Enam Belas

1397 Kata
Sena masuk ke kontrakannya hampir larut malam. Bahkan adiknya sudah mematikan lampu. Mungkin sudah tidur. Beruntung, dia dan Diwan selalu membawa kunci masing-masing. Jadi saat pulang telat seperti ini, tidak mengganggu Diwan yang sudah tidur. Setelah membersihkan diri, Sena masuk ke kamar. Sesaat ia ingat pada ucapan Abimanyu, Sena tidak bodoh, ia tahu maksud dari ucapan ayah Jonathan itu. Dan dirinya cukup tahu diri untuk berani berhubungan terlalu jauh dengan Jo. Bahkan ia sangat menjaga hatinya sekuat mungkin agar tak jatuh dalam pesona Jo. Ya, Sena juga gadia normal. Bentukan wajah Jo ditambah sikapnya yang kadang manis, wanita mana pun tak akan sulit untuk jatuh cinta padanya. Terbukti saat Jo ikut bekerja dengannya di warteg dan toko klontongan. Jo jadi daya magnet pembeli wanita dari semua kalangan. Keputusan Sena untuk menolak Jo sepertinya sudah tepat. Biarlah, pemuda itu merasakan patah hati. Semoga saja tidak lama. Apalagi mengingat Jo yang sering dikelilingi wanita cantik. Sena pernah mendengar, bahwa obat patah hati itu dengan mencari cinta lain, bukan? Sena menghembuskan nafas lelah, ia lalu mencoba menutup mata untuk menuju ke alam mimpi. *** Sena bangun dengan sedikit meringis. Saat ia menggeliat, badannya terasa pegal. Sena mengingat kembali kejadian kemarin. Rasanya, ia hanya ikut casting saja. Tidak mengangkat beban berat seperti saat ia bekerja. Dengan langkah terseret-seret, Sena berjalan menuju kamar mandi. Mungkin mandi air hangat bisa sedikit menolong. Sena mengambil wajan dan menanak air. "Kak, pulang jam berapa?" tanya Diwan yang muncul dari kamarnya sambil menguap. "Jam 10. Kamu udah tidur kayaknya," jawab Sena lalu mengambil kain dan membawa wajan berisi air panas ke kamar mandi. "Wow, Kak Sena casting sampe jam 10 malam?" "Ck, enggaklah! Sore juga udah beres!" "Terus Kak Sena kemana?" "Kakak... itu, aish! Jadi karena itu tanganku pegal!" ucap Sena seolah bicara pada dirinya sendiri. Ia baru ingat semalam mengangkat badan besar milik Jo. "Apa, Kak?" "Ah, tidak apa-apa. Kakak mandi dulu!" ucap Sena lalu membawa sepanci air panas ke dalam kamar mandi. Sena memilih diam di rumah sebelum mendapatkan pekerjaan baru. Membaca buku, atau sekedar berselancar di dunia maya. Yah, setidaknya ia masih punya sedikit tabungan untuk 3 bulan ke depan. Dulu saat ia bekerja, bertemu tanggal merah rasanya sangat menyenangkan. Tapi saat ia menjadi pengangguran seperti ini, suasana kerja menjadi hal yang paling ia rindukan. Tapi ia sudah bertekad untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Ia tak mungkin selamanya jadi pelayan kan? Setidaknya ia harus mampu menghasilkan uang yang lebih banyak agar bisa membeli rumah. Saat jam dinding menunjukkan pukul 4 sore, terdengar suara motor di depan kontrakan. Sepertinya Diwan sudah pulang. Ah, adiknya itu ngotot mencari pekerjaan tambahan sepulang sekolah. Ia bekerja menjadi penjaga konter yang menjual pulsa dan kartu perdana berbagai merek. Dan biasanya Diwan berangkat bekerja sekitar jam 4 sore sampai jam 11 malam. "Udah pulang, Wan? Tumben telat!" ucap Sena sambil masih anteng dengan ponselnya. "Biasalah, ada pemadatan dulu. Sebentar lagi kan aku ujian, Kak," jawab Diwan lalu menyimpan tasnya dan segera mengganti baju seragam abunya dengan kaos. "Makan dulu sana! Jangan langsung berangkat!" Sena bangkit dan mengikat rambutnya. "Udah telat, Kak." Diwan melirik jam dinding. "Makan itu penting, Wan! Seberapa sibuk pun kamu bekerja, jangan lupakan asupan untuk badanmu!" "Bawa aja deh, ntar makan di konter," jawab Diwan lalu mengambil tas selendang kecilnya. Sena hanya menggeleng lalu mengambil kertas nasi, membuat bekal untuk Diwan. "Belum ada kabar dari hasil casting itu, Kak?" tanya Diwan sambil duduk dan minum. "Belum. Rencananya sih, kalau gak ada jawaban sampai 1 bulan, Kakak mau melamar ke perbankan aja, barangkali diterima. Yah, walaupun tak punya pengalaman sama sekali," jawab Sena. Ia memasukkan bungkusan nasi beserta lauknya dalam kantong plastik bekas yang dikumpulkannya saat belanja ke warung. "Tapi kan kerja di bank itu katanya capek lho, Kak? Aku denger dari temenku, abangnya kerja di bank sampe larut malam," Diwan menerima kantong plastik berisi nasi bungkus yang dibuatkan Sena. "Kerja itu gak ada yang enak, Wan. Ya, apa yang didapat pasti sesuai dengan keringat yang kita keluarkan." Sena mengantar Diwan sampai ke depan. "Iya juga sih, ya udah, aku berangkat dulu, Kak!" "Ya, hati-hati!" Selepas Diwan pergi, Sena kembali masuk ke dalam. Terlalu lama menunggu memang membosankan. Ia mengambil salah satu novel roman kesukaannya. Trik jitu pengusir suntuk. Namun ia urung membuka buku, ponselnya bergetar. Dengan cepat, Sena segera mengambil dan membukanya. Satu pesan masuk. Dan alangkah senangnya Sena saat membacanya, ternyata panggilan dari hasil casting itu. Sena tak henti mengucap syukur. Akhirnya penantian panjangnya terbayarkan. Ia diberi naskah untuk peran yang akan ia terima pada film pertamanya. Dengan semangat, Sena mempelajari semuanya. *** Setelah melalui sederet proses, akhirnya Sena mendapat pekerjaan sebagai aktris figuran. Lumayanlah, daripada ia nganggur. Lagi pula, semua berawal dari bawah dulu, kan? "Sena! Kamu sudah siap?" ucap Bram yang menjadi sutradara film terbarunya. "Siap, Bos!" ucap Sena dengan semangat. Ia sudah mempelajari naskah untuk peran yang akan ia lakoni. Ya, ia sangat beruntung, peran pertamanya menjadi pelayan toko. Pekerjaan ini sih sudah jadi kehidupannya sehari-hari. Sena akan menjadi pelayan di toko yang merupakan milik tokoh utama. Cerita romance komedi yang diangkat dari novel dengan puluhan juta viewers. Meski masih figuran, tapi Sena tetap mensyukurinya. Ia akan bekerja keras dan melakukan yang terbaik. Kunci kesuksesan itu berawal dari mencintai pekerjaan yang kita jalani, bukan? *** Sena mengipasi wajahnya dengan kertas. Matahari sangat menyengat siang ini. Yah, ia sedang menjalani proses syuting film pertamanya. Ada satu hal yang cukup mencengangkan, ternyata pemeran utamanya adalah aktris yang pernah di endorse untuk produk baru perusahaan Jo. Ia baru tahu, ternyata proses pembuatan film agar hasilnya sempurna itu tidaklah mudah. Bahkan pemeran utama melakukan beberapa kali adegan yang diulang-ulang. Tak seperti bayangan Sena, bahwa saat para aktris membuat kesalahan, sutradara akan marah besar seperti yang ia lihat di film-film. Ternyata Bram sangat baik. Jika para aktrisnya banyak membuat kesalahan, ia menyuruh mereka untuk istirahat sejenak dan memulihkan konsentrasi dengan membaca ulang naskah masing-masing. "Untuk pemula, aktingmu cukup bagus," Bram menghampiri Sena yang duduk sendirian. Ia lalu memberikan botol mineral pada Sena. "Terima kasih, saya akan bekerja lebih keras lagi, agar hasilnya bagus," jawab Sena lalu menerima pemberian Bram. "Hm, saya suka cara kamu berakting tadi. Berikutnya saya punya proyek film yang cocok buat kamu. Moga aja berjodoh," ucap Bram lagi. Lalu bangkit dan memberi isyarat pada semua kru untuk kembali memulai syuting lagi. Sena mengulang beberapa kali percakapan. Semua harus terlihat natural. Bahkan untuk menyempurnakan hasil, syuting dilakukan dengan berpindah-pindah lokasi. Ini memang cukup melelahkan. Sena pernah sampai tak pulang. Tapi nilai lebihnya adalah Sena bisa sambil jalan-jalan. Apalagi para kru dan aktrisnya sangat bersahabat. Membuat Sena nyaman berada di tengah-tengah mereka. Syuting hari ini sudah selesai. Sena ikut bergabung bersama kru untuk makan malam. Mereka duduk melingkar di atas tikar yang digelar. Syuting terakhir ini diadakan di tepi pantai. "Hari ini makan malam kita akan ditraktir langsung oleh sponsor utama film ini," ucap Bram membuka pembicaraan. "Wah, makan enak ya, Bos?" tanya salah satu kru sambil bersandar pada pohon kelapa. "Pasti lah, beliau CEO baru yang menggantikan posisi Pak Abimanyu." Sena menelan ludah, jangan bilang kalau orang itu adalah Jo? Dugaan Sena tidak meleset. Jo datang bersama 2 orang pengawal yang setia berjalan di belakangnya. "Gus, gue ke belakang dulu, ya? Kebelet!" ucap Sena pada Agus yang duduk di sampingnya. "Eh, gak mau lihat CEO baru? Katanya ganteng lho!" jawab Agus. "Gue nunggu kabar dari lo aja, sama ambilin jatah makan gue ya?" bisik Sena lalu perlahan meninggalkan lingkaran kru dan artis yang berkumpul. Sena masih mendengar Bram memanggil namanya. Tapi ia terus berjalan ke belakang. Biarlah Si Agus yang menjawab pertanyaan Bram. Ia harus pergi sebelum Jo mengetahui keberadaannya dan mengacaukan semua. *** Sena memilih bersembunyi di balik semak. Ia mengintip Jo yang sedang memberikan sambutannya. Pria itu nampak dewasa sekarang. Jujur, Sena belum berani keluar. Ia takut bertemu dengan Jo. Terakhir kali ia bertemu Jo saat diminta tolong Renata untuk membawa pulang Jo yang mabuk berat. Setelah itu belum bertemu lagi. Apa setelah mereka bertemu, Jo masih akan memaksakan perasaannya? Ah, atau pria itu dengan mudah melupakannya? Entahlah! Kru nampak bertepuk tangan. Lalu Jo ngobrol sebentar dengan Bram. Sena menarik nafas lega saat melihat Jo pergi dengan 2 pengawalnya itu. Akhirnya ia bisa keluar dan ikut makan. Seseorang menepuk pundaknya. "Sen, ngapain lo di sini?" "EH KECOAK BUNTING!!" Sena terperanjat kaget. Ia berbalik ke belakang. Matanya membulat sempurna. "Hai!" ucap Jo dengan cengiran khasnya. "Jo?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN