Hari yang melelahkan, terik matahari ikut menyumbang timbulnya dahaga siang ini. Sena baru selesai sidang skripsinya.
Setelah 2 bulan lebih ia menjalani bimbingan, akhirnya saat yang dinanti telah tiba.
Hanya ada beberapa revisi yang harus diperbaiki. Sena lega, ia dinyatakan lulus sidang. Tinggal menunggu proses wisuda yang mengharukan itu.
Waktu sangat cepat berlalu. Tidak terasa, sudah 1 bulan sejak Jo mengunjungi warteg. Pria itu kembali ke dunianya.
Sena bahkan tidak pernah berani mengharap lebih saat Jo bilang ia akan berkunjung ke kontrakan kecilnya. Sebab, Sena tahu, Jo sangat sibuk. Ia dipersiapkan untuk memimpin perusahaan ayahnya. Yang Jo temui sekarang pasti orang-orang penting semua. Siapalah dirinya, yang cuma sekedar terima titipan Jo si anak badung agar lebih mandiri.
Tangan Sena merogoh saku celananya. Ia mengambil uang sepuluh ribu dan berjalan ke salah satu pedagang kaki lima yang nakal berjualan di trotoar.
"Minumannya, Bang!" ucap Sena. Tangannya menunjuk pada salah satu minuman yang konon pengganti ion tubuh.
"Ini," Abang penjual memberikan pesanan Sena.
"Makasih," ucap Sena, lalu duduk di bangku tempat menunggu angkutan umum. Ia meneguk minumannya hingga tandas.
Mata Sena tak sengaja melirik papan iklan yang terpasang di perempatan jalan.
Nampak Jo dengan stelan rapi tengah memperkenalkan produk barunya dengan seorang aktris cantik. Mereka nampak sangat serasi. Cantik dan tampan. Kaya dan terkenal. Kedengarannya sangat seimbang bukan?
Sena tersenyum kecut, lihatlah! Betapa bodohnya jika Sena masih mengharapkan Jo untuk mau mampir ke kontrakannya. Jo sudah jadi orang besar sekarang.
Sena memilih pulang ke kontrakannya. Mungkin hari ini ia tidak masuk kerja dulu. Setelah tegang masa sidang, rasanya Sena ingin merilekskan saraf-sarafnya.
Sena menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Sialnya, kenangan saat bersama si Bodoh Jo terus membayangi pikirannya. Sena merutuki kecengengannya yang terus mengingat tentang Jo.
Pulang dengan banyak pikiran seperti ini membuat perjalanan terasa lebih singkat. Ia sampai dengan cepat, atau mungkin hanya perasaannya saja?
Nampak Diwan sedang duduk sambil memegang ponsel di kursi depan.
"Udah beres, Kak?" sapa Diwan saat melihat Sena datang dan memasukkan motornya.
"Udah, Kakak lega. Akhirnya beres juga. Tinggal kamu, Wan! Tahun depan kamu masuk universitas," jawab Sena lalu ikut duduk bersama adiknya.
"Kakak tidak perlu memikirkan itu! Aku udah gede, Kak. Aku mau kayak Kak Sena. Kuliah sambil kerja," jawab Diwan lalu menyimpan ponselnya.
"Jangan, wan! Kamu fokus kuliah aja. Biar Kakak yang cari biayanya."
"Enggak, Kak. Aku gak mau jadi beban Kak Sena terus. Saat aku lulus nanti, aku mau kuliah sambil kerja. Atau kalau perlu, aku mau kerja dulu dan nabung satu atau dua tahun. Setelah itu baru daftar kuliah."
Sena mengacak rambut Diwan, "kamu adik Kakak satu-satunya, Wan. Sudah jadi tanggung jawab Kakak buat biayain kamu."
"Biaya kuliah kan gak sedikit, Kak. Setidaknya aku bisa ikut kerja juga nyari tambahan."
"Eh, ngomong-ngomong soal kerja, Kakak jadi ingat pernah ada iklan casting untuk jadi akrtis figuran."
"Kakak mau lamar?"
Sena menatap Diwan dengan kening berkerut, "menurut kamu?"
"Itu terserah Kak Sena sih. Jadi aktris juga gak buruk. Bisa beken kan?"
"Ck, bukan itu yang membuat Kakak tertarik."
"Terus apa? Ah, atau Kak Sena mau tiap hari ketemu aktor ganteng? Jadiin kakak ipar boleh juga tuh!"
"Ish, otakmu kudu dicuci, Dek!"
"Kalau bukan beken, bukan nyari cogan. Apa coba?"
"Cari uang. Gajinya gede lho, Wan!" ucap Sena dengan antusias.
"Berapa?"
"Sekitar 200 juta untuk satu film."
"Busyet! Gede amat? Masa baru figuran udah bisa dapet segitu?"
"Ho'oh makanya! Bisa beli rumah gede kan buat kita?"
"Bentar deh, Kakak yakin itu bukan manajemen abal-abal? Jangan-jangan dalemnya prostitusi lagi!"
"Ih, bukan, Wan! Ini manajemen aktris itu lho, yang ngeluarin banyak film terkenal!"
"Kakak tahu dari mana gaji mereka segitu?"
"Dari google," jawab Sena tanpa merasa bersalah.
"Ha? Google? Ck, pantas!"
"Maksud kamu?"
"Kata kuncinya apa?"
"Bayaran aktor ternama untuk sekali main film."
"Ya ampun, Kak! Ya iya lah pasti! Kalau aktor atau aktris yang udah terkenal sih pasti bayarannya gede!"
"Kalau figuran?"
"Itu sih, aku gak tahu, hehe."
"Ck, kirain kamu tahu! Eh tapi, Kakak penasaran deh, pengen nyoba casting kek gitu."
"Ya coba aja, siapa tahu Kakak jadi aktris beneran. Ntar aku dapat barokahnya."
"Maksud kamu?"
"Iya, ntar banyak cewek-cewek cakep yang mau jadi pacarku, adiknya aktris papan atas bernama Sena, haha "
"Ngayal kamu!"
"Kakak juga ngayal kan? Haha!"
"Udah ah, masuk yuk! Berhubung ini hari spesial, Kakak udah beli bahan masakan opor kesukaan kamu."
"Wah, asyik nih! Emang Kakak gak ke warteg?"
"Gak deh, Kakak udah bilang Bu Retno kalau hari ini sidang skripsi. Jadi kemungkinan gak masuk. Karena lelah, jadi sekalian aja gak masuk," jawab Sena sambil tertawa.
"Iya sih, kali-kali Kakak bolos, haha!"
Keduanya tertawa dan masuk ke dalam. Memasak opor adalah bentuk perayaan bagi Sena dan Diwan. Mau ulang tahun, lulus ujian, atau apapun itu, perayaannya ya bikin opor yang dimakan bersama lontong.
***
Hidangan spesial sudah siap, Diwan bahkan tak sabar segera mengambil piring dan sendok lalu duduk di depan opor yang masih mengeluarkan asap.
"Wan, itu di luar ada ribut apaan, ya?" tanya Sena yang menghentikan gerakan Diwan.
"Paling ibu-ibu ganjen ketemu cogan, Kak!"
"Tapi kenapa ramenya kayak menuju rumah kita?" tanya Sena lagi. Ia lalu menghampiri jendela depan dan melihat apa yang terjadi.
Mata Sena terbelalak kaget. Pasalnya ada sekitar 20 ibu-ibu yang sedang berkerumun tepat di depan kontrakan.
Tunggu, mereka mengelilingi siapa itu?
Diwan mulai memasukkan suapan pertamanya saat ketukan pintu terdengar. Sena bangkit dan membuka pintu.
"Hai!" Jo berdiri dengan stelan jasnya yang penuh noda di mana-mana.
Diwan hampir menyemburkan lagi makanan di mulutnya.
"Kak Jo?!"
Sementara Sena juga sama kagetnya dengan Diwan. Jadi ibu-ibu di luar sana berisik karena ulah pria di depannya ini?
"Sen, gue boleh masuk kan?" tanya Jo lalu merangsek masuk ke dalam.
"Eh, lo ke sini sendirian?" tanya Sena sambil melihat keluar. Tidak ada mobil, tidak ada pengawal seperti saat ia melihat Jo di warteg.
Jo duduk lalu mengambil mangkuk milik Sena dan langsung memakan opor bagian Sena.
"Iya, gue sendirian," jawab Jo dengan mulut penuh. Ia makan bagai orang kelaparan.
"Kak Jo kerja rodi ya?" tanya Diwan menatap ngeri cara makan Jo yang seperti orang kesurupan.
"Iya," jawab Jo lalu mengambil lagi lontong dan opor yang masih ada.
"Woi! Jangan dihabiskan! Gue belum makan!" teriak Sena saat Jo hendak menghabiskan sisa lontong di wadah.
"Gue kelaparan, Sen! Masa lo tega sih?"
"Lo kabur lagi?"
"Enggak, cuma lagi cari angin segar aja," jawab Jo. Tangannya mengambil segelas air minum dan menghabiskannya sekali teguk.
"Emang di tempat baru Kak Jo itu sumpek ya? Gak pake ac gitu?" tanya Diwan polos.
"Iya, sumpek banget pokoknya. Sen, gue mau ngomong sama lo!" ucap Jo setelah menghabiskan makanannya.
Sena menatap nanar lontong yang sudah lenyap dari wadah. Jo benar-benar menghabiskannya tanpa sisa. Padahal hari ini ia tidak masak nasi. Hanya lontong itu saja.
"Ngomong apa lo? Minta maaf karena ngabisin lontong jatah gue?" jawab Sena dengan kesal.
"Bu-bukan, ini soal yang lain. Tapi...," Jo melirik Diwan yang masih makan dengan tenang. "Bisa kita ngobrolnya hanya berdua?" lanjut Jo.
