Tujuh Belas

1528 Kata
"Gu-gue lagi cari udara segar, hm, ya, begitulah," Sena sedikit gelagapan. "Jangan bohong! Lo lagi ngintip ya? Hati-hati ntar lo bintitan lagi!" "Enak saja! Kayak gak ada kerjaan lain aja gue ngintip! Gue cuma lagi cari angin kok," Sial, Jo baru datang sudah membuatnya malu setengah mati! Bibir Jo menahan tawa melihat Sena yang gelagapan. "Sen, Bram bilang lo kerja jadi aktris ya sekarang?" "Ha?" Sena belum fokus. Ia masih memikirkan ucapan Jo waktu itu tentang perasaannya. Jo berkacak pinggang lalu menatap Sena dengan dahi berkerut. "Lo kurang makan ya, Sen?" "Apa?" "Ah, atau kurang tidur?" "Maksud lo apa sih?" Sena pura-pura sibuk membereskan barangnya. Beruntung, semua kru sudah bersiap untuk pulang. "Omongan lo kurang fokus. Gak biasanya. Kayak bukan lo! Ditanya malah hu-ha hu-ha aja jawabannya." Kampret si Jo! Emang begitu kali ya cowok, habis memohon-mohon menyatakan cinta, dengan mudahnya bisa bersikap sesantai ini. Berbeda dengan cewek, sekali ditembak, meski gak nerima, tapi tetap saja ada rasa canggung. "Anda kenal dengan salah satu pemain film ini, Pak?" tanya seorang kru pengatur cahaya. Ia menyaksikan percakapan antara Sena dan Jo. Ia heran Jo menyapa Sena. Padahal, Sena orang baru di sini. "Ah, tidak. Hanya kebetulan saja, barusan saya kenalan sama dia," jawab Jo sekenanya. "Oh, ya pantesan. Soalnya Sena ini masih baru." Jo hanya mengangguk sambil tersenyum. Ekor mata Sena melirik Jo. Gaya Jo sangat berbeda barusan. "Sen, lo mau pulang?" tanya Jo lagi. "Iya, masa mau nginep sih?" jawab Sena. Ia mengambil tas gendongnya dan berjalan menuju parkiran motor. Jo sedikit kesal karena merasa diabaikan. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Sena dan membawa gadis itu masuk ke mobilnya. Beruntung semua orang mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi tidak ada yang memperhatikan tindakan Jo. Kecuali dua pengawal setianya tentu saja. "Apa-apaan sih, lo? Gue mau pulang!" Sena hendak membuka pintu mobil, tapi sayang, Jo sudah menguncinya. "Lo kenapa sih, Sen? Gue salah apa sama lo?" tanya Jo. Sena menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Gue gak kenapa-napa, Jo! Gue baru beres kerja, capek. Mau pulang," jawab Sena. "Lapar?" Kalau sudah begini, jangan harap bisa langsung pulang. Si Pemaksa Jo akan terus merecokinya sebelum keinginannya terpenuhi. Sena mengangguk lesu. Yah, ia tahu. Jo merindukan kebersamaan mereka dulu. Apa pria itu tidak tahu, bahwa dirinya juga tak jauh berbeda. Hanya saja, Sena masih terngiang ucapan Renata dan Abimanyu. Bahwa Jo dan dirinya berbeda. Jo memiliki tanggung jawab besar yang disiapkan untuk memimpin perusahaan ayahnya. "Oke, kita makan!" seru Jo dengan semangat. "Pengawal lo gimana nasibnya?" Sena menoleh ke belakang. Nampak sebuah mobil berjalan pelan mengikuti mereka. "Lo lihat sendiri lah, kerjaan mereka cuma ngikutin gue," jawab Jo sambil tersenyum kecil. "Bener juga, mereka ngikutin kita di belakang. Kalau mereka ngadu ke bokap sama nyokap lo gimana?" "Itu memang kerjaan mereka, kok," jawab Jo dengan nada santai. Mereka berhenti di depan sebuah warteg pinggir jalan. Sena langsung panik, "lo gimana sih? Gimana kalau mereka ngadu kita makan bareng?" "Emang apa masalahnya?" Sena menoyor kepala Jo cukup keras. Sesaat Jo tertegun. Ini yang ia rindukan. Sena telah kembali! Melihat Jo yang diam menatapnya, Sena sedikit terkejut dengan tindakan spontannya. Ia menurunkan tangannya dari kepala Jo. "Kenapa?" tanya Jo sambil mengusap kepalanya. "Jangan melihat gue dengan cara kayak gitu lagi!" jawab Sena lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Haha, takut terpesona ya?" Jo menyebalkan! Tanpa ragu, Sena malah menjitak kepala Jo cukup keras kali ini. "Aduh, sakit tahu!" Jo mengusap-ngusap kepalanya. Padahal hatinya bersorak. Sena telah kembali seperti saat mereka bersama dulu. "Kalau ngomong jangan sembarangan! Enak saja terpesona! Kalau mau, gue udah jatuh hati dari dulu sama lo!" Sena keluar dari mobil dan masuk ke warteg. Jo mengikutinya di belakang. "Lo mau makan apa?" tanya Jo sambil mengambil piring dan memilih menu yang berjajar di rak. "Uang gue cuma cukup buat makan oseng tempe," jawab Sena. Ia mengambil satu porsi sambal goreng tempe dan satu gorengan bakwan. "Ck, masa aktris makannya kek gituan sih?" "Gue masih figuran! Ngece lo!" Jo menahan tawa lalu menuangkan sayur lodeh ke piring nasi miliknya. Ia juga mengambil ikan asin yang digoreng agak gosong. Sena menengok piring nasi milik Jo. "Sejak kapan lo doyan makanan kayak gituan? Bukannya lo lebih suka steak atau ikan bakar?" Sena dan Jo duduk di kursi dan mulai makan. "Tiga bulan dikasih kayak ginian, malah bikin gue jadi doyan," jawab Jo sambil melahap nasinya. "Haha, makanya jangan menghina makanan kalau belum doyan. Kalau udah dicoba kan enak juga?" "Iya, sih. Malah kalau di rumah, gue minta dimasakin yang kayak ginian." Alis Sena terangkat, "serius lo?" "Iya, haha. Sekali-kali ngerjain koki rumah kan gak apa-apa." "Anak durhaka lo!" ujar Sena setelah ikut tertawa bersama Jo. Ponsel Jo bergetar, ia meliriknya sekilas lalu melanjutkan makannya lagi. "Kenapa gak diangkat?" tanya Sena. "Paling juga Mami nyuruh balik." Sena bangun dari duduknya. Pletak! "Aduh, lo kalo jitak kira-kira dong! Pelan dikit kenapa? Sakit tahu?" Jo meringis. Senang sih Sena udah balik kayak dulu, gak jaga jarak lagi. Tapi kalau sehari dijitak sampe 3 kali sih bisa memar kepalanya. "Angkat, Bodoh!" "Ck, iya, gue angkat!" Sena duduk lagi. Jo mengangkat ponselnya. "Hallo, ya kenapa, Mi?" "Ngapain kamu jam segini masih di warteg? Udah jam 10 malam, Jo! Inget, besok jadwal kamu padat, lho?" Jo melirik Sena yang sedang minum. "Iya, aku tahu, Mi. Bilang sama 2 orang payah yang mengikutiku, bentar lagi aku pulang. Tanggung sambelnya belum habis." "Jo, jangan gitu! Ini semua demi kebaikan kamu juga!" "Iya, aku tahu Mami dapat kabar dari mereka kan?" "Pulang ya? Ah satu lagi. Kamu gak ada hubungan apa-apa kan sama Sena?" "Enggak." "Yakin?" Jo menatap Sena yang sedang bersiap pergi. Gadis itu nampak memasukkan ponselnya ke dalam tas gendong. "Dianya gak mau, Mi." "Oh begitu ya? Kamu pulang sekarang ya?" "Iya, ini mau pulang." Klik. Jo menutup sambungan telpon. Beberapa saat ia terdiam cukup lama. Lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Napa lo?" tanya Sena. "Gue mau ngomong," jawab Jo dengan wajah serius. Melihat perubahan raut wajah Jo, Sena bangkit dan hendak pergi. Ia yakin, pria tinggi di depannya pasti akan membahas tentang perasaannya. "Tunggu, lo jangan pergi dulu!" Jo menahan tangan Sena hingga gadis itu duduk kembali. Sena pura-pura menguap dan melirik jam tangannya. "Hoam, jangan lama-lama! Gue udah ngantuk. Hampir tengah malam ini!" "Mengenai perasaan gue, apa lo masih belum punya jawaban?" Sena diam. Lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Gue rasa lo tahu jawabannya." "Ega?" Sena mengangguk pelan. Ya, ia memang masih menunggu pria itu. Setidaknya Ega pria biasa yang bisa ia harapkan untuk masa depannya. Jo tersenyum kecut, "apa sih yang lo tunggu dari pria yang gak jelas kayak dia? Mau sampai kapan, Sen?" "Itu hak gue. Terserah gue mau nunggu siapa pun." "Tapi gue gak bisa terima, Sen. Oke, gue gak akan bahas semua ini sampai Ega ada kejelasan." "Maksud lo?" "Gue akan nunggu selama setahun ke depan. Jika Ega ternyata kembali sama lo, gue mengalah, menunggu janda lo juga gak buruk." "Heh, lo nyumpahin gue jadi janda?! Sialan lo!" "Dan kalau Ega ternyata gak datang, lo gak bisa menghalangi gue buat memiliki lo sepenuhnya." Sena bangkit dari duduknya menuju kasir tanpa menjawab pertanyaan Jo. Ia membayar makanannya saja. Tagihan Jo terkecuali. Jo mengekor di belakangnya. "Lo gak bayarin punya gue?" tanya Jo. "Gue gak punya duit banyak!" jawab Sena cuek. "Ck, pelit lo gak berubah ternyata!" "Lo udah jadi orang kaya sekarang!" "Sen, bayarin dong! Gue gak bawa duit cash ini!" Sena mendelik tajam, "enak saja! Kagak! Bayar aja sendiri sono!" Jo berdecak sebal, ia merogoh saku celananya. Dompetnya hanya berisi beberapa kartu ATM dan kartu kredit. Benar-benar sial, tak ada uang cash sepeser pun. "Sen, tolongin gue dong! Sekali ini aja, ya? Ya?" Jo memelas. Ia benar-benar apes kali ini. Ah, ia ingat pada dua orang bodoh yang melapor pada maminya. "Sini kamu!" Jo melambai pada salah satu pengawalnya. "Siap, Tuan!" "Bawa uang gak?" Si Pengawal mengerutkan kening, lalu menunjuk ke dadanya sendiri, "saya Tuan?" "Iya, kamu! Bawa uang gak?" "Ada Tuan, kenapa?" "Bayarin makan saya sana!" Si Pengawal tertegun sesaat. Kenapa dia malah mentraktir bosnya sendiri? Melihat pengawalnya diam, Jo berdecak, dasar pelit! "Nanti saya ganti! Cepat!" "Iya, siap, Tuan!" Jo langsung mengejar Sena yang sudah berdiri hendak mencegat taksi. "Pulang bareng gue, Sen!" "Gak, entar lo maksa lagi!" "Sini!" Tanpa permisi, Jo menarik tangan Sena dan membawanya ke mobil. "Lo maksa banget ya jadi orang?" "Kalo gak gini gak bakalan berhasil," ucap Jo lalu mengunci pintu mobil. "Bisanya maksa!" "Sen, lo belum jawab pernyataan gue," ucap Jo sambil menatap lurus ke depan. Tangannya mencengkram stir. "Yang mana?" Sena pura-pura lupa. Entahlah, ia memang mengakui sudah masuk dalam pesona Jo sejak lama. Tapi ia tahu diri, Jo terlalu tinggi untuk digapai. "Jika Ega gak kembali, lo harus jadi milik gue." "Gue ngantuk!" ucap Sena sambil menutup matanya dan bersandar ke belakang. "Pakai sabuk pengaman lo!" Jo melirik Sena. Gadis itu nampak tertidur. Jo tersenyum kecil, ia lalu mengambil sabuk pengaman dan memasangkannya pada Sena. Sesaat Jo terdiam. Ia menikmati wajah Sena dari dekat. Nafasnya berhembus teratur. Menandakan gadis itu sudah masuk ke alam mimpi. "Lo harus jadi milik gue, Sena," ucap Jo sambil mengecup pelan bibir Sena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN