“Kamu mau kemana?” tanya Sultan. Pria itu sedang berjalan menuruni tangga saat melihat Kansa mengayun kaki di lantai satu, melewati tangga menuju ke arah luar. Di bahu gadis itu sudah tersampir tas laptop. Sekilas Sultan menyapu penampilan gadis itu.
Kansa menoleh lalu mengangkat kepalanya. “Kampus,” jawabnya santai. Ayunan kaki gadis itu sudah terhenti. Memutar sedikit langkahnya, menunggu pemilik rumah yang sedang menuruni anak tangga. Dia pikir Sultan belum bangun. Makanya Kansa berencana berangkat tanpa berpamitan langsung.
“Memangnya kamu sudah bersih-bersih rumah? Aku tidak mau rumah ini kotor,” ujar Sultan setelah tiba di lantai satu. Pria itu masih dengan santai menapaki satu per satu anak tangga dengan dua tangan tersimpan di dalam kantong celana.
Wajahnya terlihat segar dengan rambut setengah basah. Memakai kemeja lengan panjang warna putih tulang yang dipadukan dengan celana chino warna dark chocolate. Terlihat rapi, siap untuk ke kantor.
“Sudah.”
Kening Sultan mengernyit. Pria itu mengedarkan pandangan mata sesaat. Langkah kakinya tiba di lantai satu. “Yakin sudah kamu bersihkan semua?”
“Kamar Bapak yang belum.” Dia harus mendapatkan izin dari pemilik kamar terlebih dulu agar bisa membersihkan tempat tersebut.
Sepasang mata Sultan melotot. “Memangnya aku bapakmu?”
“Lalu saya harus panggil apa?” tanya Kansa dengan wajah datar seperti biasa. Tidak terlihat gurat apapun di wajah sang mahasiswi.
Sultan terdiam berpikir. Benar juga, memangnya Kansa harus memanggil dirinya apa? Mas? Ckckck … enak saja. Dia tidak mau dipanggil Mas. Sultan menarik napas cukup panjang. Kening pria itu mengernyit lebih dalam. Tapi, kalau tidak memanggil Mas, memangnya mau panggil Om? Abang? Semua tidak ada yang cocok sebenarnya.
Kansa mendesah dalam hati. Dia harus segera pergi.
“Di depan orang kamu harus panggil Abang atau Mas terserah. Tapi kalau di rumah tidak perlu memanggilku. Mengerti?” putus Sultan setelah berpikir cukup keras.
“Baik.” Kansa mengangguk. “Saya pamit ke kampus dulu.”
“Siapkan sarapan dulu untukku. Kamu mau aku berangkat kerja dengan perut kosong?” cegah Sultan, membuat kaki Kansa urung bergerak.
“Sudah. Sudah ada di meja makan. Saya permisi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Sultan berdecak melihat Kansa sudah langsung memutar tubuh lalu berjalan menjauh. “Tidak punya sopan santun. Seperti itu istri pada suami?” Sultan memutar langkah kemudian berjalan ke arah ruang makan.
Sepi. Rumah dua lantainya terasa sepi sekali.
Sambil berjalan, pria yang merupakan CEO perusahaan retail barang-barang ber-merk dari luar negeri tersebut menarik keluar kedua tangan yang semula tersimpan di saku celana.
Masuk ke ke dalam ruang makan, pria itu mengedarkan pandangan mata. Bersih, batinnya melihat ruang makan yang menyambung dengan dapur. Memang dapur di tempat itu dapur bersih. Dapur kotor ada di bagian belakang. Nanti dia akan memeriksanya. Mungkin saja tempat itu berantakan. Awas saja nanti, batin Sultan.
Tiba di meja makan, pria itu hendak menarik punggung kursi ketika melihat selembar kertas kecil yang diletakkan di bawah gelas berisi air putih. Sultan mengambil kertas kecil itu kemudian membacanya.
[Saya sudah bersih-bersih rumah. Sarapan sudah siap. Bekal untuk makan siang juga sudah saya siapkan. Saya izin berangkat ke kampus. Kansa.]
“Jam berapa dia bangun?” Lipatan muncul di kening pengusaha retail barang-barang branded tersebut. Meletakkan kembali kertas ke atas meja, Sultan membuka tudung saji. Sepasang mata pria itu terbuka lebar.
Di atas meja, sudah tersaji beberapa jenis lauk dan sayuran. “Wah, ternyata dia bisa masak. Bagus lah. Lumayan dapat pembantu gratis,” ujarnya. Sultan terkekeh pelan sebelum menarik kursi kemudian mengambil piring dan mengisinya.
****
Kansa keluar rumah lebih pagi bukan tanpa alasan. Kansa sudah benar-benar paham posisinya di rumah Sultan. Dia tidak bisa berharap apapun. Dia pun tidak berharap apa-apa. Mungkin satu-satunya harapan Kansa saat ini adalah perceraian, sehingga ia bisa kembali berkumpul dengan ibunya.
Kansa berjalan kaki sampai ke jalan raya. Cukup lumayan ia berjalan hingga keringat membasahi tubuh.
Wanita itu kemudian menaiki angkot menuju rumah keluarga angkatnya. Ya, rumah keluarga Yahya. Dia hendak mengambil motor butut yang selama ini ia pakai ke kampus. Akan repot kalau ia harus naik angkot kemana-mana. Jika harus naik ojek online, pengeluaran per harinya bisa membengkak, sementara dia belum memiliki pekerjaan tetap.
Setelah nyaris satu jam menikmati perjalanan dengan angkutan umum yang sebentar-sebentar berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, akhirnya Kansa sampai di pemberhentian yang dituju. Ia masih harus berjalan untuk sampai ke rumah keluarga Yahya.
Sekitar 300 meter berjalan kaki, barulah Kansa tiba di rumah besar dua lantai kediaman keluarga Yahya. Kansa masuk dari pintu kecil di samping gerbang besi tinggi. Wanita itu menyapa satpam yang berjaga, sebelum melanjutkan ayunan kaki menuju bangunan bekas gudang yang menjadi tempat tinggalnya bersama sang ibu selama ini.
Kansa sengaja tidak masuk ke rumah. Dia tidak mau membuat masalah. Paham pemilik rumah saat ini membencinya.
“Bersihkan lagi. Ini belum bersih!” Suara keras dari dalam rumah terdengar.
Langkah Kansa memelan saat mendengar suara keras tersebut. Tarikan napas dalam Kansa lakukan.
“Pel pakai tangan. Pastikan sudah tidak ada bekas sedikitpun.”
Kansa menghentikan ayunan kakinya. Wanita itu berdiri dengan dua tangan mengepal. Mendengarkan ibunya yang sedang dicaci maki. Siapa lagi jika bukan ibunya? Kansa yakin itu ibunya, mengingat kemarahan keluarga Yahya padanya.
“Memang itu kerjaan babu. Kamu pikir setelah anakmu merebut calon suami putriku, lalu kamu bisa hidup enak? Jangan mimpi. Sekali pembokat, kamu akan jadi pembokat seumur hidupmu.”
Benar ibunya, batin Kansa dengan hati teriris.
“Kansa ….”
Panggilan dengan suara lirih itu terdengar oleh Kansa. Gadis itu menoleh. Melihat pakdenya berjalan cepat ke arahnya. Si tukang kebun. Itu panggilan pakdenya di rumah ini.
“Kamu kenapa ke sini lagi?” tanya pria tua itu. Abdul mengedarkan pandangan mata dengan wajah cemas. “Sebaiknya jangan ke sini lagi. Ayo, pulang ke rumah suamimu.” Abdul mendorong tubuh sang keponakan. Meminta gadis itu untuk pergi.
Abdul tidak ingin Kansa mengetahui apa yang terjadi di rumah ini lagi.
“Pakde, ibu ….”
“Mereka akan semakin menekan ibumu, kalau tahu kamu datang. Sebaiknya sekarang kamu pergi.” Pria itu menjelaskan.
“Tapi, Pakde—”
"Tidak ada tapi-tapi an. Ibumu dan Pakde akan baik-baik saja di sini. Jangan khawatir.” Pria itu menarik dua sudut bibirnya.
Kansa menatap sedih pria tua di depannya, sekalipun pria itu tersenyum. Kansa bisa membedakan senyum lepas dan senyum yang dipaksakan. Pakdenya tidak bisa membohongi dirinya.
Gadis itu sudah akan menangis, namun buru-buru menguatkan hatinya. “Aku mau ambil motorku, Pakde.”
“Oh ...." Pria itu menggerakkan kepala turun naik. "Kamu tunggu di sini saja. Biar Pakde yang ambil. Ingat. Jangan masuk ke dalam rumah.” Pria itu tidak ingin ada pembantu lain yang melihat Kansa. Khawatir nanti akan melaporkan pada majikannya.
Kansa mengangguk. Gadis itu menutup sepasang matanya setelah sang pakde berbalik dan berlari ke arah belakang rumah. Telinganya panas mendengar umpatan-umpatan yang ditujukan untuk ibunya. Hatinya hancur, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
“Katakan dengan apa anakmu yang tidak tahu terima kasih itu menggoda Sultan, hah? Apa dia memberikan tubuhnya pada Sultan? Benar begitu?”
“Dasar perempuan murahan. Apa lihat-lihat? Tidak terima aku bilang anakmu itu murahan? Dia tidak hanya murahan. Anakmu itu tidak tahu diuntung. Kurang apa kami pada kalian, hah? Kami membiarkan kalian tinggal di sini. Kami mengangkatnya anak. Kami membiayai sekolahnya. Sekarang yang dilakukan anakmu itu justru melempar muka kami dengan kotoran.”
Jantung Kansa berdegup semakin cepat. Kepalan tangan gadis itu menguat. Sepertinya dia tidak akan bisa menahan diri. Dia tidak bisa membiarkan ibunya dibentak-bentak. Ibunya tidak salah apa-apa. Selama ini ibunya sudah mengabdi sepenuh hati.
“Kansa, ini. Sudah sana pergi. Jangan nyalakan motornya di sini. Nanti mereka dengar.”
Refleks Kansa memutar kepala. Melihat pakdenya ternyata sudah kembali dengan mendorong motor butut miliknya.
"Ini, cepat." Pria itu mendorong lebih dekat morot ke depan sang keponakan.
Kansa menatap sang pakde. Sepasang mata gadis itu sudah memerah.
"Sudah, sana ... tidak apa-apa." Pria itu menenangkan sang keponakan. "Nanti Pakde beritahu ibumu kalau kamu datang."
Dengan menekan keras katupan rahangnya, Kansa mengambil alih motor dari tangan sang pakde. Sekali lagi Kansa menatap sang pakde sebelum mengalihkan pandangan lalu berjalan seraya mendorong motornya.
Kansa mengayun kaki sambil menikmati perih di dalam hati, membayangkan apa yang sedang ibunya hadapi saat ini. Tanpa sadar Kansa meremas kuat dua stang motor butut 3 tak miliknya yang dibeli dengan keringat ibunya.
Air mata akhirnya terjatuh, turun membasahi pipi gadis 21 tahun itu. ‘Tunggu Kansa punya banyak uang, Bu. Kita akan pergi jauh. Kansa akan membayar kesakitan Ibu saat ini.’