Diwan meneguk air minum lalu bangkit, "oh, mau ngobrol 4 mata? Boleh, aku keluar dulu kalo gitu."
"Wan, mau ke mana?" tanya Sena lalu menarik Diwan hingga adiknya itu duduk kembali.
"Kan Kak Jo pengen ngobrol berdua aja sama Kakak?"
Sena menatap kesal pada Jo yang dianggapnya telah merusak acara perayaan ini.
"Lo apa-apaan sih, Jo? Mau ngomong ya tinggal ngomong aja, kenapa sih? Kalo emang masalah penting, omongin aja di sini. Diwan adik gue, jadi dia juga harus tahu."
Jo berdecak sebal, bibirnya sedikit mengerucut, "tapi..., gue malu!" bisiknya agak pelan.
"Kenapa mesti malu? Lo kan pake baju!" jawab Sena lagi.
Sebenarnya ia ingin tertawa melihat ekspresi Jo saat ini. Mirip anak TK yang merajuk minta dibelikan mainan.
"Gak apa-apa, Kak! Aku keluar aja," ucap Diwan lalu hendak berdiri. Tapi tangan Sena menahannya lagi.
"Duduk, Wan!"
Diwan diam dan menatap dua orang di depannya.
"Wan, lo harus janji dulu. Pertama, jangan ngetawain gue!"
"Iya, Kak! Kan Kak Jo gak lagi melawak, ngapain aku tertawa?"
"Kedua, lo pura-pura gak denger kalau misalnya..., misalnya..., " Jo menggigit bibir bawahnya. Tangannya bergerak gelisah.
"Misalnya apa, Kak?" tanya Diwan.
"Lo kenapa sih, Jo? Ngomongnya belibet gitu?" tanya Sena. Anak ini kelihatan gak baik. Ia seperti sedang gelisah.
Jo menelan ludah dengan susah payah.
"Ya kalau misalnya gue belum beruntung. Lo jangan ngetawain gue, pura-pura gak dengar aja, bisa?" tanya Jo pada Diwan.
"Oke, siap!" jawab Diwan sambil mengangguk yakin.
Ketiganya diam lagi. Tepatnya Sena dan Diwan menunggu Jo yang nampak makin gelisah.
"Sen, sebenernya gue..., gue..., itu..., anu...," aish, Jo merutuki mulutnya yang tiba-tiba jadi gagap seperti ini. Padahal ia sudah menghapal semalaman.
"Apa? Lo sebenarnya apa? Cewek?" tanya Sena.
Jo menggeleng cepat, "bukan! Gue perjaka tulen kok!"
"Ya terus apa?" tanya Sena gak sabar.
"Itu..., anu..., sebenarnya gue..., duh, gimana ngomongnya ya? Lupa lagi!"
"Lo kebelet?" tanya Sena lagi. Wajah Jo kian memucat. Pria itu juga berkali-kali membasahi bibirnya.
"Enggak, kok! Cuma itu..., gue..., suka sama lo!" Fiuh, akhirnya keluar juga kata-kata itu. Setelah keluar keringat dingin, Jo berhasil. Yah, dirinya belum pernah menyatakan perasaan pada wanita. Kebanyakan wanita lah yang lebih dulu terang-terangan menyatakan cinta pada Jo.
Sena terdiam. Ditatapnya Jo dengan lekat. Pria itu nampak sangat payah saat ini. Jas yang belepotan dengan noda krim, wajah yang memucat, ditambah rambutnya yang sedikit acak-acakan. Ia seperti melihat Jo bodoh yang pernah tinggal bersamanya. Berbeda dengan Jo yang datang ke warteg.
Dengan gerakan pelan, Jo mengambil jemari Sena yang juga terasa dingin.
"Lo, denger kan?" tanya Jo pelan, lalu ia melirik Diwan, "kalo lo pura-pura tuli dulu!" ucapnya lalu menatap Sena lagi.
"Gue...," Sena menatap Jo yang meremas jemarinya pelan.
"Jangan jawab sekarang kalau lo belum yakin."
"Kita berbeda," bisik Sena pelan. Bahkan sangat pelan. Ia seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Gue gak peduli, Sen!" ucap Jo lalu menatap Diwan yang masih bengong.
"Wan, keluar dulu!" perintah Jo. Diwan menurut dan segera keluar.
"Tapi gue...," Sena tak meneruskan kata-katanya. Jo tiba-tiba memeluknya erat.
"Gue mohon, bilang kalo lo juga cinta sama gue!" bisik Jo di telinga Sena.
Sena tak menjawab. Ucapan Renata tentang jangan pernah jatuh cinta pada anaknya kembali terngiang. Apa ia sudah ingkar janji?
Dan tentang penantian itu..., apa boleh ia menyudahi penantiannya? Sena membiarkan Jo memeluknya. Matanya menatap boneka beruang besar yang menyaksikan dirinya dan Jo berpelukan di ruangan itu.