Kansa pikir ia akan dibawa ke rumah orang tua Sultan. Itu rencana awal yang ia dengar. Tapi ternyata dia salah. Rencana mereka berubah, dan dia tidak tahu.
Wanita itu mengeluarkan koper dari bagasi. Sementara Sultan sudah lebih dulu berjalan masuk ke dalam rumah, tanpa merasa perlu menunggu Kansa.
Kansa mendesah. satu tangan wanita itu bergerak menutup kembali pintu bagasi. Kansa menarik kopernya. Sepasang mata wanita itu mengedar memperhatikan tempat sekitar. Kepala wanita itu mendongak—menatap rumah besar lantai dua dengan cat warna putih.
Menghembus napas, Kansa melanjutkan ayunan kakinya. Wanita dengan tubuh kecil itu mengangkat sedikit kesusahan koper besar saat menapaki beberapa undakan menuju teras. Kansa kembali menarik gagang koper setelah sampai di teras. Satu daun pintu masih terbuka, Kansa melangkah masuk. Apa yang akan terjadi di dalam rumah ini selanjutnya?
Bola mata Kansa bergerak memperhatikan ruangan yang dimasukinya. Suasana hening. Tidak terdengar suara orang sedikitpun. Kansa merinding.
“Dimana kamar kita?” tanya Kansa begitu melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya duduk di sofa dengan punggung menyandar. Posisi duduk pria itu sedikit melorot.
“Kamar siapa?” Pria itu menoleh, menatap Kansa dengan kening yang sudah tidak lagi rata.
Kansa mengerjap.
Menegakkan posisi duduknya, Sultan mendengkus. “Kamu pikir kamu benar-benar istriku?” tanya pria itu seraya berdecak. "Jangan mimpi."
“Dihadapan Allah, aku istrimu.” Dengan berani Kansa menjawab. Membuat Sultan membesarkan kedua bola matanya. Pria itu menatap tajam Kansa.
“Jadi begitu? Baiklah. Sebagai istri kamu tahu apa kewajibanmu, kan?”
Mata dengan bulu-bulu lentik itu kembali mengerjap. Kansa menelan saliva susah payah. Apa kewajiban seorang istri?
“Kenapa? Tidak tahu? Apa aku harus menjabarkan tugas seorang istri apa saja?” tanya Sultan beruntun. Dua alis pria itu kini terangkat. Satu sudut bibirnya berkedut melihat perubahan ekspresi wajah Kansa.
Kansa meremas gagang kopernya. Wanita itu menarik pelan namun panjang napasnya. Mulutnya sudah akan terbuka, namun urung ketika mengingat pesan sang ibu.
“Permisi, biar saya bawakan kopernya ke atas.”
Kansa menoleh, Wanita itu menarik kopernya—berniat untuk memberikan pada seorang asisten rumah yang baru saja menghampirinya.
“Tidak perlu. Dia bisa bawa kopernya sendiri." Kalimat Sultan menghentikan pergerakan Kansa dan sang asisten rumah.
"Mulai besok kamu dan temanmu kembali ke rumah Mama. Kami tidak butuh pembantu di rumah ini. Bukankah begitu, Istriku?” Sultan menyindir Kansa dengan menyebut wanita itu istri.
Bola mata Kansa bergerak. Wanita itu kini membalas tatapan mengejek pria yang masih duduk di sofa. “Iya. kami hanya berdua. Tidak perlu asisten.” Lalu Kansa tersenyum saat sudah mengalihkan pandangan mata pada sosok perempuan yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya.
Sang asisten rumah terlihat bingung. Wanita itu menatap Sultan, lalu Kansa bergantian. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata yang keluar.
“Tidak apa-apa. Turuti kata Bapak.” Kansa menenangkan perempuan di depannya. Wanita itu tersenyum sekali lagi. “Tunjukkan saja di mana kamarku.” Kansa memutar sedikit kakinya. “Ayo.” Kansa meminta sang asisten rumah untuk segera mengantarnya ke kamar.
“Tidak perlu mengantarnya. Dia istriku. Aku yang akan mengantarnya ke kamar. Kamu bisa kembali ke rumah mama sekarang kalau mau.” Sultan beranjak dari tempat duduk. Pria itu mengayun langkah menghampiri Kansa yang masih berdiri berhadapan dengan sang asisten rumah.
“Baik, Pak. Saya … permisi.” Asisten rumah itu menggerakkan kepala ke bawah, sebelum berbalik lalu berjalan meninggalkan kedua majikannya. Banyak pertanyaan dalam kepala yang tidak bisa ia ungkapkan. Istri anak majikannya berbeda.
Tanpa mengatakan apapun, Sultan berjalan mendahului Kansa. Kansa menarik langkah, mengikuti Sultan sambil menarik gagang kopernya. Wanita itu tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Bahkan ketika harus kerepotan membawa koper saat menaiki anak tangga ke lantai dua, mulut Kansa tertutup rapat.
Sementara Sultan terlihat tidak peduli. Pria itu langsung membelokkan ayunan kaki ke kiri begitu tiba di lantai dua. Tanpa melihat jika Kansa masih kesulitan, menarik koper yang cukup besar sambil menaiki satu demi satu anak tangga.
“Apa kamu memang terbiasa lamban? Jalan saja tidak bisa cepat,” ujar Sultan yang sudah tiba di depan pintu sebuah kamar. “Ini. Kamu tidur di kamar ini.” Pria itu memberitahu.
Kansa bisa kembali berjalan dengan langkah cepat setelah tiba di lantai dua, karena tidak perlu mengangkat koper besarnya.
“Setelah ini turun. Siapkan makanan untukku.”
Kansa mengangguk. Wanita itu segera mendorong daun pintu, lalu masuk ke dalam kamar yang akan menjadi tempat istirahatnya mulai sekarang. Setelah menutup kembali pintu, Kansa mendesah. Kenapa nasibnya jadi seperti ini? Apa salahnya sampai pria itu membencinya?
Bukan dia yang minta menjadi istri pria itu. Ia tidak pernah mengharapkan hal itu. Kenapa sekarang dia yang harus menderita? Jika bukan karena hutang budinya pada keluarga Nabila, dia akan menolak pria itu. Tampan, kaya, tapi adab tidak punya, untuk apa?
‘Brak! Brak!’ Bukan suara ketukan, melainkan gedoran keras terdengar.
“Jangan lama-lama di dalam. Cepat siapkan makanan untukku.”
Kansa nyaris berjingkat mendengar suara keras dari daun pintu yang dipukul-pukul. Kansa pikir pria itu sudah pergi, ternyata masih ada di luar kamar.
“Hei, Kansa … kamu mendengarku? Cepat keluar!” Sultan berteriak.
"Iya, sebentar.” Kansa melanjutkan ayunan kaki yang sempat berhenti. Meletakkan koper di dekat lemari pakaian, kemudian meletakkan tas ke atas ranjang. Dia akan membereskan barang-barangnya nanti. Kansa bergegas kembali keluar dari dalam kamar.
Sultan menuruni anak tangga dengan dua tangan bersembunyi di dalam kantong celana. Pria itu berbelok setelah tiba di lantai satu. Dia akan pastikan neraka Kansa dimulai saat ini juga. Pria itu menekan keras katupan rahangnya. Ingatan saat ia melihat beberapa foto yang dikirim Nabila ke ponsel Darius, membuat amarahnya kembali berkobar.
Sultan bersumpah akan membalas Nabila dan Darius berkali lipat. Pria itu menarik keluar tangan kanan dari kantong bersamaan dengan sebuah ponsel. Sultan dengan cepat menggulir layar ponsel tersebut, lalu membawa benda penghubung itu ke telinga kanan.
Sambil mengayun kaki masuk ke dalam ruang makan, Sultan menunggu dengan tidak sabar seseorang yang dihubungi menerima panggilannya.
“Sultan, apa yang sebenarnya terjadi?” Suara orang yang dihubungi oleh Sultan akhirnya terdengar.
Satu sudut bibir Sultan terangkat, memunculkan seringai mengerikan. Sepasang mata pria itu mengecil. Bibir kecoklatan pria itu perlahan terbelah. “Aku tidak ingin melanjutkan kerja sama kita. Mulai hari ini, kerjasama kita berakhir, Darius.”