Bab 12. Penghinaan.

1812 Kata
“Kamu sudah tidak di terima di rumah ini, Sultan.” Darius menahan Sultan yang hendak masuk ke dalam rumah. Beruntung ia keluar sehingga bisa menghalangi Sultan masuk. “Aku hanya ingin melihat kondisinya. Biar bagaimanapun juga, dia ibu angkat istriku,” kata Sultan, seolah benar-benar khawatir. “Apa kamu masih tidak mengerti juga? Mama Nabila jadi seperti itu karena siapa? Karena kamu, Sialan. Semua terjadi karena kamu,” hardik Darius dengan wajah merah padam karena marah. Sultan mendengkus. “Karena aku? Yakin karena aku? Kalau aku penyebabnya, dia sudah pingsan waktu itu. Saat aku mengganti nama anaknya dengan Kansa. Buktinya waktu itu dia tidak pingsan. Jadi, jangan mencari kambing hitam.” Sultan menepis tuduhan Darius. Sultan menyeringai, menatap mengejek pria yang sebelumnya adalah sosok yang sangat ia percaya. Sahabat yang dengannya Sultan ceritakan suka dukanya. Teman tertawa. Teman minum, dan juga teman dalam berbisnis. Sayang, semuanya Darius hancurkan dengan pengkhianatan. Pria itu menarik langkah mendekat, namun kembali didorong menjauh oleh mantan sahabatnya. Ya, Sultan sudah tidak lagi menganggap Darius sebagai sahabat. Pertemanan mereka sudah putus. “Awas, minggir. Jangan menghalangiku. Aku hanya ingin melihat kondisinya.” “Brengs*k. Sudah kukatakan kamu tidak lagi diterima di rumah ini.” Darius kukuh menghalangi Sultan yang ingin masuk ke dalam rumah. “Setelah menyakiti putrinya, sekarang kamu berpura-pura peduli padanya? Jangan munafik, Sultan. Pergi kamu.” Darius mengusir Sultan. Darius mendengkus. “Kamu sudah mendapatkan perempuan yang kamu cintai. Untuk apa kamu peduli pada mama Nabila?” “Apa telingamu tuli? Dia orang tua angkat istriku,” sahut cepat Sultan. “Ya … ya istrimu. Silahkan nikmati anak pembantu itu.” Darius menatap mengejek Sultan. “Apa kamu menikmati kulitnya yang pasti tidak selembut kulit Nabila? Ah, mungkin kulitnya kasar, dan tidak mulus.” Sultan menekan-nekan katupan rahangnya. Amarah dengan cepat membakar d*danya saat membayangkan apa yang sudah diperbuat oleh Darius dan Nabila. Dua orang yang sangat dia percaya, yang ternyata menusuknya dari belakang. “Katakan padaku. Kamu pasti bisa membedakan kelembutan kulit Nabila dan anak pembantu itu.” “Berhenti bicara, Sialan.” “Aku baru tahu kalau ternyata seleramu itu anak babu. Pantas saja kamu tidak bernafsu dengan Nabila.” Sepasang mata Darius mengecil saat pria itu tertawa mengejek Sultan. Dia semakin yakin jika Sultan sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Nabila. Sultan tidak bisa lagi menekan emosi yang dengan cepat meluap-luap. Dengan tangan kanan mengepal, pria itu menarik langkah lebar, lalu mengayun kepalan tangannya. 'BUGH!' Sepasang mata Darius membesar. Darius meringis sambil memegangi pipi sebelah kiri. Wajahnya tertoleh keras ke kanan setelah kepalan tangan Sultan menghantamnya. “Arrghh … Sialan. Brengs*k!” Umpatan lolos dari celah mulut Darius. Darius meluruskan kepala. Sambil menekan kuat katupan rahangnya, pria itu mengayun kepalan tangan kanan, berniat membalas pukulan Sultan. Sayangnya kepalan tangan pria itu dengan mudah ditangkap oleh Sultan, lalu Darius hanya bisa mendelik saat merasakan satu lagi pukulan di tempat yang sama. Tubuh Darius terhuyung ke kanan. Kulit wajah pria itu berubah merah padam. Sambil memegangi pipi kiri, Darius meludah. Cairan merah keluar dari mulutnya. Darius menggeram. Pria itu marah besar. “Kurang ajar!” “Jangan bandingkan istriku dengan perempuan murahan itu, Sialan.” Sultan sekali lagi menahan pukulan tangan Darius yang terayun ke arahnya. Pria itu tidak membalas dengan pukulan lagi. Sultan mendorong d*da Darius keras, hingga kaki Darius tertarik ke belakang dua langkah. “Aku tidak suka perempuan bekas. Apalagi bekas sahabatku sendiri. Dasar murahan. Oh … sekarang kita hanya akan menjadi orang asing. Aku tidak suka berada di sekeliling penjilat sepertimu.” “Kamu ….” Darius menggeram. “Jangan menghina kekasihku.” “Wah … jadi sekarang kamu mengakuinya?” Sultan bertepuk tangan sambil geleng kepala. “Seharusnya kamu mengaku dari awal. Aku akan dengan senang hati memberikan perempuan murahan itu padamu. Perempuan seperti itu tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga Atmadja. Camkan itu.” Sepasang mata Kansa membesar. Gadis itu buru-buru membekap mulut sambil menarik langkah ke balik dinding. Apa yang baru saja didengarnya tadi? Kakak angkatnya berhubungan dengan pria itu? Darius? Kansa merasakan dadanya berdebar kencang. Mana mungkin? Jadi, Nabila mengkhianati calon suaminya? Apa karena itu Sultan mempermalukan kakak angkatnya di hari pernikahan mereka? Pria itu mengetahui hubungan calon istrinya dengan temannya sendiri. Oh … sekarang Kansa paham kenapa Sultan menghancurkan pernikahannya sendiri. Kansa mengatur tarikan dan hembusan napas yang sudah dua kali lebih cepat. Gadis itu membuka lebih lebar telinganya. “Aku tidak pernah menyesal meninggalkan perempuan seperti Nabila. Dia hanya batu kerikil yang dipoles dengan emas. Saat lapisan emas itu luntur, akan kembali menjadi batu kerikil. Berbeda dengan istriku. Dia menjaga diri dengan baik. Kamu tidak tahu nikmatnya seorang perawan, Darius.” Sultan menatap mengejek sang mantan teman. Darius kembali meludah saat merasakan asin dalam mulutnya. Cairan kemerahan itu keluar dari dalam mulutnya. Darius mengusap pipi kirinya. Menatap penuh amarah pria yang berdiri angkuh di depannya. Darius sudah membuka mulut, namun detik berikutnya merapatkan kembali sepasang bibirnya saat melihat dua orang berjalan cepat mendekat. Sultan yang melihat pergerakan menjauh bola mata Darius, refleks menoleh ke belakang. Pria itu menarik langkah kakinya. Sepasang matanya bergerak mengikuti dua orang yang hampir sampai di tempatnya berdiri. “Permisi, Saya dokter Jamil. Saya diminta datang untuk memeriksa kondisi—” “Mari, silahkan masuk. Dok. Mari.” Darius menyambar kalimat sang dokter yang belum selesai. Pria itu menggeser langkah ke samping—memberi ruang hingga sang dokter bisa masuk ke dalam rumah. Pria itu kemudian mengalihkan pandangan mata pada satu orang lagi yang masih berdiri di sebelah Sultan. “Tolong usir pria itu keluar dari dini. Dia tidak diperbolehkan lagi datang ke rumah ini,” perintah Darius. Berharap satpam rumah keluarga Nabila akan mengikuti perintahnya. Namun nyatanya tidak. Pria itu hanya berdiri tanpa melakukan perintahnya. “Kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?” tanya Darius mulai marah. “Maaf, Pak. Tapi, bukankah Bapak hanya tamu di rumah ini?” Darius menahan malu sekaligus marah. Pria itu tidak menjawab. Langsung berbalik, berjalan masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu dengan keras. Sultan menatap daun pintu yang sudah tertutup. Menekan keras katupan rahangnya sebelum menoleh. Pria itu mengernyit melihat sekilas kepala seseorang yang semula menyembul dari balik dinding. Sultan memutar langkah lalu mengayun. “Ayo, Kansa, kita pulang,” ajak Sultan tanpa menghentikan ayunan kaki. Pria itu berjalan menuju mobilnya terparkir. Setidaknya sedikit rasa marah pada Darius sudah terlampiaskan. Kansa menghembus pelan napasnya. Gadis itu akhirnya berjalan mengikuti suaminya. Kansa menatap punggung tegap di depannya. Beberapa kali gadis itu menarik napas dalam. Kansa mempercepat ayunan kakinya begitu melihat Sultan sudah masuk ke dalam mobil. Ibunya masih sibuk di rumah orang tua Nabila. Tidak mungkin dia mencari wanita kesayangannya itu untuk pamit pulang. Dia akan menghubungi ibunya nanti. Kansa bersyukur sekarang ibunya sudah memiliki ponsel sehingga mereka bisa bertukar pesan. Kansa masuk ke dalam mobil. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Memasang sabuk pengaman, lalu menyandarkan punggung. Mobil bergerak tak lama kemudian. Tidak ada yang bersuara. Seperti biasa, suasana di dalam mobil dikuasai oleh hening sepanjang perjalan. **** Malam itu Kansa sedang mengerjakan pekerjaan pertamanya, saat ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar—lalu terlihat pada layar nama Sultan. Gerak jari Kansa di atas keyboard dengan sendirinya berhenti. Sepasang mata gadis itu masih menatap layar ponsel. Nyaris tak berkedip, sementara suara degup jantung mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Kansa menghembus napas lega begitu suara ponsel berhenti. Kansa mengusap d*da lega. Biarkan Sultan berpikir dia sudah tidur. Kansa menjalin jari-jari tangan, lalu meremasnya. Sumpah, jantungnya langsung bergerak tidak beraturan, mengingat surat perjanjian yang sudah ia tandatangani dengan terpaksa. Kansa mengembalikan fokus pada layar laptop di depannya. Gadis itu mulai menarikan lagi jari-jari tangannya dengan cepat, sementara sepasang matanya tidak melepas layar. Terlihat santai sekalipun tangan, otak, serta mata bekerja dengan keras. Kansa menikmati pekerjaannya. Sayang, kenikmatan gadis itu kembali terganggu saat lagi-lagi ponselnya meraung. Untuk sesaat fokus Kansa mau tidak mau teralih. Bola mata gadis itu bergerak ke arah ponselnya. Masih orang yang sama yang sedang berusaha terhubung dengannya. Kansa mengembalikan perhatian ke depan. Tersenyum membiarkan ponsel itu terus bersuara tanpa berniat untuk menerima panggilan itu. Biarkan saja. Besok pagi dia hanya perlu mengatakan jika semalam ia sudah tertidur. Dia tidak mendengar suara ponsel. Beres, batin Kansa senang. Kansa melepas keyboard. Mengangkat kedua tangan lalu meregangkan. Melemaskan jari-jari tangan sebelum kembali menarikan jari-jari tangannya ke atas keyboard. ‘Ting ….’ ‘Ting …’ Dua kali suara notifikasi pesan masuk sekali lagi mengganggu konsentrasi Kansa. Mendesah kesal, gadis itu menyambar benda penghubungnya. Kansa menggulir layar hingga terlihat pop up dua pesan masuk. Kansa mendekatkan ponsel khawatir dia salah baca. Sepasang mata gadis itu terbuka lebih lebar. Kansa menekan katupan rahangnya. [Bersihkan tubuhmu sekarang. Aku tunggu 10 menit] [Aku tahu kamu belum tidur. Kamu tidak akan bisa bermain-main denganku] Kansa tidak menekan pesan tersebut. ‘Ting ….’ Satu lagi pesan masuk, dari orang yang sama. [10 menit kamu tidak datang, aku yang akan datang ke kamarmu] [Kamu tidak akan suka kalau aku yang datang ke kamarmu] Tanpa sadar Kansa meremas kuat ponsel di tangannya. Gadis itu mengatur tarikan dan hembusan napasnya. Apa dia harus memberikan kesuciannya pada pria itu? Setelah dia tahu alasan dibalik pernikahan mereka? “Jadilah istri yang sholehah. Layani suamimu dengan baik. Jangan pernah menolak saat suamimu meminta hubungan suami istri.” Kansa merinding mengingat pesan ibunya. “Dosa besar kalau menolak saat kamu tidak sedang menstruasi.” Kansa merasa ludahnya menggumpal dan keras, hingga ia nyaris mendelik saat menelannya. Debar dadanya semakin tidak karuan. Kansa menarik napas panjang. Menenangkan degup jantung, sebelum beranjak dari tempat duduk. Kansa meletakkan ponsel ke atas meja lalu mengayun langkah ke arah kamar mandi. **** Sultan duduk menyandar di atas ranjang. Pria itu sudah memakai piyama tidur. Dua tangannya terlipat di depan d*da. Ponsel sudah tergeletak di atas meja tak jauh dari ranjang. Sepasang mata pria itu menatap lurus ke arah daun pintu. Sesekali melirik ke arah jam digital yang menggantung di sisi dinding. Sultan mengembalikan fokus mata ke daun pintu. Sepasang mata pria itu mengecil. Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh—” ‘TOK! TOK! TOK!’ Satu sudut bibir Sultan terangkat. “Masuk!” Alis pria itu terangkat, memperhatikan pergerakan daun pintu yang perlahan terkuak. Pria itu menyeringai melihat Kansa berjalan masuk dengan kepala menunduk. Kansa menjalin jari-jari tangan di depan tubuh. Merasakan udara di sekitarnya semakin dingin. Gadis itu berusaha untuk tetap tenang, namun nyatanya degub jantung yang begitu cepat dan keras menjadi bukti jika dia tidak sedang dalam kondisi tenang. Langkahnya terayun dengan berat. “Pakai ini.” Mengurai lipatan tangannya, Sultan mengambil potongan kain di sampingnya. Melihat Kansa mengangkat kepala, pria itu menggerakkan tangan—meminta Kansa untuk segera mengambil benda di tangannya. “A-apa itu?” tanya Kansa gugup. “Pakaian yang harus kamu pakai untuk memuaskan suamimu.” Sepasang mata Kansa membesar. Jantungnya berdegup begitu kencang, Gadis itu meremas kaitan jari-jari tangannya. “Kamu bisa memilih. Kamu pakai di depanku, atau di kamar mandi. Sekarang, Kansa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN