnya itu terlalu bersikap berlebihan jika berurusan dengan Eun-Ji. Mereka berjalan beriringan menuju tempat mereka biasa berlatih vokal maupun dance. Ye-Jun dan Nico langsung mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang lebih santai yang selalu mereka taruh di ruang ganti studio mereka. Satu jam setelah mereka berlatih, Yujin baru saja datang dengan tas besarnya. Nico yang sedang istirahat menaikan alisnya melihat tas besar Yujin. "Untuk apa kau membawa tas besar? Kau minggat dari Dorm?" Tanya Nico penasaran. Yujin menaruh tas itu dengan hati-hati. "Barang ini bukan milikku tapi barang milik adikku, dia ingin menitipkan barang-barang ini sementara karena ia akan mulai pindahan dari apartemen lamanya." Jelas Yujin. Ye-Jun ikut bergabung dengan obrolan kedua temannya itu. "Eun-Ji akan pindah apartemen?" Yujin mengangguk, "Iya, adikku akan satu apartemen dengan teman kerjanya. Kurasa itu lebih bagus dan lebih aman, daripada dia harus tinggal sendiri." Mereka kembali berlatih dengan Yujin sebagai satu kesatuan grup. Beberpa jam berlalu, waktu sudah menunjukan pukul 7 malam. Ye-Jun yang berniat untuk makan malam bersama Yujin dan Nico, meminta mereka untuk pergi ke restoran yang sudah mereka sepakati lebih dulu. Ye-Jun ingin membeli beberapa buga terlebih dahulu untuk meminta maaf pada Aida nanti saat ia pulang. Saat bunga sudah berada di tangannya langsung menyusul kedua sahabatnya itu. Segala skenario permintaan maaf sudah berada di kepalanya, namun semua itu hilang saat Ye-Jun melihat Rika dan juga suaminya itu berada di restoran tempat ia dan kedua sahabatnya itu makan malam. Awalnya mereka tidak melihat kehadiran Ye-Jun, namun teriakan Nico yang memanggil namanya justru membuat kedua orang yang tidak ingin ia temui itu justru langsung menatap Ye-Jun. Yujin yang juga menyadari siapa yang di tatap oleh Ye-Jun pun langsung menghampiri Ye-Jun berdiri di hadapan teman baiknya itu. "Kursi kita di sana, ayo." Kata Yujin sambil menarik lengan Ye-Jun agar segera pergi dari hadapan Rika dan suaminya. Namun tidak seperti harapan Yujin, wanita itu justru menghampiri mereka bertiga. "Aku tidak menyangka akan menemui mu di sini. Sudah ku bilang bukan, kau tidak akan bisa lari dariku." Yujin menatap Rika sengit. "Bisakah kau tidak mengganggu waktu makan malam kami? Kedatanganmu membuat udara di sini kotor." "Kau-" "Wah wah waahh. Sayang, ternyata kita bisa bertemu dengan Ye-Jun juga." Ucap suami Rika. Dengan santai ia menarik kursi kosong yang berada di meja sebelah dan duduk di hadapan Ye-Jun. Rika tersenyum miring, dan ikut duduk di samping suaminya. Yujin yang melihat itu hanya bisa berdecak kesal. Pria itu menatap Ye-Jun, senyumnya tidak hilang dari wajah pria itu. "Bagaimana kabar ibumu?" "Baik." "Kau masih saja irit bicara. Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku? Pada paman mu sendiri?" Ye-Jun hanya melanjutkan makannya tanpa niat untuk menjawab pertanyaan dari pamannya. "Ck, inilah sebabnya Rika lebih memilihku dan meninggalkan mu." Ucap paman Ye-Jun. Ye-Jun menghentikan kegiatan makannya, menatap kedua wajah di hadapannya. "Hiro-san, seperti biasa kau bangga sekali dengan wanita jadi-jadian ini." Kali ini buka Ye-Jun yang berbicara tetapi Yujin. Hiro melirik tajam kearah Yujin. Namun ia tidak mengangap ucapannya. Hiro kembali menatap Ye-Jun, "Ku dengar kau sudah menikah? Apa itu benar?" Ye-Jun masih tidak berbicara apa-apa, yang justru membuat Hiro semakin kesal. "Kasihan sekali istrimu, melihat sikap mu seperti ini dia pasti akan pergi meninggalkan mu." Ye-Jun mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan amarah yang terus menggroarotinya. Brak! Ye-Jun bangun dari duduknya dan segera pergi dari sana. Ia tidak peduli dengan Nico yang terus memanggil namanya. Ye-Jun terus melangkah ke tempat mobilnya terparkir. Ia menyalakan mobil tersebut dan pergi dari sana secepatnya. Ia menggenggam kemudi mobil dengan sangat erat hingga jarinya memutih. Begitu sampai di rumah, Ye-Jun memarkirkan mobilnya sembarang. Ia langsung bergegas memasuki rumahnya. Melihat Aida belum pulang membuat Ye-Jun semakin tidak karuan, Ye-Jun mengambil ponsel dari kantong celananya dan menekan nomor ponsel istrinya. Satu kali, dua kali panggilan itu tidak juga di angkat. Begitu Aida mengangkat telponnya, Ye-Jun langsung bertanya. "Kenapa kau tidak mengangkat telpon mu?! Dimana kau?!" Aida hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya. "Ya! Jawab aku! Apa kau ingin aku jemput?" Masih, Aida tida menjawabnya. Ye-Jun menghembuskan nafasnya, ia tahu Aida masih marah padanya. "Dengar, aku... Aku minta maaf sudah membentak mu tadi. Aku tidak bermaksud begitu. Ku mohon pulanglah." "Kenapa kau ingin Aida pulang? Kau kan sudah mengusir ku." Ye-Jun kembali menghembuskan nafasnya, "Aku benar-benar minta maaf, aku mohon. Aku... Aku membutuhkan mu..." "Kau baik-baik saja?" Tanya Aida dari sebrang sana, suara istrinya terdengar khawatir. "Aku benar-benar membutuhkan mu...." Tanpa menunggu respon Aida, Ye-Jun mematikan ponselnya. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan lelah. Entah sudah berapa lama ia seperti itu. Ye-Jun terkejut saat ada yang menyentuh kakinya, ia melihat Aida sudah datang. Kapan istrinya itu datang? Ia tidak mendengar apapun. "Kau... Tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Aida, Ye-Jun justru memeluk erat tubuh istrinya. Dan ia merasa sedikit nyaman saat Aida membalas pelukannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN