Delapan Belas

1337 Kata
Sena membuka matanya perlahan. Ia melirik pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir. Jo tidak berhenti tersenyum. Sebenarnya Sena tidak tidur pulas tadi. Ia menyadari apa yang dilakukan Jo padanya. Sena bisa apa, jika Jo terus-terusan seperti ini, bukan mustahil hatinya makin terperosok pada pesona Jo. "Sen, lo udah bangun?" Jo melirik sekilas pada Sena saat menyadari pergerakan dari gadis di sampingnya itu. "Udah, hoam... gue ngantuk banget. Eh udah nyampe ya?" Sena membuka sabuk pengamannya dan segera turun dari mobil. "Gue gak diajak mampir nih?" tanya Jo dari dalam mobil. "Udah pulang sana! Mau dapat jeweran gratis dari mami lo?" "Mami lagi, kenapa sih lo maksa gue buat nurutin semua maunya Mami?" Sena menghembuskan nafasnya pelan, "karena gue pernah merasakan kehilangan." "Maksud lo?" "Jangan sampai lo nyesel saat mereka udah gak bisa cerewetin lo lagi. Lo benci diri lo saat lo gak bisa mendengar suaranya lagi. Dan membuat lo ingin memutar waktu agar bisa nurutin semua keinginannya." Melihat wajah Sena yang sendu, Jo berdehem pelan. "Ekhm, maaf gue bikin lo sedih." "Gak apa-apa, gue cuma gak mau lo nyesel aja. Jadi turutin apa kata orang tua lo selagi mereka ada." "Ada beberapa hal yang gak bisa gue lakuin." "Maksudnya?" "Hati gue." "Apa?" "Lo pasti tahu gimana hidup gue, Sen. Semua udah diatur. Sekolah, teman, bahkan pendamping hidup. Dulu, gue nurut. Lalu papi memanjakan gue. Apalagi Oma. Semua yang gue mau mereka kasih. Alasannya karena gue anak penurut. Sampai gue bosan sendiri. Hidup seperti tanpa keinginan. Akhirnya gue terjebak pada kesenangan sesaat yang kata lo gak ada gunanya itu." "Harusnya lo bersyukur, Jo. Banyak orang memimpikan posisi lo saat ini." "Mungkin ada benarnya kalau untuk harta dan tahta. Tapi masalah hati, gue malah iri sama orang-orang biasa. Mereka bebas berhubungan dengan siapa pun tanpa mempertimbangkan efeknya pada perusahaan dan pencitraan publik." "Semua gak ada yang sempurna, Jo. Setiap orang punya masalah yang dihadapi. Besar kecilnya masalah itu tergantung hati yang menerimanya." "Maksud lo?" "Ibarat segenggam garam. Jika lo simpan pada wajan kecil, rasanya pasti asin. Tapi jika lo simpan segenggam garam itu pada danau, gak akan berasa asin." "Kalo masalah gue gimana?" "Apa?" "Gue gak akan nyerah buat jadiin lo milik gue." "Itu lagi." "Pokoknya lo harus janji, jika dalam setahun ini Ega gak datang, lo gak bisa nolak gue." "Jo, lo jangan egois! Ingat keluarga lo!" "Termasuk keluarga gue. Mereka gak bisa menghalangi gue. Kecuali...." "Kecuali?" "Ya, kecuali jika Si Jelek Ega datang dan menepati janjinya. Maka gue gak akan ganggu lo lagi." Sena diam. Pria pemaksa di sampingnya ini memang sangat mudah meluluhkan hati wanita. Tak terkecuali Sena. *** Menekuni dunia akting tidak buruk ternyata. Sena ditawari berbagai peran. Mulai dari figuran, sampai akhirnya ia mendapat kesempatan menjadi tokoh utama. Sena menjadikan Diwan sebagai manajernya. Meski anak itu masih kuliah, tapi ia pandai mengatur waktu. Berkat ketekunan keduanya, akhirnya Sena dan Diwan berhasil membeli sebuah rumah walau tidak terlalu besar. "Kak, bentar lagi kita berangkat ke lokasi syuting," ucap Diwan sambil melirik jam tangannya. Mereka sedang sarapan pagi. Sena bahkan mampu mempekerjakan asisten rumah tangga yang tak lain adalah Mbok Surti. Wanita tua itu memutuskan keluar dari warteg. Saat tahu Mbok Surti keluar, Sena menawarkan pekerjaan. Dan tentu saja dengan senang hati Mbok Surti menerimanya. Sena ikut duduk bersama Diwan yang sedang menikmati sarapannya. "Kamu gak ada kuliah, Wan?" "Nanti sekitar jam 1 aku ke kampus. Habis itu baru kembali ke lokasi." "Gak capek?" "Kakak tenang saja. Aku punya cadangan seribu tenaga untuk aktivitas hari ini." "O ya? Apa itu?" "Ini, dan ini," Diwan menunjukkan bekal makanan dalam ranselnya. Dan foto salah satu selebriti cantik yang masih sangat belia. "Ck, hati-hati, lihat gadis itu jangan dari tampangnya doang!" "Enggaklah, Kak. Dia baik banget kok, percaya deh! Dia juga sangat mengagumi Kakak katanya." "Ya iya jelas lah, kan lagi ngecenging adeknya." "Haha, siapa dulu dong, Diwan, gak ada yang bisa lolos dari pesona ketampananku." "Narsis kamu, Dek! Udah ah, kita berangkat sekarang." "Oke, Bosku!" Sena ke dapur. Ia melihat kotak bekal sudah tersedia di atas meja. "Mbok, ini udah siap?" "Udah, Sen. Sama buat Diwan juga. Lihat dulu, barangkali menunya mau diganti?" "Gak usah, Mbok. Yakin seratus persen, masakan Mbok paling juara pokoknya!" "Ya udah, kalian mau berangkat sekarang?" "Iya, Mbok. Kami berangkat dulu!" "Ya, hati-hati! Jangan lupa bekalnya dimakan! Jaga kesehatan juga, jangan makan yang gak sehat!" "Asiap, Mbokku!" *** Sena masih membolak-balik naskah yang sudah ia pelajari semalam. Ia sedikit gugup untuk adegan yang akan ia jalani. Jujur saja, ini pertama kali buatnya. Filmnya kali ini bergenre romance. Jauh-jauh hari ia sudah berusaha menjalin komunikasi dengan lawan mainnya untuk membangun chemistry agar hasil filmnya maksimal. Tapi walau pun ia sudah berteman baik, untuk membuat adegan kissing tetap saja terasa canggung. Sebelumnya Sena lebih banyak bermain film action atau petualangan. Tak jarang pula main di genre horror meski bukan jadi tokoh utama. "Oke, semua bersiap ke posisi masing-masing!" Bram kembali mengintruksi. Sena bersiap. Adegan kali ini dilakukan di sebuah rumah sakit. Sena berperan menjadi Rani yang terlibat cinta terlarang dengan kakak tirinya yang berperan sebagai seorang dokter yang bernama Hendra. "Oke, kamera siap, action!" Sena menangis sambil memeluk buku diary-nya. "Ran, aku mohon! Aku tidak mau kita berakhir!" "Tidak, Kak! Ini tidak akan berjalan baik. Ingat keluarga kita! Mereka akan merasa hancur saat tahu kita seperti ini!" Hendra mendekat dan meraih tengkuk Sena. "Cut! Ulangi! Jangan terburu-buru, lakukan dengan penuh perasaan!" Hendra dan Sena mundur lagi. Mengulang adegannya. "Oke, kamera siap, action!" Sena membenarkan letak buku diary di pelukannya. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Sena kembali menangis. Kali ini lebih terlihat sangat menyedihkan. Bayangan Sena berkelana saat ia kehilangan kedua orang tuanya. Sakit sekali! "Ran, aku mohon! Aku tidak mau kita berakhir!" "Tidak, Kak! Ini tidak akan berjalan baik. Ingat keluarga kita! Mereka akan merasa hancur saat tahu kita seperti ini." Ini dia, bisik Sena dalam hati. Hendra mendekat. Ia menatap Sena dalam, lalu meraih tengkuk gadis itu. "Eh, tunggu-tunggu!" Suara seseorang membuat Hendra menghentikan aksinya. Semua menoleh ke sumber suara. "Eh, Pak Nathan?" Bram langsung berdiri menyambut kedatangan Jo. "Bram, ini yang kamu bilang adegan klimaksnya?" "Benar, Pak. Ini puncaknya. Saya yakin, adegan puncak ini akan membuat para penggemar makin terbawa suasana." Jo berdecih pelan, "apa tidak ada adegan lain selain kissing?" "Justru ini magnetnya, Pak. Chemistry keduanya akan makin terasa nyata lewat adegan puncak ini." "Begitu ya? Gak bisa pakai editan?" Sena dan kru beristirahat sejenak. Saat melihat protes Jo atas adegan ini, Sena yakin, sampai kapan pun, Jo tak akan membiarkan adegan ini berlangsung. Dan ini malah membuat proses syuting berlangsung lebih lama. Sena meraih ponselnya. Ia menghubungi Diwan dan meminta bantuan agar Jo diberi kesibukan dari sekedar melihat adegan ini. Tak lama kemudian, Diwan datang menghampiri Sena. Gadis itu menunjuk dengan dagunya ke arah Jo. Meski sedikit ragu, tapi Diwan akhirnya menghampiri Jo. "Eh, Pak Nathan? Apa kabar?!" Diwan menepuk bahu Jo. Pria itu menoleh dan menerima uluran tangan Diwan. Semua kru nampak sedikit terkejut. Pasalnya, selama ini tak ada yang berani menepuk bahu Jo. Bahkan semua mengangguk hormat jika Jo atau Abimanyu berkunjung ke lokasi syuting. Kabarnya, mereka sponsor utama SS Entertainment. "Diwan? Apa kabar?" "Baik, Pak. Kita ngobrol sebentar yuk? Ada hal yang ingin saya sampaikan." "Benarkah? Baiklah, eh, Bram! Ingat masukan saya tadi. Kalau bisa jangan langsung! Usahakan pakai editan, ok?" Bram hanya mengangguk lesu menyaksikan kepergian Jo dengan Diwan. Padahal adegan puncak ini ia yakin akan menggaet penonton semakin jatuh cinta pada filmnya. "Oke, semua bersiap lagi!" Sena kembali mengulang adegannya. Dan tiap kali Hendra akan melakukan kissing, tahu-tahu Jo muncul dengan mengatakan kalau adegannya jelek. Bahkan Jo sampai menyinggung masalah bukan muhrim segala. Bram juga sedikit heran, Jo bersikeras melarang adegan ini untuk film yang dibintangi Sena. Padahal, pada film-film sebelumnya, Jo tidak pernah protes jika adegannya berhasil menggaet penonton agar lebih banyak lagi. Hingga akhirnya, adegan kissing itu sama sekali tidak terjadi. Hanya disorot dari belakang. Seolah-olah mereka sedang berciuman. Sejujurnya, Sena sangat bersyukur dengan sikap keras kepala Jo. Ia terselamatkan bukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN