Lima Belas

1623 Kata
"Gue gak bisa," jawab Sena lalu melepaskan pelukan Jo. "Apa? Lo bercanda kan?" "Gue serius, Jo. Gue gak bisa." Jo mengusap wajahnya dengan kasar. "Lo, gue gak percaya kalau lo gak ada perasaan sama gue!" ucap Jo sambil menunjuk d**a Sena. Pelan Sena menyingkirkan telunjuk Jo. "Terserah apa kata lo, Jo." "Ah, gue tahu. Ini kan?!" Jo mengambil beruang besar yang berada di sudut ruangan. Lalu melemparnya dengan marah. "Jo! Apa yang lo lakukan?!" teriak Sena lalu mengambil bonekanya kembali. "Kenapa lo ambil lagi, hah? Buat apa lo mengharapkan seseorang yang gak pernah ngasih kabar sama lo! Gak ada saat lo susah, apa yang lo harapkan, Sen?!" bentak Jo frustasi. Sial! Jadi begini rasanya ditolak? Rasanya Jo ingin marah dan menghancurkan semuanya. "Setidaknya kami sepadan, Jo!" jawab Sena. "Lihat gue! Apa bedanya gue sama lo? Bisakah lo hanya melihat gue sebagai cowok biasa yang menyukai lo?" "Gak bisa, Jo! Lo bukan orang sembarangan. Ingat, ada puluhan juta orang yang menggantungkan nasibnya pada keputusan lo! Ingat, lo bakal jadi pemimpin bagi mereka yang mencari kehidupan di perusahaan lo!" "Lalu, apa hubungannya dengan hati gue, Sen? Oke, hidup gue milik mereka. Tapi tidak dengan hati gue!" "Ck, gaya lo kayak di sinetron aja!" "Lo jangan mengalihkan pembicaraan, Sen! Jadi, please! Bilang kalau lo juga cinta sama gue! Apa susahnya sih?" "Susahnya? Karena lo anaknya Abimanyu. Seseorang yang telah dipersiapkan untuk memimpin perusahaan besar. Lo butuh pendamping yang sepadan. Biar bisa bantu lo nantinya!" Jo berdecih sebal, lalu tertawa miris. "Sepadan kata lo? Sepadan apanya? Ah, apa semua tentang ini?" Jo menunjuk jasnya yang sudah penuh dengan noda. Ia lalu membukanya dan melempar ke sembarang tempat. Hingga menyisakan tubuh atletisnya yang tanpa sehelai kain. Sena memalingkan wajahnya ke arah lain, "ngapain lo buka baju, Bodoh!" "Gue udah melepas semua hal yang membuat lo berpikir kita tak sepadan. Lihat! Gue buang semuanya! Sen, lihat gue!" Jo meraih wajah Sena dan diarahkan padanya. "Gue gak mau lihat!" teriak Sena sambil memejamkan matanya. "Buka mata lo atau gue bisa nekad!" bisik Jo sambil meniup kedua mata Sena. "Ck, dasar bodoh! Lo gak pake baju! Gue gak mau lihat lo!" Sena membuka mata lalu menutupnya lagi. Melihat Jo tanpa baju berada di depannya membuatnya malu. Pipinya seketika merona. Jo menyeringai, "jadi karena ini?" Dengan jailnya, Jo mengambil tangan Sena dan diletakkan di atas dadanya. Sena menelan ludah, gawat! Kolor Jojon mulai korslet! "Lepas, Jo!" "Pipi lo memerah, haha! Jangan bohong, Sen! Lo suka gue kan?" Sena menghembuskan nafasnya dengan kasar. Terpaksa ia membuka mata dan berusaha menguatkan diri. Jika tidak segera diakhiri, Jo bisa makin gila. "Dengar ya, Tuan Pemaksa! Lo gak bisa memaksakan hati gue buat suka sama lo. Lagi pula, hak gue mau nunggu Ega atau tidak. Toh, gak ada ruginya buat lo!" "Seandainya Ega tak pernah datang?" "Dia pasti datang!" "Kalau tidak?" "Gue yakin dia akan datang!" "Berapa tahun lo nunggu dia?" "Itu... sudah 10 tahun yang lalu!" "Bodoh! Dia gak akan pernah datang!" "Gue yakin sama janjinya! Setelah selesai kuliah S2-nya, dia akan datang sama gue. Dan tahun ini dia selesai S2," cicit Sena seakan bicara pada dirinya sendiri. Benarkah Ega akan kembali padanya? Tapi pria itu sudah janji bukan? "Oke, kita lihat sampai akhir tahun ini. Jika Ega tak datang. Lo gak punya alasan buat nolak gue lagi!" Sena tak menjawab. Tatapannya kosong. Jo keluar dari ruangan lalu