Sebuah kenyataan dari sebuah kota besar yang kejam.
“Kasihan ya orang seperti mereka,” ucap Gan Skuy mengawali percakapan yang terjalin antara ia dan Add Me A.
Add Me A malah diam saja, “…”
Gan Skuy berkata lagi, “Aku jadi membayangkan kalau salah satu dari kita sehari-hari punya kehidupan seperti orang-orang itu.”
“Tidak usah kebawa perasaan, Gan Skuy. Mereka itu cuma orang kampung naif yang pegi ke kota besar tanpa bekal memadai dan akhirnya jadi sampah di tempat mereka berdiri,” sahut Add Me A datar.
“Respon yang kamu beri dingin banget ya, Add Me A. Mungkin kamu berasal dai latar belakang yang membuat kamu bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi, kalau melihat dari sudut pandang mereka. Kita tidak akan bisa mengatakan hal yang sama, ‘kan?” balas Gan Skuy.
“Pola pikir kayak gitulah yang membuat bangsa ini gak maju juga. Bisa bahaya kalau pola pikir kayak gitu dimiliki sama pemerintah atau orang kaya lainnya,” balas Add me bertampang kesal.
“Hah? Maksudmu apa?” tanya Gan Skuy kelamaan ikutan emosi.
“Aaaarrggh,” desah Add Me A. Gan Skuy jadi memilih diam. Pria itu berkata lagi, “Ada dua hal yang paling aku benci di dunia ini. Yang pertama adalah orang kaya yang naif. Dan yang kedua adalah orang miskin yang manja.”
“I’m sorry, Bang. Tolak ukur orang kaya yang naif dan orang miskin yang manja itu apa?” tanya Gan Skuy seraya melangkah ke hadapan Add Me A. Menghalangi langkahnya.
“Kalau kamu kaya… kamu memilih untuk memberi bantuan besar-besaran pada para orang miskin ketimbang mengajari mereka cara menjadi orang kaya…”
Eh?
Mereka berdua kembali melangkah bersama.
Add Me A melanjutkan, “Dari luar mereka terlihat dermawan. Tapi, aslinya mereka hanya ingin pengakuan dan pujian dari orang lain.”
Ahh…
“Padahal yang mereka lakukan itu salah. Timbang memberi barang-barang bersifat fisik lebih baik memberi ilmu yang membuat para orang susah itu bisa menghasilkan sesuatu untuk kemaslahatan bersama,” lanjut Add Me A.
“Benar juga,” respon Gan Skuy. “Jika melakukan hal seperti itu. Yang ada hanya para orang kaya hanya terus mempertahankan kemiskinan.”
“Lebih tepatnya mempertahankan ladang uang mereka. Di mana pun… kemalasan orang miskin itu mesin pencetak uang untuk mereka yang punya otak bisnis.”
Aduh, terlepas dari benar atau tidak ucapannya. Aku merasa terusik karena menyadari apa yang ia ucapkan itu sangat relate dengan kehidupan orang-orang di sekelilingku, batin Gan Skuy.
“Dan kesalahan orang miskin adalah menikmati kemiskinan mereka karena terus dikasihani dan dimanja oleh pemerintah dan orang-orang yang kaya. Cih,” lanjut Add Me A.
“Apa kamu berpikir kalau Rev 4 Rebellion adalah tipikal orang miskin yang manja? Itu kenapa kamu menghajarnya sampai memuntahkan lagi makanan yang baru dia dapat akibat belas kasihan Mbak Is is Ist?” tanya Gan Skuy.
“Bukan,” sahut Add Me A. Ia merendahkan oktaf suaranya.
“Lantas?” tanya Gan Skuy.
“Aku menghajarnya karena tidak bisa memahami anak itu. Di satu sisi aku merasa bersalah karena sudah menyakitinya. Di sisi lain aku merasa puas dan terpenuhi,” jawab Add Me A.
Dia ini saiko apa bagaimana, batin Gan Skuy mulai merasa ngeri ngeri sedap.
“Suatu perasaan yang membingungkan. Sama seperti hubungan kita berempat,” ucap Add Me A lagi.
“Apa kita akan terus seperti ini? Diam pada kenyataan. Dan akhirnya malah saling menyakiti karena prasangka,” tanya Gan Skuy.
“Masalahnya sekarang kita itu belum mengetahui apa pun soal Voice of the Babylon. Kita juga tidak tau siapa lagi yang memilikinya. Aku hanya tidak ingin terjadi hal yang menyedihkan pada kita berempat apabila saling mengenal terlalu dekat,” jawab Add Me A tegas.
Wajah Gan Skuy kembali tampak lemas. Awalnya ia sempat merasa “sedikit” senang karena bisa mengobrol seperti seorang teman dengan Add Me A. Akan tetapi mendengar alasan pria itu memutuskan tetap menciptakan “gap” pada hubungan para member band Children of the Babylon. Kebahagiaan remaja laki-laki itu kembali padam. Bukan karena tidak senang. Tapi… seperti dikecewakan oleh nasib. Oleh kenyataan yang menyatakan bahwa hal yang menyakitkan itu… terkadang ada benarnya juga.
Di persimpangan jalan keduanya berpisah. Gan Skuy ingin menghampiri Riko supirnya yang sudah mnunggu bersama kendaraan yang akan membawa mereka pulang. Sementara Add Me A akan kembali pada jalan yang membawanya pulang menuju kehidupan yang penuh dengan idealisme serta keyakinan.
*
Selama perjalanan pulang Gane lebih banyak diam. Kali ini ia juga memutuskan duduk di jok depan. Biasanya saat pulang ia lebih memilih duduk di belakang agar bisa sekalian tiduran.
Sikapnya yang tidak biasa ini tentu saja melahirkan pertanyaan di benak si supir. Tidak biasa si Tuan Muda Ketiga tampak begitu murung usai kembali dari aktifitas malamnya.
“Apa Anda sedang memikirkan sesuatu, Tuan Muda?” tanya Pak Riko.
Gane menjawab, “Sebenanya aku punya masalah yang sangat besa, Pak. Aku menyadari masalah ini beberapa tahun yang lalu. Dan menemukan jalan keluarnya beberapa bulan yang lalu. Namun, ternyata suatu hal yang aku pikir jalan keluar ini. Malah membawaku dalam masalah yang baru.
“Seperti tidak ada akhir untuk masalah dalam hidup ini.”
“Sebelumnya saya minta maaf, Tuan Muda. Apa pria tua ini boleh memberi sedikit saran berdasar pengalaman hidupnya?” tanya Pak Riko. Tetap serius melajukan kendaraan.
“Tentu saja, Pak Riko. Saya ini selalu terbuka pada sudut pandang semua orang yang berasal dari berbagai macam latar belakang,” jawab Gane tak b*******h.
“Mungkin ini akan terdengar seperti nasihat yang ‘klasik’. Akan tetapi Tuan Muda… masalah dalam hidup ini memang akan selalu ada. Sama seperti kebahagiaan. Bahkan parahnya… bisa jadi kita tak akan bisa merasa bahagia apabila tidak merasakan masalah.
“Yang seharusnya jadi fokus setiap orang dalam menangani masalah mereka bukanlah masalah itu sendiri. Akan tetapi bagaimana cara menyikapi problematika itu.
“Tidak peduli sekaya atau seberkuasa apa pun seseorang. Tak akan ada yang bisa berlari dari masalah atau kesedihan. Yang bisa kita kendalikan hanya cara menyikapinya. Apakah kita akan lebih memilih untuk hancur. Atau malah yang sebaliknya. Itu semua adalah manusia yang putuskan. Bukan ‘kuasa’ dari ‘masalah’ itu lagi.
“Bukankah seperti itu, Tuan Muda?” tanya Pak Riko.
“…”
Gane beranjak melihat ke pemandangan di luar jendela yang bergerak cepat. dilihat dari lokasi tempat mereka berada. Sepertinya sebentar lagi sudah akan sampai ke rumah. Tinggal keluar dari tol. Belok ke kiri dan menyusuri jalan. Setelah itu masuk ke dalam suatu perumahan (atau lebih tepatnya perkumpulan dari rumah) yang cukup mewah. Kediaman keluarga Terasatri sendiri berada cukup jauh dari “gerbang” masuk ke daerah perumahan itu.
“Sudah sampai, Tuan Muda,” beritahu Pak Riko saat mobil yang mereka naiki sudah berhenti tepat di pintu masuk bangunan kediaman keluarga Terasatri. Ia sampai memberitahu karena sejak ia nasihati. Si Tuan Muda ketiga malah tampak merenung dan terdiam sampai tidak langsung turun seperti biasa.
Plok plok plok. Gane seperti “kembali” ke dunia ini. Ia tepuk-tepuk kedua pipinya untuk mengembalikan kesadaran. Berkata sebelum turun dari mobil, “Ayo, Ganendra Delana Ezekiel Stephen Anedera Terasatri. Kamu harus terus semangat dalam menjalani hidup. Tapi, juga tetap realistis dan menyesuaikan diri di mana saja tempat kamu berdiri saat itu.
“No offense!!!” ulangnya berkali-kali. No offense sendiri memiliki makna yang berarti, jangan BAPER! Sebuah kalimat sakti yang akan membuat semua kalimat atau perbuatan jahat jadi punya tameng untuk dilakukan. Tak peduli seberapa menyakitkan sebenarnya.