Kansa terkejut saat Niken tiba-tiba menarik sebelah tangannya. Untung saja dia tidak terjatuh karena tarikan tangan temannya itu.
“Halo, um … Pak Sultan.”
Sultan tidak hanya terkejut. Pria itu hampir saja berjingkat ketika tiba-tiba muncul dua orang perempuan menghadang jalannya. Sontak ayunan kakinya berhenti. Pria yang sudah berhenti berjalan itu menggulir bola mata ke arah sosok yang jelas ia kenal.
“Kenalkan, saya Niken, teman adik ipar pak Sultan.” Niken tersenyum sambil mengulurkan tangan kanan ke depan Sultan.
Sultan menghembus napas lega mendengar panggilan gadis yang baru saja memperkenalan diri itu pada Kansa. Sultan menurunkan pandangan mata—menatap tangan yang menggantung di depannya. Beberapa saat pria itu hanya menatap sebelum kemudian mau tidak mau meraihnya. Tidak lama, Sultan melepas jabat tangan mereka.
Kansa menatap sang teman sambil menahan ringisan. Entah apa yang nanti akan Sultan lakukan untuk membalas keisengan temannya ini.
“Kalian mau belanja?”
Mendengar suara Sultan, refleks kepala Kansa berputar ke depan. Kansa menatap Sultan dengan kening mengernyit halus. Tidak menyangka Sultan akan merespon Niken. Ia pikir pria itu akan langsung pergi.
“Iya. Eh … sebenarnya yang mau belanja Kansa, Pak. Dia mau beli ponsel yang paling baru.”
Kansa menyikut sang teman yang terlalu banyak bicara.
“Kenapa? Kan emang bener. Sama mau beli laptop baru.”
Kansa mendelik—memberi kode pada sang teman untuk tidak bicara lagi.
“Oh ….” Sultan menggerakkan kepala turun naik. “Selamat berbelanja kalau begitu.”
Niken tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. “Oh iya, selamat ya atas pernikahannya. Sayangnya tidak diberitakan, padahal kami sudah menunggu momen itu.”
Sultan melirik Kansa tidak lebih dari dua detik. “Kansa sepertinya cerita banyak sama kamu.”
Kansa langsung mengangkat tangan kanan lalu menggerakkan ke kanan kiri sambil menggeleng. Memberi tanda jika dia tidak melakukan seperti yang dikatakan oleh Sultan.
“Tidak, kok. Kansa ini orangnya kalau tidak diketuk, tidak bicara. Sudah diketuk bolak-balik saja suka tidak bicara. Dia tidak mau kasih lihat foto pernikahan Pak Sultan sama kak Nabila yang pasti wow banget.” Niken bicara panjang lebar.
“Tidak?” Alis Sultan terangkat, sekalipun dalam hati ia tertawa. Tentu saja tidak, karena foto itu tidak ada.
“Tidak. Dia pelit informasi, Pak. Saya saja minta dia kenalin ke Bapak tidak mau. Padahal saya mau tanya kalau mungkin Bapak punya adik laki-laki. Bisa gitu dikenalin sama saya.” Niken mengulum senyum malu-malu.
Merasa Niken sudah semakin bicara ngelantur, Kansa menarik sebelah tangan Niken. “Ayo, keburu tutup tokonya.”
“Ih, jam berapa toko tutup? Ngigau kamu, Kansa?” Niken dengan santainya menarik lepas tangan Kansa. Niken mengembalikan fokus pada pria bertubuh atletis di depannya. Mendongak, Niken sekali lagi tersenyum. “Pak Sultan punya adek laki-laki? Buat saya saja, ya? Jangan kasih Kansa.”
Kansa tersedak ludahnya sendiri. Gadis itu memutar tubuh ke samping seraya menepuk-nepuk pelan dadanya sendiri.
“Adikku perempuan.”
“Ah, tidak ada yang laki-laki?”
“Tidak ada.”
“Maaf, Pak. Kami permisi.”
“Eh … eh … Kansa, jangan ditarik ih.” Niken mengeluh ketika sang teman tanpa basa-basi langsung menariknya menjauh. Niken menoleh ke belakang. Meringis ketika bertemu tatap dengan Sultan yang masih berdiri di tempatnya.
“Pak,” panggil asisten pribadi Sultan.
“Ayo,” ajak Sultan yang detik berikutnya melanjutkan ayunan kaki. Bola mata Sultan bergerak ke arah eskalator—tempat saat ini Kansa dan Niken berdiri di salah satu anak tangga benda tersebut. Hembusan napas keluar dari celah bibir kecoklatan yang sedikit terbuka.
Sultan semakin curiga. Dari mana Kansa memiliki uang banyak? Gadis itu datang ke mall ternyata untuk membeli ponsel dan laptop baru? Itu bukan uang sedikit untuk anak seorang pembantu. Apa mungkin Kansa mendapatkan uang dari orang tua Nabila?
Ah, mungkin saja selama ini Kansa menabung uang yang diberikan oleh orang tua Nabila. Belum lagi Nabila juga pasti sering memberi adik angkatnya itu uang.
Sultan menghentikan ayunan kaki di depan lift yang pintunya masih tertutup. Dia datang untuk melihat toko barang-barang branded miliknya yang ada di mall ini.
****
“Kamu kenapa sih, Kansa? Kayak kaku banget sama kakak ipar sendiri.”
Kansa menoleh sambil mencebik. Niken tidak tahu apa-apa.
“Padahal baik loh ternyata. Kelihatannya saja dingin, tapi diajak ngobrol bisa kok. Kamu gimana, sih? Kalau aku jadi kamu, aku minta tas sama jam tangan. Noh, tas kamu sudah buluk gitu. Jam tangan kamu juga sudah—” Niken tidak melanjutkan kalimatnya. Gadis itu berdecak sambil geleng kepala. “Adik model ternama kok barang-barangnya buluk. Malu lah, Kansa.”
Kansa menarik langkah turun dari eskalator saat tangga berjalan itu tiba di lantai dua. Gadis itu tidak menggubris kalimat panjang lebar sang teman.
Niken hanya bisa berdecak melihat sang teman. Sungguh heran karena sang teman hidup dengan begitu sederhana, padahal dia anak angkat keluarga kaya. Pakaian dan barang-barang Kansa juga bukan barang bermerk.
“Ya sudah, lupakan saja. Sekarang mau cari di mana? Eh … itu. Ke sana saja.” Niken meraih sebelah tangan Kansa lalu menariknya. Keduanya berjalan menuju toko handphone yang cukup besar. Masuk ke dalam toko, sepasang sahabat itu kemudian sibuk memilih.
Kansa menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk mendapatkan ponsel dan juga laptop. Itu semua karena Niken. Dia yang mau beli, tapi Niken yang super repot. Membantu memilih, lalu menawar harga. Mereka sempat berpindah tempat tiga kali hingga menghabiskan waktu cukup lama.
Setelah mendapatkan dua barang yang dicari oleh Kansa, Niken menarik Kansa ke foodcourt. Mereka makan, sebelum akhirnya memutuskan pulang. Kansa mengantarkan Niken ke rumah gadis itu lebih dulu, baru kemudian pulang ke rumah Sultan.
Sampai di rumah, Kansa buru-buru masuk begitu melihat mobil Sultan sudah terparkir di depan rumah. Sial, pasti dia akan kena omel, batin Kansa. Kenapa juga pria itu pulang saat matahari baru akan tenggelam?
Dan benar saja, begitu langkah kakinya melewati ambang pintu, suara Sultan langsung terdengar.
“Sudah puas jalan-jalannya? Sampai kamu membiarkanku kelaparan?”
“Maaf, tadi—”
“Buruan sana mandi. Pastikan kamu pakai pakaian yang paling bagus. Kita akan ke rumah orang tua angkatmu sekarang.”
“Iya.” Kansa mengangguk patuh.
“Waktumu 15 menit, Kansa. Kalau 15 menit kamu belum sampai di sini, aku akan menghukummu.” Pria itu menahan tawa melihat Kansa berjalan terbirit masuk ke dalam rumah.
Pria itu kemudian menarik punggung ke belakang. Duduk menyandar sambil menggulir layar ponsel di tangannya.
****
Beberapa saat kemudian ....
Sultan langsung mengangkat tangan kiri begitu mendengar derap langkah cepat mendekat. Tidak perlu menoleh, ia tahu siapa pemilik langkah kaki tersebut.
“Empat belas menit, lima puluh delapan detik,” ujar pria tersebut. Kali ini pria itu memutar kepala. Sultan menatap Kansa yang baru saja berhenti berjalan.
Kansa menarik pelan namun panjang napasnya. Mulutnya terkunci sekalipun di dalam kepalanya, umpatan-umpatan itu sedang terucap. Bola mata gadis itu bergerak melirik Sultan yang masih duduk di tempatnya. Katanya mau cepat? Tapi sekarang justru terlihat enggan, batin gadis itu kesal.
Sultan menyapu penampilan Kansa dari atas sampai ke ujung kaki. Pria itu mendesah. “Itu pakaian terbaikmu?”
Kansa menurunkan pandangan mata--memperhatikan penampilannya sendiri. “Iya,” jawabnya yakin. Tidak ada yang salah dengan gamis yang dipakainya. Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar suara decakan Sultan.
“Ya sudah, ini … kamu tanda tangani dulu. Baru setelah itu kita berangkat.”
“Tanda tangan apa?” tanya Kansa terkejut.
“Baca sendiri.” Sultan mengedik ke atas meja. Ke arah selembar kertas yang sudah ia tandatangani.
Kansa menarik langkah mendekati meja. Membungkuk, gadis itu mengambil selembar kertas dengan materai di bagian bawah. Kedua alis Kansa bergerak begitu mulai membaca apa yang tertulis pada satu lembar kertas tersebut.
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Nuka Kansa Cahyani sebagai pihak kedua. Menyatakan bersedia mengikuti poin-poin di bawah ini selama berstatus sebagai istri Sultan Adinata Atmadja.
1. Bertanggung jawab pada kebersihan rumah.
2. Bertanggung jawab menyiapkan makanan untuk pihak pertama, yaitu Sultan Adinata Atmadja.
3. Bertugas melayani pihak pertama selayaknya suami, baik secara lahir, maupun batin.
4. Tidak berhak menolak apapun permintaan pihak pertama.
5. Berjanji tidak akan memberitahu siapapun tentang apa yang terjadi dalam rumah tangga pihak pertama dan kedua.
Kansa menelan saliva susah payah. Gadis itu mengangkat kepala. “Apa maksudnya bertugas melayani pihak pertama selayaknya suami, baik secara lahir maupun batin?” tanya Kansa.
“Kamu tidak paham tugas istri?” Sultan justru bertanya balik. Melihat ekspresi wajah Kansa, pria itu berdecak. “Selain mengurus semua kebutuhan fisik, seperti pakaian, makanan. Kamu juga harus melayaniku di atas ranjang.”
“A-a-apa?” Bola mata Kansa nyaris meloncat keluar dari kelopaknya. Jantungnya berdegup kencang.
“Kamu pikir aku robot? Aku laki-laki normal. Aku punya libido tinggi. Aku membutuhkan pelepasan. Sekarang kamu yang jadi istriku, jadi kamu yang harus memuaskanku di atas ranjang. Jangan kamu pikir aku menginginkan itu karena kamu. Sama sekali tidak. Kamu bukan seleraku." Sultan mendesah.
"Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku bukan pria yang suka jajan di luar.” Sultan melanjutkan.
“Jadi, kamu harus datang ke kamarku setiap kali aku membutuhkanmu di atas ranjang. Mungkin aku harus menutup mukamu dengan topeng perempuan cantik, supaya aku bisa puas. Sialan. Sudah, cepat tanda tangan. Kita harus segera berangkat.”