mengambil kaos milik Diwan yang sedang dijemur. "Wan, pinjem baju!" teriaknya lalu memakai kaos itu sambil berjalan meninggalkan kontrakan kecil Sena. Diwan bangkit dan mendapati kakanya sedang berdiri mematung. Pandangan Diwan menyapu isi ruangan. Ia sedikit terkejut saat melihat pakaian Jo yang berserakan. "Kak Sena nyerang Kak Jo?" tanya Diwan hati-hati, lalu mengambil pakaian Jo. "Kamu percaya gak kalau Ega akan kembali?" tanya Sena lalu duduk lesu dan menyandarkan kepalanya di atas meja. Gerakan Diwan terhenti sejenak. Lalu ia mengangkat bahu, "entahlah, Kak! Ini sudah sepuluh tahun berlalu." "Kamu benar. Dan Ega belum memberi kabar sama sekali." Diwan ikut duduk bersama Sena. "Kakak benar. Aku sih terserah Kak Sena. Aku dukung apa pun keputusan Kakak." "Apa Kak Jo bisa jadi pengganti?" "Gak bisa, Wan. Kakak sudah janji pada Bu Renata kalau Kakak tidak akan pernah menyukainya. Lagi pula, kita dan Jo tidak sepadan. Dia pangeran sementara kita...." "Sudahlah, Kak! Aku mengerti." Sena dan Diwan terdiam. Kadang hidup seringkali dihadapkan pada pilihan. Dan tentu saja pilihan itu yang akan menentukan masa depan. Dan Sena tak mau gegabah. Ia cukup tahu diri tentang siapa Jo dan siapa dirinya. *** "Lho, kenapa berhenti, Sen?" tanya Bu Retno saat ditemui Sena. Ya, Sena memutuskan untuk berhenti bekerja di warteg. Begitu pula di toko. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. "Terus terang, saya nyaman di sini. Tapi saya mau memanfaatkan ijazah yang saya miliki." "Baiklah, saya tidak bisa memaksa. Padahal saya senang kamu di sini, Sen!" ucap Bu Retno lalu ia mengambil kunci dan membuka laci mejanya. "Terima kasih atas pengertiannya, Bu!" jawab Sena. Bu Retno mengeluarkan sejumlah uang dan dimasukkan ke dalam amplop. "Ini ada sedikit uang bekal untuk kamu. Memang tidak besar, tapi saya harap bisa membantu kamu sebelum mendapatkan pekerjaan yang baru." "Makasih banyak, Bu!" Sena menerima amplop berisi uang pemberian Bu Retno. "Iya, sama-sama. Kalau suatu saat kamu butuh pekerjaan lagi, datang saja kemari!" ucap Bu Retno. Terus terang saja, Sena adalah karyawan yang baik. Gadis itu rajin dan pekerja keras. Dia juga tidak suka mengeluh. "Pasti, Bu. Kalau gitu, saya permisi dulu!" Sena pamit lalu menemui Riri dan Mbok Surti. "Lo jadi resign, Sen?" tanya Riri. "Iya, Ri. Maafin gue ya kalau banyak salah sama lo!" ucap Sena lalu memeluk Riri. "Ck, lo kenapa mesti keluar sih, Sen?" "Gue pengen nyoba ngadu nasib nyari kerja berbekal ijazah yang gue punya," jawab Sena sambil tersenyum. Sungguh, sebenarnya ini sangat berat. Apalagi melihat Mbok Surti yang nampak marah padanya. Sena mengerti. Wanita tua itu tengah merajuk saat tahu dirinya akan berhenti bekerja di sini. "Mbok saya pamit!" ucap Sena. "Saya gak dengar!" jawab Mbok Surti. Tangannya sibuk memotong tempe. "Mbok, saya janji kapan-kapan akan berkunjung kemari," ucap Sena lagi. Mbok Surti bangkit dan berhambur memeluk Sena. "Kenapa kamu pergi, Nduk? Apa kamu nanti akan seperti Jo yang menghilang?" ucapnya sambil menahan isak tangis. Sena juga menangis. Ia menyayangi Mbok Surti yang sudah seperti orang tuanya sendiri. "Saya gak akan menghilang, Mbok! Janji, nanti saya akan kemari lagi." "Bener ya? Kamu baik-baik ya, Sen! Jaga diri dan segera berkunjung ke mari!" Sena melepaskan pelukan Mbok Surti dan mengangguk mantap. "Pasti, Mbok. Saya pergi!" Sena meninggalkan tempat yang menyimpan banyak kenangan itu. *** Di sinilah ia berada. Ikut dalam antrian panjang para pelamar yang berminat terjun ke dunia hiburan. Ya, Sena akhirnya memutuskan untuk melamar ke SS entertainment. Ternyata pelamarnya sangat banyak. Sena juga termasuk di dalamnya. Meskipun tidak yakin akan diterima, tapi mencoba tidak ada salahnya bukan? Setelah berjam-jam ikut mengantri, akhirnya namanya terpanggil. Sena disuruh memperagakan beberapa adegan dan membuat berbagai macam eskpresi. Lucu, bahagia, marah, dan masih banyak lagi. Ah, Sena merasa beruntung hidupnya penuh dengan liku sejauh ini. Saat penguji menyuruhnya menunjukkan ekspresi, ia ingat semua yang ia alami. Dan sialnya, saat ia disuruh menunjukkan eskpresi rindu, otaknya malah menunjuk wajah Jo yang berkeliaran di benaknya. Sena kembali keluar. Tinggal menunggu hasilnya. Semoga saja ia bisa diterima. Hari mulai malam saat Sena hendak pulang ke kontrakan. Ponselnya bergetar, ia segera menepi. Kening Sena berkerut, kenapa Nyonya Renata menghubunginya lagi? Sebenarnya ia tak ingin lagi berhubungan dengan keluarga itu. Meski agak ragu, Sena mengangkatnya. "Hallo?" "Hallo, Sena? Maaf, saya menggangu. Bisa minta tolong?" Sena duduk di pinggir jalan. Motornya ia parkirkan di samping tukang nasi goreng yang baru buka. "Ada apa ya, Nyonya?" "Jo tidak mau pulang, Sen! Saya kira hanya kamu yang bisa membawanya!" "Apa? Memangnya dia ke mana, Nyonya?" Sena menelan ludah. Jo lagi. Apa mungkin pria itu berulah setelah ia tolak mentah-mentah? "Dia mabuk berat di sebuah bar. Saya khawatir media melihatnya. Saya mohon kamu bujuk dia, ya?" Sena menghembuskan nafasnya dengan berat. "Baiklah, kirim alamatnya, Nyonya!" "Baik saya akan kirim. Terima kasih ya, Sen?" Sena memakai helm-nya lagi dan memutar arah. Sesampainya di tempat tujuan, Sena mengedarkan pandangan ke semua penjuru. Bau alkohol dan tawa cekikikan w***********g membuatnya mual. Tatapan Sena tertuju pada pria yang tergeletak di sofa. Ada 3 wanita berbaju kurang bahan sedang mengelilinginya. Ya, dia Jonathan. Bahkan pengawal yang selalu mengikutinya pun tak berani mendekat. Mereka sudah babak belur terkena amukan Jo yang tidak mau pulang. "Hahaha! Bodoh, Sena bodoh! Gue keren begini kenapa malah tidak mau?! Hah?! Sena!!" Jo meracau sambil sesekali tertawa dan meneguk lagi minuman racun itu yang entah sudah habis berapa botol. Dengan geram, Sena menghampirinya dan memukul bahu Jo. "Pulang, Bodoh!" Jo menyeringai dan menatap Sena yang baru datang. "Ah, satu lagi, lihat! Wanita cantik ini juga tertarik sama gue! Kenapa Si Sena malah tak mau?! Dasar payah!" ucap Jo lagi. Sena menarik tangan Jo dan sedikit menyeret pria itu. "Whoah, slow baby! Mau ke mana? Ke hotel? Tidak-tidak! Sena akan membunuh gue kalau tahu gue tidur dengan wanita lagi!" Sena tidak mempedulikan racauan Jo. "Ayo pulang!" bentak Sena. Jo mendorong Sena hingga gadis itu terjatuh ke belakang. "Pergi! Jangan ganggu gue! Ah, kalau ada Sena, bilang kalau gue menginginkannya, hiks!" Jo tiba-tiba terisak. "Lo gila, Jo! Sadar, Bodoh!" Sena menampar wajah Jo dengan tangan mungilnya. Pengawal yang berdiri di belakang hendak melerai, tapi urung saat melihat Jo membawa Sena dalam pelukannya. "Lo siapa? Berani nampar gue, huh? Wajah lo... mirip dia! Ya, lo kembaran Sena? Wangi lo juga mirip wangi Sena, ini sedikit... menenangkan." Telunjuk Jo menyusuri wajah Sena. Lalu ia ambruk di pelukan Sena membuat gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Sena melirik dua pengawal yang hanya berdiri diam menyaksikan majikan bodohnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN