Tagline

1374 Kata
Sama seperti para member dari band Children of the Babylon yang lain. Gane merupakan pemilik dari Voice of the Babylon. Soal apa itu Voice of the Babylon. Siapa saja yang memilikinya. Atau dari mana asalnya. Ia (dan yang lain) juga tidak tau. Yang jelas mereka berempat dipertemukan oleh suatu kejadian yang “cukup” aneh. Dan akhirnya terus saling “berhubungan” hingga detik ini karena tuntutan kebutuhan. Dan bukannya rasa saling mengisi yang bersifat emosional. Terus didera oleh perasaan sedih yang terpaksa diabaikan. Ditambah pengetahuan terakhir Gane soal efek dari manusia biasa ketika menerima resonansi dari suara solonya. Masih terlalu banyak misteri terselubung di balik kekuatan Voice of the Babylon. Aku tidak boleh bertindak gegabah lagi. Pokoknya aku tidak boleh menyakiti orang lain karena kekuatan terkutuk ini, batin Gane yakin. Di perjalanannya sepulang dari kelas pematangan untuk olimpiade yang tinggal menghitung hari. “Haii, bro,” sapa Aldo yang langsung merangkul salah satu pundak Gane dari belakang. “Belum balik kamu?” tanya Gane heran. “Kan aku jadi pengganti kamu untuk mengurusi beberapa ekskul yang terabaikan gara-gara supervisornya harus jadi tameng sekolah untuk olimpiade cerdas cermat sebentar lagi,” jawab Aldo. “Tomang tameng ndyasmu (pale lu),” balas Gane geli seraya mengangkat tubuh tubuh Aldo sampai beberapa centi dari permukaan lantai. Aldo tertawa renyah, “HA HA HA HA HA HA HA!!!” Saat sudah kembali berjalan normal Aldo yang sehari-hari memiliki tugas (tidak resmi) sebagai informan Gane berkata lagi, “Apa kamu sudah tau sekolah mana saja yang akan jadi lawanmu di olimpiade nanti?” tanyanya. “Aduh, aku tidak peduli siapa yang jadi lawannya. Yang penting itu mengembangkan kemampuan diri sendiri, ‘kan?” jawab Gane malah balik tanya. Aldo malah berdecak kaena tidak setuju, “Ck ck ck. Tidak begitu, bro. kuasailah medan tempurmu. Kuasailah seluk beluk lawanmu. Kuasailah dirimu dan lawanmu setelah itu baru kamu bisa menguasai pertempuranmu,” nasihatnya sok iye. “Itu strategi perang Sun Tzu, ya?” tanya Gane. “Tidak tau aku itu ucapan siapa. Lupa. Yang penting di sini bukan siapa yang mengucapkan, ‘kan? Tapi, apa yang ia ucapkan,” jawab Aldo. “Apa yang kamu ucapkan itu benar. Tapi, aku yang sekarang sedang tidak dalam frekuensi untuk memikirkan sesuatu sampai sejauh itu,” respon Gane. Cara bicaranya jadi lebih datar dan tidak b*******h. “Kamu kenapa, sih?” tanya Aldo dengan pandangan aneh. Gane menyentuh dahi berponinya dengan salah satu telapak tangan. Ia gelengkan kepala pelan. “There is something wrong with my head. Sepertinya sedang ada yang salah dengan kepalaku,” jawabnya pelan. Aldo tampak panik langsung bertanya, “Kamu sakit? Sudah seberapa parah?” tanyanya serius. Gane langsung mengeplak manja kepala Aldo, plaak. “Aku belum mau mati, kuah bakso! Ini bukan semacam rasa sakit yang bersifat fisik. Tapi, lebih seperti…” “Apa ada suatu pikiran yang sedang menekanmu saat ini?” tanya Aldo. “Semacam itu lah. Apa kamu senggang setelah ini,” tanya Gane. “Iya,” jawab Aldo. “Temani aku ke kafe sebentar, yuk. Ada yang ingin aku bicarakan,” ajak Gane seraya menarik dasi seragam Aldo. * Di salah satu kafe hits yang berada di dalam sebuah mall yang terletak tidak jauh dari Rasendrya Onderzoek International High School. Gane dan Aldo duduk berhadapan di suatu meja dengan bentuk lingkaran yang memiliki diameter sekitar tujuh puluh lima senti. Setelah membuat pesanan makanan dan minuman serta membuka obrolan dengan hal-hal yang bisa dibilang ringan. Main course pun disajikan. “Dunia ini benar-benar penuh omong kosong,” ucap Gane. “Memang seperti itulah kenyataannya. Jadi, apa masalahmu?” tanya Aldo. “Saat ini… aku sedang terjebak dalam masalah di mana aku tidak bisa meninggalkan suatu kelompok. Namun, di saat yang sama aku juga tidak merasa bisa terus bertahan di dalamnya,” cerita Gane. Heh? Apa dia sedang terjebak dalam suatu geng kejahatan remaja atau yang semacamnya? Keluarga tempat Ganendra berasal itu kan kaya sekali. Ya masa sih dia terlibat masalah “sederhana” seperti itu. A ha ha ha ha ha ha ha. Tidak mungkin, lah, batin Aldo berusaha membuat nyaman perasaannya sendiri. Gane melanjutkan, “Aku tidak merasa sudah melakukan hal yang salah dalam hidup ini. Aku juga sudah coba berdamai dengan situasi yang tengah aku hadapi. Tapi, masalah yang tidak terlihat terus saja datang. Aku tidak suka berada di tengah orang yang tidak saling membutuhkan. Tapi, mereka terus kembali berkumpul karena memiliki suatu ‘kebutuhan’.” Heehh? Orang-orang yang tidak saling membutuhkan, tapi berkumpul atas asa kebutuhan? Maksudnya apa, batin Aldo masih berusaha menelaah. Aha, dan ia dapatkan jawaban dari pertanyaannya. “Singkat cerita kamu ini baper karena perkumpulan apalah yang kerap kamu singgahi itu sama sekali tidak menganggap kamu sebagaimana kamu menganggap mereka. Begitu, ‘kan?” tanya Aldo. “Aku senang kamu orangnya cepat tanggap, bro,” balas Gane. “Terus kenapa kamu harus ada di sana? Kalau gak suka sama orang-orangnya ya pergi aja, tho. Jangan memperumit hidup sendiri. Lagian emangnya apa juga yang bisa memaksa kamu terus ada di deket mereka? Nggak ada juga, ‘kan?” tanya Aldo. “Aku harap juga tidak ada,” balas Gane pelan. Wajah Aldo tiba-tiba tampak serius. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah sahabatnya dan bertanya, “Apa kamu nyandu barang haram?” Gane tersentak kaget mendengar pertanyaan sahabatnya. Barang haram? “Sa, Sama sekali bukan seperti itu, Al. Ini lebih parah timbang barang haram,” sahutnya berusaha menjelaskan. Yang tanpa ia sadari rupanya malah membuat kesalahpahaman si sobat malah bertambah semakin parah. “MAKSUDMUUU???!!!” tanya Aldo dengan efek hiperbol. Dengan seenaknya ia malah menyimpulkan seenak udel, “Apa kamu terlibat kasus pemboikotan nyawa manusia?” Gane langsung menaruh jari telunjuknya di depan bibir dan mendesis “sepelan” mungkin sampai menarik perhatian dari pengunjung kafe yang lain, “SSSTT!!! SSSTT!!! SSSTT!!! Jangan kencang-kencang dong, Al! Kamu ini bicara apa, sih?” tanyanya kesal. Aldo berusaha membela diri, “Ya habis kamu bilang katanya lebih parah timbang barang haram. Memang apa lagi coba?” tanyanya sembari mengangkat kedua telapak tangan ke udara sebatas d**a. Gane menepuk dahi karena kehabisan kata untuk menjelaskan. Habis tidak mungkin juga kan kalau ia jelaskan secara gamblang. Bahwa ia memiliki jenis suara tidak biasa. Yang sudah membuat anak remaja itu “kesetrum” listrik statis beberapa hari lalu. Tidak mungkin, ‘kan? “Mungkin untuk selamanya kami memang ditakdirkan untuk menyimpan beban ini hanya berempat,” ucap Gane pelan. “Tidak, Gan,” respon Aldo dengan intonasi suara yakin. Lagaknya sok mengetahui apa yang baru saja sahabatnya itu ucapkan. “Semua manusia itu sejatinya saling terhubung,” ucapnya seraya menunjukkan cover dari novel online yang sedang ia baca. Judulnya Linear Bodies. Ucapannya barusan merupakan tagline dari novel tersebut. “Ya sebenarnya sih memang begitu. Itu kenapa kita bisa merasakan sakit atau bahkan kebahagiaan yang orang lain rasakan. Empati dan juga simpati. Tapi, masalah yang sedang aku hadapi ini…” ucapannya terputus. Ia lanjutkan dalam hati, …bukanlah masalah untuk manusia biasa. Dan aku mulai kehabisan kesabaran untuk menghadapinya. “Gan, bagaimana kalau kamu coba ambil rute yang berbeda?” tanya (atau saran?) Aldo. “Maksud kamu apa?” tanya Gane tak mengerti. “Seperti rutinitas yang berbeda dari biasanya. Feeling terganggu yang kamu rasakan sekarang itu bisa jadi perasaan bosan saja, ‘kan? Coba cari hal baru. Sesuatu yang bisa memantik rasa ingin tau menuju kelanjutan kisah kalian,” jawab Aldo. Hmm. PLAAKK. Gane langsung mengeplak (?) manja kepala Aldo. Ia tersenyum dan berkata, “Boleh juga saran puitismu itu.” Aldo ikut tersenyum dan mengayun-ayunkan telapak tangannya. “Ohohohohohohoho. Santai saja, santai saja, santai saja, bro.” Plok plok plok. Gane menepuk-nepuk akrab pundak sohibnya sejak kelas satu SMA itu. “Thank you, bro. Thank you. Respect to you, bro.” “Ini semua…” Aldo melihat semua makanan dan minuman di atas meja. “…kamu yang bayar, ‘kan?” tanyanya. PLAAK. Gane mengeplak manja lagi sobatnya satu itu. “Ucapanmu menghilangkan seleraku saja. Sudah cepat habiskan makanannya atau kau pergi ke dapur saja sana untuk cuci piring,” perintahnya seraya meninggalkan meja. “WKWKWK! Dasar ayam goreng krispi tulang lunak kau,” balas Aldo seraya menghabiskan makanan serta minumannya. Dan menyusul sang sobat yang sedang galau ke meja kasir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN