Bab 11. Hanya Pura-Pura.

1626 Kata
“Silahkan diminum, Nak Sultan.” Ibu Kansa mempersilahkan menantunya untuk menikmati teh yang baru saja Kansa letakkan ke atas meja. Wanita dengan kulit wajah kering serta berkeriput itu meneleng—memperhatikan sang menantu yang seperti tidak mendengarnya. Menantunya terlihat sedang melamun. Kansa berdehem untuk menyadarkan Sultan dari lamunan pria tersebut. Deheman pertama masih belum bisa menarik Sultan dari dunianya sendiri. Mungkin kurang keras, batin Kansa yang kemudian berdehem sekali lagi. Kali ini lebih keras. Sultan mengerjap. Refleks pria itu mengangkat wajahnya. Terkejut ketika mendapati wanita yang berstatus sebagai ibu mertuanya, saat ini sedang menatapnya lekat. Pria itu menegakkan punggung lalu menoleh. Tarikan napas panjang Sultan lakukan. Berusaha menahan rasa kikuk karena ketahuan melamun. Sialan. Kenapa dia harus terpancing melihat Darius ada di rumah itu? Seharusnya dia tidak terkejut mendapati pria itu ada di rumah Nabila. Bukankah dia sudah tahu jika dua orang itu punya hubungan khusus? Dia tidak ingin marah, tapi nyatanya dia marah. Bukan hanya marah, namun masih ada rasa cemburu melihat mereka bersama. “Diminum, Bang. Mumpung masih panas.” Kansa memecah hening. Gadis itu duduk di sofa yang sama dengan sang suami. Jangan bayangkan sofa yang ada di tempat itu seperti sofa di rumah utama, atau di rumah megah Sultan. Jauh berbeda, ibarat langit dan bumi. Sultan merubah posisi duduk saat merasakan pantatnya semakin panas. Per sofa itu menonjol di beberapa tempat, dan pantatnya juga bisa merasakan kerasnya kerangka sofa. Entah kemana menghilangnya busa yang seharusnya ada di permukaan sofa. Kansa menarik punggung ke depan. Gadis itu mendorong pelan cangkir lebih mendekat ke depan Sultan, seolah memberi isyarat agar Sultan segera menikmati minumannya. Kansa tidak merasa nyaman di tengah ibu dan suaminya. Dia serba salah. Apalagi sadar jika Sultan juga tidak nyaman berada di dekat ibunya. Sultan meraih gagang cangkir putih yang warnanya sudah kecoklatan. Entah' mungkin sudah puluhan tahun usia cangkir keramik ini. Pria itu dengan terpaksa membawa tepi cangkir ke sela bibir. Karena tidak ingin terlalu lama menempelkan cangkir ke bibirnya, Sultan meneguk cepat. Sayang seribu sayang, cairan di dalam cangkir ternyata masih sangat panas hingga Sultan merasa lidahnya seperti terbakar. Kulit wajah Sultan merah padam. Dengan sangat terpaksa ia menelan cairan panas itu hingga tenggorokannya pun terasa panas. Tidak mungkin ia menyemburkan air dalam mulutnya, sementara ibu mertuanya duduk di depannya. Buru-buru Sultan meletakkan kembali cangkir ke atas meja. “Masih panas,” gumam Kansa pelan. Sultan yang masih bisa mendengar gumaman pelan Kansa, melirik gadis itu. Menahan kesal dengan menekan katupan rahangnya. Mengumpat Kansa dalam hati. Kansa mengambil potongan singkong goreng, lalu menggigit. Mengunyah pelan tanpa peduli tatapan tajam pria yang duduk di sebelahnya. “Nak Sultan tidak suka singkong goreng?” Bola mata Sultan bergerak ke arah sang penanya. Pria itu berdehem. “Saya sudah kenyang, Bu. Kansa masak banyak tadi,” bohong Sultan membuat alasan. Pada kenyataannya dia belum makan karena Kansa terlambat pulang. Sultan tidak pernah makan makanan rakyat kecil itu. Dia makan burger, donut dengan berbagai macam isian serta topping. “Oh ….” Ibu Kansa tersenyum. Menggeser pandangan mata, menatap bangga sang putri yang bisa melayani suaminya dengan baik. “Nanti bungkus saja, bawa pulang biar suamimu bisa nyicip.” Kansa menganggukkan kepala. Tersenyum saat tatapannya bertemu dengan sepasang mata sang ibu. Dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Bukan Kansa tidak tahu kalau sebenarnya Sultan hanya tidak berkenan memakan singkong goreng tersebut. Sebenarnya pria itu lapar karena belum makan. Biarkan saja. Salah sendiri tidak mau singkong. Padahal enak. Kansa mengambil satu lagi potongan singkong goreng. Dia menyukainya. “Kalian tidak usah sering-sering ke sini. Nanti nyonya dan tuan marah.” Suara ibu Kansa kembali terdengar di tengah suasana hening ketika Sultan memilih diam, sementara Kansa fokus menikmati singkong goreng. Kunyahan Kansa berhenti. Gadis itu menggeser bola mata, menatap lekat sang ibu. Sumi tersenyum. “Saat ini mereka masih belum bisa menerima. Sebaiknya sementara waktu kalian tidak ke sini. Bukan Ibu tidak senang kalian datang mengunjungi Ibu, hanya saja waktunya belum tepat. Mereka masih butuh waktu untuk bisa legowo menerima apa yang terjadi.” Wanita tua itu menjelaskan. Kansa menelan paksa kunyahan yang sebenarnya masih belum benar-benar halus. Gadis itu mengatur pelan tarikan dan hembusan napasnya. “Maaf, Nak Sultan. Ibu ingin tanya. Kenapa Nak Sultan membatalkan pernikahan Nak Sultan dengan non Nabila? Dan kenapa memilih anak seorang pembantu?” Pertanyaan ini sudah Sumi pendam sedari awal kejadian itu. Dan baru kali ini ia berani menanyakan langsung pada Sultan. Sumi sadar diri. Pria yang duduk terpisah meja dengannya ini seseorang yang setara dengan putrinya. Meskipun Kansa dijadikan anak angkat oleh majikannya, bukan berarti derajat Kansa menjadi tinggi. Sultan membelah sepasang bibirnya. Hembusan karbondioksida keluar sebelum kemudian suara pria itu terdengar. “Karena ternyata yang saya cintai itu Kansa, bukan Nabila. Saya sudah mengatakan itu. Dan hanya itu alasan saya, Bu. Tidak ada yang lain,” kilah Sultan menutupi kebohongannya. Sumi diam beberapa saat, memperhatikan ekspresi wajah menantunya. Wanita tua itu menarik dalam-dalam napasnya. “Kalian tidak pernah bicara berdua,” kata Sumi tanpa berharap jawaban dari Sultan, karena memang wanita itu tidak sedang bertanya, namun menegaskan. “Ibu tidak suka saya jadi menantu Ibu?” Sepasang mata wanita tua itu mengedip. “Bukan begitu." Hembusan karbondioksida keluar dari celah bibir kering yang sedikit terbuka. "Nak Sultan terlalu tinggi untuk anak Ibu.” Satu sudut bibir Sultan sudah akan terangkat mendengar pujian ibu Kansa, tapi, pria itu dengan cepat menahan hingga terlihat kedutan di sudut bibirnya. Pria itu melirik ke samping. Sedangkan Kansa hanya menarik napas panjang. Dia memang miskin, hanya anak seorang pembantu, tapi dia tidak berkecil hati karena semua yang terjadi atas seizin Tuhan. Ibunya memang miskin secara ekonomi, tapi hati wanita itu sangat kaya. Tidak ada hal yang membuatnya malu dengan kenyataan menjadi anak dari Suminarti. “Di depan Allah kita semua sama, Bu. Hanya iman saja yang membedakan.” Suara Kansa menghilangkan kedutan di sudut bibir Sultan. “Kansa.” Nada suara Sumi saat memanggil, membuat Kansa mendesah. Kansa merapatkan sepasang bibirnya, menatap sang ibu dengan tatapan dalam. Ibunya selalu rendah diri karena pekerjaannya hanya pembantu rumah tangga. “Terima kasih Nak Sultan tidak memandang rendah anak Ibu, padahal dia hanya anak pembantu. Padahal Nak Sultan bisa mendapatkan perempuan cantik, pintar dan kaya di luar sana. Tapi Nak Sultan memilih Kansa." Sumi tersenyum. "Ibu doakan kalian berdua bahagia.” Sumi tersenyum sekali lagi. Meskipun sebenarnya masih ada yang mengganjal di dalam hati, namun perempuan itu berusaha mempercayai sang menantu. Percaya jika benar pernikahan itu terjadi karena cinta. Sekarang dia hanya perlu bertahan menghadapi kebencian majikannya. Apa boleh buat. Sekarang putrinya sudah menikah dengan pria yang sebelumnya akan menikah dengan anak majikannya. “Seperti kata istriku, di depan Tuhan kita semua sama, Bu.” Sultan mengulang apa yang disampaikan oleh Kansa sebelumnya, membuat Sumi tersenyum lebih lebar. Kagum pada menantunya. Pria dari keluarga kaya raya yang tidak membedakan status sosial mereka. Tidak banyak orang kaya seperti menantunya ini. Kebanyakan orang kaya akan memilih menikahi sesama anak dari keluarga kaya. “Saya sangat beruntung memiliki Kansa.” ‘UHUK! UHUK!’ Kansa tersedak ludahnya sendiri. Buru-buru Kansa mengambil cangkir di depan Sultan lalu meneguk beberapa kali. Beruntung cairan di dalamnya sudah tidak terlalu panas hingga ia tidak harus merasakan lidahnya terbakar. Kansa mendesah setelah melepas cangkir dari mulutnya. Satu tangan gadis itu bergerak menepuk-nepuk d*da. Kansa mengerjap saat menoleh dan menyadari tatapan aneh Sultan. Melihat kemana bola mata Sultan bergerak, Kansa berpura-pura terbatuk lalu mengembalikan cangkir ke depan Sultan. Masih ada isinya. Dia tidak menghabiskannya kok, batin Kansa. Oh … salahnya karena dia hanya membuat dua cangkir teh. Satu untuk Sultan, dan satu lagi untuk ibunya. Saat tersedak, logikanya tidak bekerja. Refleksnya mengambil cangkir yang paling dekat darinya. Di seberang meja, Sumi tersenyum. Ternyata sang putri sengaja tidak membuat minuman untuk dirinya sendiri karena ingin berbagi minuman dengan sang suami. Sumi mengingat masa lalunya. Dulu ia juga sering berbagi minuman, dan makanan dengan bapak Kansa. Suara ketukan membuat tiga orang yang sedang duduk di meja tamu itu menoleh bersamaan. “Nyonya pingsan.” Sumi langsung beranjak dari tempat duduknya. Tanpa pikir dua kali, perempuan yang sudah tidak muda tersebut menarik langkah keluar dari balik meja kayu. Berjalan cepat menghampiri kakaknya yang berdiri di luar pintu. “Pingsan?” “Iya, Sum. Sekarang di rumah besar sedang ribut karena nyonya pingsan, dan belum bangun-bangun.” Mendengar apa yang pakdenya katakan, Kansa ikut berdiri. Begitupun dengan Sultan. “Aku akan ke sana melihatnya. Selama ini nyonya sehat.” Sumi menoleh ke belakang. “Kalian di sini saja,” pesan wanita itu sebelum berjalan cepat bersama sang kakak menuju rumah utama. “Mau ke mana?” tanya Kansa melihat Sultan berjalan meninggalkan sofa. “Melemaskan pantatku. Memangnya pantatmu tidak sakit duduk di tempat duduk yang sudah tidak layak itu? Buang saja. Lebih baik lesehan di lantai daripada duduk di kursi seperti itu.” “Pantatku baik-baik saja. Mungkin karena p****t Abang tepos.” “Apa?” Sultan tidak bisa menahan ekspresi wajahnya. Sepasang mata pria itu melotot. Sementara orang yang dipelototi menatapnya dengan ekspresi datar dan mata mengedip. “Mulutmu itu … jarang terbuka, tapi sekalinya terbuka yang seluar semburan naga,” kata Sultan. “A-a-a-apa?” Mulut Kansa menganga. “Sebaiknya jangan bicara. Tutup saja mulutmu.” Lalu Sultan berjalan melewati Kansa. “Jangan ke sana. Abang hanya akan membuat suasana tambah kacau.” Sultan menghentikan ayunan kaki lalu menoleh. “Jangan memanggilku abang kalau tidak ada orang. Seingin itu kamu memanggilku Abang? Lakukan di dalam mimpimu saja,” ujar pria itu sebelum melanjutkan ayunan kakinya. “Aku saja sudah bosan setiap hari bertemu denganmu. Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi dalam mimpiku,” gumam pelan Kansa. Menarik pelan namun panjang napasnya, Kansa akhirnya mengikuti Sultan yang sudah jauh di depannya. Dia tidak akan masuk. Hanya akan mendengar dari luar saja. Kenapa tiba-tiba ibu angkatnya itu pingsan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN