Kansa mengerjap melihat uluran tangan Sultan. Wanita itu menelan saliva.
“Ayo,” ajak Sultan. Pria itu membuka lebih lebar sepasang matanya saat Kansa hanya menatapnya. Menggerakkan tangan yang terulur, namun belum disambut. Bola mata pria itu kemudian bergulir, memberi kode supaya Kansa segera meraih uluran tangannya.
Kansa meremas telapak tangannya. Mengusap ke gamis, keringat yang membuat telapak tangannya basah, baru setelah itu meraih uluran tangan Sultan. Sementara sebelah alis Sultan terangkat melihat apa yang baru saja Kansa lakukan.
Sultan menarik napas panjang. Menggenggam tangan Kansa lalu menariknya. Kedua kaki pria itu bergerak terayun meninggalkan mobil roll royce warna silver favoritnya.
“Ingat, panggil aku abang di depan mereka. Mengerti?" ucap Sultan dengan suara rendah, tanpa mengalihkan tatapan ke arah pintu yang sudah terbuka. Sorot matanya menatap sosok perempuan yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan marah.
Satu sudut bibir Sultan berkedut sebelum terangkat membentuk sebuah seringai. Akan tetapi, seringai itu tidak bertahan lama begitu satu sosok lain muncul di belakang tubuh sang perempuan. Ekspresi wajah pria itu langsung berubah mengeras.
Kansa menahan ringisan saat merasakan tangan besar Sultan meremas telapak tangannya lebih kuat. Gadis itu menarik napas. Mengikuti kemana arah tatapan mata Sultan. Kansa mendesah setelah melihat kakak angkatnya lah yang sedang menjadi fokus mata Sultan. Dan membuat Sultan melampiaskan amarahnya dengan meremas kuat telapak tangannya.
Cemburu? Tentu saja tidak, karena Kansa tahu Sultan menikahinya bukan karena cinta. Alasan pria itu menikahinya dengan mengatakan dialah perempuan yang dicintai, hanya omong kosong.
Kansa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dia bisa menebak jika Sultan marah pada kakak angkatnya. Pria itu ingin membalas kakak angkatnya dengan menikahi dirinya. Membuat kakak angkatnya marah. Lebih tepatnya mungkin … membuat kakak angkatnya merasa terhina.
“Untuk apa kalian datang ke sini?” tanya Nabila sambil menatap tajam Sultan. D*da wanita itu bergerak naik turun dengan cepat seiring emosi yang sudah naik. Wanita itu masih berdiri di ambang pintu—menghentikan ayunan kaki Sultan dan Kansa.
Bola mata Nabila bergerak ke samping. Menekan keras katupan rahangnya, menatap penuh amarah gadis yang sudah ia anggap seperti adik sendiri itu. Lalu beberapa detik berikutnya bola matanya kembali bergerak. Turun ke arah dua tangan yang saling menggenggam.
“Kami datang sebagai keluarga. Kami ingin mengunjungi keluarga kami. Ibu istriku. Orang tuamu juga orang tua angkat istriku. Berarti keluargaku juga.” ucap Sultan panjang lebar.
Fokus mata Nabila kembali pada mantan calon suaminya. Emosinya semakin meluap-luap mendengar apa yang Sultan katakan. “Kalian tidak diterima di rumah ini. Dia bukan lagi keluarga kami. Kalau kalian datang untuk menemui babu di rumah kami, kalian tahu dimana tempatnya. Pergi dari sini,” marah Nabila yang sudah tidak bisa menahan emosi.
Sultan mendengkus. Pria itu meneleng, menatap ke belakang tubuh Nabila. “Oh, sepertinya karena kamu sedang ada tamu. Halo Darius. Bagaimana kabarmu? Sudah dapat investor baru?” tanya Sultan seraya tersenyum mengejek.
Darius tidak menjawab. Pria itu hanya menekan-nekan katupan rahangnya.
“Baiklah. Kami tidak akan mengganggu kalian.” Sultan menoleh ke samping. “Ayo, Sayang. Kita temui ibu. Mereka mungkin ada urusan rahasia yang tidak boleh kita tahu.” Sultan tersenyum saat Kansa menoleh ke arahnya.
“Baiklah, kami permisi,” pamit Sultan seraya menarik kembali tangan sang istri. Berbalik, Sultan melepas genggaman tangannya lalu merengkuh bahu Kansa seraya berjalan meninggalkan teras rumah keluarga Nabila.
“Kamu lihat mereka? Aku benci mereka. Dasar pengkhianat!”
Sultan tersenyum tipis mendengar teriakan penuh emosi Nabila. Teriakan itu terdengar seperti alunan musik indah di telinganya. Sultan mendekatkan bibir ke kepala Kansa, lalu mengecup kepala yang terbungkus oleh selembar kain warna putih tersebut.
“Sultan, Brengs*k! Kamu akan menyesal mengkhianatiku. Apa baiknya anak babu itu?”
Sultan membelokkan langkah kaki sambil kembali mengecup kepala Kansa. Menunjukkan keromantisan pada mantan calon istrinya. Seperti apa rasanya dikhianati? Itu belum seberapa, Nabila. Aku akan membuatmu merangkak di bawah kakiku, meminta maaf karena sudah mengkhianatiku. Sebelum itu, kamu harus merasakan sakit hati lebih dulu.
“Kamu lihat itu, Darius? Mereka berdua menusukku dari belakang.”
“Sudah kukatakan Sultan tahu tentang kita. Dia melakukannya untuk membuatmu sakit hati.” Daris menarik sebelah tangan Nabila, menyeret ketika wanita itu masih berusaha bertahan di tempatnya berdiri. “Untuk apa melihat mereka, hah? Itu yang Sultan inginkan. Apa kamu tidak paham?”
“Lepaskan tanganku. Kamu menyakitiku, Darius." Nabila menghentak tangan Darius. Menatap tidak suka pria tersebut.
“Sadar, Nabila. Aku benci melihatmu cemburu pada pria itu. Lupakan dia. Ada aku. Kenapa kamu masih juga tidak mau melihatku saat ada dia, hah? Apa kamu tidak tahu kalau apa yang kamu lakukan itu menyakitiku? Aku tidak mau kamu jadikan pelampiasan saja, Nabila. Saat tidak ada Sultan, kamu datang padaku.”
Darius mulai ikut emosi. “Kamu menerima ciumanku, sentuhanku, tapi tidak ingin kehilangan Sultan. Itu namanya tidak adik, Nabila. Biarkan pria itu bersama anak pembantu. Lupakan dia. Kita nikmati hubungan kita sendiri.”
“Hubungan apa? Kita tidak pernah punya hubungan.”
“Nabila ….” Darius menggeram. “Hubungan apa kamu tanya? Hubungan suami istri. Itu yang sudah kita lakukan.” Darius menatap marah Nabila yang selalu saja mengelak dari hubungan romantis mereka.
“A-apa? Apa yang kamu katakan, Darius? Apa kamu bilang tadi?"
Nabila dan Darius terbelalak begitu mendengar suara lain. Keduanya dengan cepat memutar kepala. Bola mata Nabila nyaris meloncat keluar dari kelopaknya, melihat sang mama berdiri terpaku dengan wajah terkejut.
“Ma-Mama ….” Gagap Nabila, terlihat bingung harus bersikap seperti apa. Dia tidak melihat kedatangan mamanya.
Pun dengan Darius yang tidak mendengar langkah kaki mendekat. Emosi membuat mereka berdua kebablasan bicara. "Tante ...."
“Nabila … apa yang tadi Darius katakan, hah? Jangan bilang kalau selama ini kalian ….” Mama Nabila tidak menyelesaikan kalimatnya. Shock. Wajah wanita itu pias setelah mendengar sesuatu yang langsung berdenging di telinganya.
Mama Nabila menatap sang putri, lalu beberapa detik kemudian mengalihkan pandangan mata pada Darius. Sahabat Sultan yang juga teman baik putrinya.
Kepala mama Nabila menggeleng. Tidak ingin mempercayai apa yang didengar oleh telinganya. Melihat baik Darius maupun putrinya sendiri terdiam, wanita itu merasakan d*danya seperti terbakar. Tidak mungkin putrinya memiliki hubungan gelap dengan sahabat Sultan.
“Ma,” panggil Namila melihat wajah kecewa mamanya. Nabila menarik langkah mendekati sang mama.
“Apa tadi yang kamu katakan, Darius? Jawab Tante, Darius.” Mama Nabila beralih pada Darius. Menatap marah pria yang ia pikir baik.
“Maaf, Tante. Maafkan aku. Aku … Aku mencintai Nabila,” jujur Darius. Sudah terlanjur basah, dia tidak akan menutupinya lagi.
“Berhenti bicara, Darius.” Nabila tidak suka mendengar pengakuan Darius.
“Tidak ada yang salah dengan perasaanku. Aku mencintaimu, Nabila. Dan kamu juga mencintaiku.” Darius benar-benar sudah tidak ingin menutupi hubungan mereka. Dia ingin Nabila juga mengakuinya.
“Aku tidak pernah mencintaimu. Tidak pernah. Aku mencintai Sultan.” Nabila menekan tiga kata terakhir. Membuat Darius menggeram tertahan.
“Nabila ….”
“Itu hanya emosi sesaat. Hasrat sesaat yang tidak bisa kubendung. Tapi, bukan karena cinta. Aku tidak mencintaimu, Darius. Tidak pernah, dan tidak akan pernah. Kamu bukan Sultan.”
Kalimat yang dikatakan oleh Nabila membuat Darius sakit hati. Sementara mama Nabila memegangi d*da sembari meringis. Ucapan sang putri justru mengkonfirmasi jika ia tidak salah mendengar. Putrinya berhubungan dengan Darius saat masih menjadi calon istri Sultan.
“Kamu menyakitiku, Nabila. Apa kamu pikir aku ini … gig*lo? Yang kamu datangi hanya saat kamu berhasrat sesaat?”
Langkah kaki mama Nabila tertarik ke belakang. Kepala wanita itu menggeleng beberapa kali. Semakin mendengar pembicaraan Darius dan putrinya, semakin nyeri d*danya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa putrinya berhubungan dengan Darius, padahal sudah memiliki pria seperti Sultan?
“Kamu tidak pernah bisa menolak sentuhanku. Mulutmu masih saja tidak mau mengaku. Kamu mencintaiku, Nabila.” Darius mencengkram pergelangan tangan Nabila sambil menatap tajam wanita tersebut.
“Kamu tidak bisa—”
“Lepaskan aku. Lepaskan, Darius. Gara-gara kamu aku kehilangan Sultan. Tidak. Aku akan mendapatkan Sultan lagi. Kamu … kamu jangan pernah menemuiku lagi. Pergi, Darius.”
‘BRUUKKK!’
Suara keras benda jatuh membuat dua orang yang sedang bersitegang itu menoleh bersamaan. Sepasang mata Nabila membola.
“Mama ..!”