Pagi itu, Ali duduk santai di teras rumah, menyeruput teh hangatnya. Matanya menatap Alia yang baru saja selesai shalat Dhuha dan bergabung di sampingnya. “Alia,” katanya lembut, “Abi mau bicara serius.” Alia mengerutkan dahi. “Serius gimana, Bi?” Ali menghela napas panjang. “Abi ini sudah terlalu lama bekerja keras. Kamu lihat rambut Abi? Uban makin banyak. Abi mau pensiun, mau lebih banyak waktu sama Umi. Nah, perusahaan ini mau Abi serahin ke siapa lagi kalau bukan ke anak Abi? Fakih masih kecil.” Mata Alia terbelalak. “Abi mau aku nerusin perusahaan?” Ali mengangguk pasti. “Iya. Kamu anak pertama Abi. Kamu cerdas, tangguh, dan punya naluri bisnis yang bagus. Abi yakin kamu bisa bawa perusahaan ini lebih sukses lagi.” Alia seketika bersemangat. “Ya Allah, Bi! Beneran? Aku mau bang