Sembilan Belas

1798 Kata
Sena masih duduk manis di depan meja rias. Tangannya anteng dengan benda pipih yang membuatnya sesekali tertawa renyah. Seorang pria gemulai sedang menata rambutnya. Ya, hari ini ia akan promosi film terbarunya. Sena menyimak beberapa komentar di akun medsosnya. Ternyata jadi publik figur itu rasanya nano-nano. Ada senang, sedih, terharu dan sebagainya. Sena senang saat membaca komentar fans yang memuji aktingnya di film. Ah atau ada juga yang ikut baper hingga menjodoh-jodohkan dirinya dengan Hendra. Lawan mainnya kali ini. Mata Sena memicing, ia melihat salah satu komen yang menarik perhatian. Bebe05 : hai beruangku! Hati Sena mencelos seketika. Buru-buru ia mengecek akun itu. Dan sayangnya, akun itu masih sepi, hanya 25 pengikut dan mengikuti 2 orang saja. Dirinya dan Diwan. Apa? Tunggu! Siapa orang ini? Hati Sena membuncah. Antara senang dan cemas. Mungkinkah dia Ega?! Pria yang selama hampir 12 tahun dia tunggu? "Oke, cyin... semua udah cincay marincay, rambut, make up, baju, sip! Semua sempurna!" Dengan gaya mirip bebek bergoyang, pria setengah matang itu meninggalkan Sena di ruangan. Sepertinya ia memberi tahu semua kru kalau Sena sudah siap. Selama promosi berlangsung, pikiran Sena tidak fokus. Ia masih penasaran dengan akun yang memanggilnya beruang. Di mana hanya satu orang yang tahu tentang itu. Yah, siapa lagi kalau bukan Ega. Setelah beres, Sena kembali ke ruangan. Ia bergerak-gerak gelisah. Berjalan kesana-kemari sambil menggigit bibir bawahnya. "Ada apa, Sen? Kamu sakit?" tanya Bram menatap Sena khawatir. "Ah, enggak. Aku baik-baik aja, kok." Mendengar lawan mainnya sakit, Hendra mendekati Sena. Ia memberikan secangkir teh hangat pada Sena. "Minum ini, semoga saja sedikit membantu!" Sena menerimanya. Sial, kalau bukan karena film ini, Sena tidak mau terlalu dekat dengan Hendra yang ternyata sedikit berotak m***m itu. Tapi, demi kesuksesan film ini, Sena harus membangun chemistry dengan pria itu. "Ya, terima kasih. Aku baik-baik aja, kok. Mungkin hanya butuh istirahat," jawab Sena sambil tersenyum kecil. "Ah, kamu benar. Acara ini cukup menguras energi. Was-was dan khawatir. Tapi aku yakin, hasilnya akan jauh lebih baik dari film kamu sebelumnya." "Iya, semoga saja," jawab Sena. Diwan nampak masih sibuk, padahal Sena berharap adiknya itu menyelamatkannya dari obrolan garingnya dengan Hendra. "Sen, ngomong-ngomong, kamu ada waktu gak?" "Kenapa?" "Aku ingin merayakan kesuksesan film kita. Bagaimana kalau kita makan bersama?" "Lho, tayangnya aja belum kan?" "Ya gak apa-apa. Kita bisa benar-benar berteman dekat kan?" jawab Hendra dengan diiringi senyuman. "Ah, ya. Kamu benar. Tapi, aku masih banyak pekerjaan. Sayang sekali ya? Mungkin lain waktu saja, ok?" Hendra mengangguk sambil mengelus pelan punggung Sena, "aku tunggu sempatmu." Sena merasa risih tentu saja. Ia mencoba menghubungi adiknya. Yes, berhasil! Diwan menoleh ke arahnya. Seakan faham, adiknya itu datang mendekat. "Ada apa, Kak? Apa ada yang salah?" "Dra, aku ada perlu sebentar dengan manajerku dulu. Aku tinggal sebentar ya?" Meski nampak kecewa, tapi Hendra mengangguk dan mempersilahkan lawan mainnya meninggalkan ruangan. Sena menuntun Diwan agak tergesa. Adiknya itu menatap heran pada Sena yang nampak gelisah sejak acara dimulai hingga selesai. "Wan, kamu percaya gak, jika Ega masih setia sama Kakak?" "Kak Ega ngasih kabar, Kak?" "Belum tahu juga, Wan. Hanya saja, Kakak yakin dia tahu keadaan kita sekarang." "Maksudnya?" Sena diam beberapa saat, ia lalu memeriksa ponselnya. Barangkali Diwan bisa mencari tahu pemilik akun itu. "Wan, coba lihat deh, kira-kira ini siapa ya?" Diwan melihat akun yang ditunjukkan Sena. Keningnya berkerut. "Wah, gak tahu, Kak. Profilnya aja cuma gambar burung kayak gini. Gak ada foto sama sekali." "Iya makanya. Dan yang lebih aneh tuh dia cuma mengikuti akun kita aja, Wan." "Bener juga sih. Tapi aku gak tahu, Kak. Nanti deh aku cari tahu." Sena mengangguk dan mengambil kembali ponselnya. "Hai!" Sena dan Diwan berbalik. Jo melambaikan tangan dengan cengiran khasnya. Tapi tiba-tiba ekpresi Jo berubah 180 derajat begitu melihat seseorang yang juga ikut di belakangnya. "Eh Kak Jo?" ucap Diwan sambil tersenyum lebar. "Sst, di lokasi kerja begini, lo jangan manggil Kak Jo lagi dong!" "Ah, iya lupa. Pak Nathan apa kabar?" Jo tersenyum dan mengangguk kecil. "Saya baik, manajer!" Sena hanya menahan tawa. Ia tahu maksud Jo berbuat seperti itu. Betapa tidak, pria itu datang bersama sang ayah. Abimanyu menghampiri Sena dan Diwan. Ia tersenyum ramah padanya dan mengulurkan tangan. "Selamat, akhirnya film kamu sudah launching!" Sena menerima uluran tangan Abimanyu sambil membungkuk hormat. "Terima kasih, Pak. Semuanya tidak akan ada apa-apanya tanpa dukungan dari Anda." "Saya tahu kamu sangat berbakat, Sena. Bram banyak bercerita tentang kiprahmu." "Ah, Bram terlalu melebih-lebihkan saya rasa." "Bagaimana pun, saya menaruh kepercayaan sama kamu." "Sekali lagi, terima kasih, Pak!" Abimanyu tersenyum lalu meninggalkan Sena dan Diwan. Ah, dan jangan lupakan Jo yang juga berdiri bersama mereka. Menyadari putranya masih diam, Abimanyu diam sesaat, lalu melanjutkan lagi langkahnya. "Ah, sudah pergi! Ayo, kita makan bareng!" Jo menarik tangan Sena pergi dari sana. "Hei! Tuan pemaksa! Jangan main tarik dong! Sakit tahu?!" Sena mengibaskan tangannya yang ditarik Jo. "Gue belum makan dari pagi, jadi temenin yuk!" "Makan aja sana! Gue udah makan!" Jo melirik Diwan yang hanya diam. "Wan, beneran kalian udah makan?" "Itu, anu, udah kok," Diwan terpaksa berbohong saat melihat pelototan dari Sena. "Ck, ayo temenin doang, apa susahnya sih?" "Gue gak mau!" "Sen, lo tega ya sama gue?" "Apa?" "Ini hari bahagia gue tahu gak?" "Hari apaan?" "Hari ini ulang tahun gue! Masa lo tega sih gak mau nemenin gue makan doang?" Sena terdiam. Ia nampak berpikir. "Beneran?" Dengan wajah antusias, Jo mengangguk cepat. "Iya, makanya temenin ayo!" "Ck, ya udah. Tapi jangan lama-lama! Jangan di tempat terbuka! Apalagi sampai ketahuan orang! Kan bisa berabe!" "Tentu saja! Gue udah siapin makan buat kita. Sini deh!" Jo mengajak Sena ke mobilnya. Sena nenurut saja. Menemani Jo di hari spesialnya tak apa mungkin ya? Kasihan juga sih anak itu. Punya banyak uang, tapi tak ada satu pun yang ingat ulang tahunnya. Bibir Jo tidak berhenti tersenyum. Sesekali ia melirik Sena yang duduk di sampingnya. Mereka berhenti di area perkebunan pinus. Jo membuka pintu mobil dan membawa sesuatu dari kursi belakang. "Tada...! Gue bawa bekal sendiri." "Lo bawa apaan emangnya?" "Kita buka saja," ucap Jo lalu menggelar tikar dan menyiapkan semuanya. Ternyata isinya nasi putih dan satu ekor ikan bakar yang masih panas. "Waw, lo dapat beginian dari mana?" "Masak lah!" "Ck, jangan ngayal lo! Bikin ceplok telor aja lo lari!" Jo tertawa. Ternyata Sena masih ingat semua kebiasaannya saat mereka tinggal bersama. "Iya deh, lo bener! Gue gak bisa masak. Ini gue beli di warung nasi." "Nah, jujur kan lebih enak!" Jo tersenyum sambil duduk menghadap Sena. Hal yang paling ia sukai adalah menatap wajah Sena berlama-lama seperti ini. Seakan memberikan energi baru dalam menghadapi kesibukannya nanti. "Kenapa lo, Jo?" "Gak apa-apa, cuma lagi puas-puasin lihatin lo!" jawab Jo tanpa mengalihkan tatapannya. Sena merasa hawa canggung mulai menyebar ke hatinya. Ia memilih melihat makanan harumnya menggoda indera penciuman. Melihat hidangan yang sangat menggiurkan, Sena tak dapat menahan diri. Ia memang belum makan siang. Sena langsung mengambil nasi dan memakannya dengan lahap. "Woi! Jangan dihabisin dong, Sen! Gue juga lapar!" "Salah sendiri kenapa bengong saja dari tadi." "Ck, ah lo mah! Gak bisa romantis dikit napa? Main serang aja!" "Lha, kalo lapar ya hajar! Romantis apaan!" "Ya kayak di drama-drama itu, saling tatap-tatapan dulu kek, baru ke hidangan." "Ngomong apaan sih, lo?" tanya Sena dengan mulut penuh. Jo berdecak sebal lalu mengambil air untuk mencuci tangan. Tanpa sengaja, ia menjatuhkan ponselnya yang masih menyala. Sena sedikit menengok ponsel Jo. Di sana ada hasil penelusuran mesin google. 'Cara memikat cewek yang disukai' Sena hampir tersedak membacanya. Di sana dijelaskan bahwa si pria harus mengajak makan ke tempat romantis. Sena menatap sekeliling tempat itu. Romantis apaan, yang ada malah suara kambing yang bersahutan dari arah peternakan sekitar kebun. Yang lebih membuat Sena terpingkal adalah tahap berikutnya terjadi saling menatap satu sama lain. "Bwahahahah!" Jo yang sedang mencuci tangannya berkerut heran melihat Sena yang tertawa lepas. "Lo kesambet ya, Sen?" "Hahahah! Aduh perut gue sakit! Hahaha!" "Sen, lo kenapa sih?" Lalu Jo tersadar, ponselnya tergeletak. Ia mendengus kesal dan mengambil kembali ponselnya. "Seneng lo ya? Lihat gue gagal total kayak gini?" Sena memegang perutnya sambil menahan tawa. "Aduh, lo ngapain ngelakuin ini semua, Jo?" "Ya kali aja berhasil. Katanya ini trik ampuh lho, Sen!" "Haha, yang bener aja! Heh, Jo! Gue jadi ragu kalo dulu lo playboy cap kapak!" "Ck, dulu cewek yang ngejar-ngejar gue!" jawab Jo sambil memanyunkan bibirnya. "Eh, gue penasaran, kalo abis tatap-tatapan gitu ceweknya ngapain?" Jo mengerjap, "y-ya, harusnya lo senyum tersipu, kayak malu-malu gitu!" "Bwahahah!" Sena tertawa makin keras. Ini benar-benar menggelikan! Seorang Jo dengan predikat playboy itu yang memiliki daya tarik luar biasa untuk para wanita, melakukan hal konyol ini? "Sen, lo jangan ketawa kayak gitu dong! Gue marah nih!" "Ok, sorry, gue gak nyangka aja, masa lo sepayah ini urusan cewek sih, Jo?" "Ya soalnya lo beda sama yang lain. Kalo cewek biasanya mempan dikasih uang atau perhiasan. Nah lo? Mana mau! Yang ada gue kena omel karena ngabisin duit!" Tawa Sena mereda, "Hm, lo bener juga sih." "Makanya itu, gue cari cara lain!" "Lain kali, lo gak usah berlebihan kayak gini, Jo." "Ya kan gue mau lo suka sama gue. Kalo lo mau, gue gak bakalan melakukan hal-hal kayak gini. Tapi kalo dipikir-pikir, bener juga ya? Gue kayak orang b**o ngelakuin ini, haha!" "Bentar deh, jangan-jangan ini juga bukan ulang tahun lo?!" Sena terkejut saat menyadari sesuatu. Ia tahu ulang tahun Jo. Jika pria itu ulang tahun, pasti ada pesta atau semacamnya. Jo menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil memamerkan cengiran khasnya. Plak! Sena memukul lengan Jo cukup keras. "Aduh, sakit, Sen!" "Lo bohongin gue lagi?" "Ya tapi kan namanya juga usaha!" "Udah gue bilang, usaha apa pun boleh, tapi bohong jangan!" Melihat Sena yang bersiap memukulnya lagi, Jo segera bangkit dan menghindar. Alhasil mereka saling mengejar. "Sini lo! Mau lari kemana, hah?" Sena mengejar Jo yang berlari mengitari kebun pinus. "Habis gue ngomong pengen makan doang lo gak mau!" teriak Jo. Sena mengejarnya lagi. Jo kewalahan. Ternyata wanita kalo sudah marah sangat kuat. Sena juga nampaknya sudah capek berlari. Mereka berbaring di bawah pohon pinus sambil mengatur nafas. "Hah, lo lari cepet amat sih, Sen?" "Bukan gue yang cepet, lo aja yang payah!" jawab Sena sambil tersenyum kecil menatap langit yang cerah di balik ranting pepohonan. Mereka terdiam beberapa saat. Sampai terdengar bunyi ponsel milik Sena. "Siapa?" tanya Jo. "Paling notif dari fans." "Cie... udah jadi aktris, tahu fans segala!" Sena menoyor pelan kepala Jo. "Diam lo!" "Sen, bunyi lagi, kali aja penting!" Benar juga, ponsel Sena berbunyi beberapa kali. Notif email masuk. Sena bangkit dan duduk. Matanya menatap tak percaya pada apa yang ia lihat di layar ponselnya. "Ada apa, Sen?" "Dia... menepati janjinya," ucap Sena pelan. "Siapa?" "Ega."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN