Hawa dingin menjalari paha Ivy. Roknya masih tetap terpasang tapi tidak dengan dalamannya yang berwarna hitam. Kini, seperti perintah Bravino tadi, ia sedang melebarkan pahanya di atas meja. "Ahhh." Ivy berpegangan pada ujung meja. Ujung jari kakinya menekuk ke arah dalam. Pahanya menegang, ingin menutup tapi tak mampu, karena Bravino menahannya dan sedang berjelajah di sana. "I always like your smell. Kamu emang beda." Ivy tak mengerti apa itu pujian atau sindiran. Di rumah Ivy hanya punya sabun biasa, bukan sabun-sabun mahal seperti di rumah Bravino. Jangankan sabun, untuk makan dengan cukup gizi yang layak pun ia harus bekerja keras. Ivy memekik saat ia merasakan bila bukan hanya lidah Bravino yang bermain di sana, melainkan jari panjang yang lelaki itu miliki. Bravino berdiri,

