Afdi

1291 Kata
Di malam harinya. Add Me A, Is is Ist, dan R 4 R berkumpul seperti biasa di tempat yang sudah para member Children of the Labyrinth sepakati. Selama menunggu si vokalis tukang ngaret. Is is Ist beberapa kali membuat kontak dengan Rev 4 Rebellion dan mengabaikan Add Me A karena masih kesal padanya. Alhasil pria itu berakhir merasakan keresahan “seorang diri”. Walau kenyataannya tidak begitu. “Hei, sudah jam berapa ini?” tanya Add Me A pada Is is Ist dan Rev 4 Rebellion. “Apa maksudmu bertanya seperti itu? Aku bukan jam dinding, bodoh,” respon Is is Ist sambil melirik sinis ke pria itu. “Ini sudah jam dua pagi, Sensei,” jawab Rev 4 Rebellion melihat ke arah jamnya yang berbentuk kalung. Datar. “Rev 4 Rebellion, buat apa sih kamu masih merespon ucapannya? Dia itu hanya om-om menyebalkan yang suka mengganggu anak yang lebih muda darinya,” tanya Is is Ist memicing sinis ke arah Add Me A. Rev 4 Rebellion tersenyum melihat wajah manis Is is Ist dan menjawab, “Tenang saja. Saling pukul itu sangat biasa untuk laki-laki.” Is is Ist tetap menatap khawatir, “Tapi…” Add Me A menggertakkan gigi. Kedua telapak tangannya mencengkram kuat guard rail atau pagar pengaman jalan. Jantungnya berdetak lebih kencang. Sayang bukan karena merasa jatuh cinta. Tapi, karena perasaan kesal yang tengah menguasai jiwa. Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang? Kenapa anak itu belum datang?! KENAPA???!!! * Afdiansyah Mahameru Saputra atau lebih lengkapnya Afdiansyah Mahameru Saputra Sandikta. Merupakan salah satu siswa unggulan kelas sepuluh yang bersekolah di Abhicandra Guinandra International High School. Biasa dipanggil Afdi atau Abdi. Anak popular yang ceria dan ramah terhadap siapa pun. Bukan hanya itu. Ia juga terkenal sebagai siswa yang sangat cerdas dan sudah biasa menjadi wakil sekolah dalam berbagai macam kejuaraan. Tidak heran banyak siswa yang mengidolakan dirinya. Dan menjadikan ia sebagai patokan “anak yang ideal”. Yang mungkin tidak banyak orang ketahui adalah. Afdi atau Abdi yang “sempurna” itu menjalin hubungan istimewa dengan seorang siswa cupu, culun, kutu buku, anti sosial, pendiam, tidak popular dan semua yang menjadi padanan katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. * Istirahat kedua hari itu. Tak seperti biasa Afdi akan berkumpul bersama teman-temannya sesama anak hits di sekolah. Ia memutuskan pergi ke bagian belakang dari gedung olah raga. Sesampai di sana. Seorang siswa lain yang memegang roti isi daging di tangan. Tengah berjongkok hendak memulai prosesi makan siang. “HOY, BROO!!!” teriak Afdi ingin mengejutkan. Dan ia berhasil. Sampai nyaris saja anak itu menjatuhkan makanannya ke tanah. “Astaga!” “A ha ha ha ha ha ha ha,” tawa Afdi puas. “Kenapa tidak makan di kantin saja, sih? Gabung gitu lho sama aku dan teman-temanku,” tayanya. “Tidak perlu berulang kali menanyakan hal itu kan, Di. Di saat kamulah yang paling tau apa alasanku memilih untuk menyendiri,” balas anak remaja laki-laki itu. “Apa kamu tau?” tanya Afdi. “Soal apa?” tanya anak itu dengan raut tidak berselera. “Muhammad Molla Nur Akhir Dzaman yang seharusnya jadi perwakilan utama pasukan Rasendrya Onderzoek International High School baru saja mengalami kecelakaan yang cukup parah dan membuat dia terpaksa absen dalam olimpiade cerdas cermat sebentar lagi,” cerita Afdi. “Terus kenapa? Hal seperti itu bukan urusan kita, ‘kan?” respon anak itu. “Bagaimana bisa bukan urusan kita, bro?” tanya Afdi dengan tampang penuh gairah ketertarikan. “Pihak Rasendrya Onderzoek International High School bisa langsung mengajukan pengganti anak itu dengan mudah, lho.” “Siapa penggantinya?” tanya anak itu. Afdi memegang dagu. “Itu, lho, siapa, sih? Anak terakhirnya keluarga konglomerat Terasatri,” jawabnya. Anak itu ikut memegang dagu dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan tetap ia gunakan untuk memegang makanan. “Keluarga Terasatri itu yang memiliki jaringan bisnis hotel dan resort ternama The Teras Asri, ‘kan? Hebat juga anaknya. Aku pikir dia tipikal tuan muda manja yang biasa ada di cerita cerita,” komentarnya. “Kamu ini benar-benar tidak mengetahui apa pun, ya. Kan anak keluarga Terasatri itu memang hebat den terkenal semua akan prestasinya masing-masing. Terlalu lama hidup dalam gua sih kamu,” ledek Afdi. “Ah, iya juga bisa jadi. Terus apa yang aneh dengan itu? Biasa saja dong kalau sampai anakyang memang terkenal cerdas dan berasal dari gen orang-orang pintar juga langsung terpilih menggantikan anak yang tiba-tiba tidak bisa turut serta karena habis mengalami kecelakaan,” balas anak itu. memasukkan potongan roti daging terakhir ke dalam mulut. Melipat bungkusnya dan ia masukkan ke dalam saku blazer. Akan ia buang ke tempatnya saat kembali ke kelas nanti. “Aku sering dengar gosip dari teman-temanku yang sekolah di Rasendrya Onderzoek International High School. Kalau si bungsu Terasatri ini selama sekolah paling tidak mau kalau disuruh mengikuti beragam kejuaraan sekalipun ia memiliki kemampuan untuk itu. Selain karena ia sudah punya jabatan dalam beberapa posisi penting di organisasi kesiswaan. Ia secara pribadi memang menolak hal itu,” terang Afdi. “Terus kenapa?” tanya anak itu menaikkan sebelah alis. Sahabatnya satu itu memang kadang terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu. Karena merupakan seorang penggemar berat misteri serta konspirasi. “Tidakkah kamu berpikir kalau kecelakaan yang menimpa Muhammad Molla Nur Akhir Dzaman itu ada hubungannya dengan keluarga Terasatri yang ingin membuat anak bungsu mereka setidaknya menorehkan prestsi di jenjang SMA. Sama seperti keempat kakaknya,” tanya Afdi. “Hah…?” respon temannya tak sanggup lagi mengeluarkan kata. “Bagaimana menurutmu? Itu teori yang menarik, bukan?” tanya Afdi semangat, “Keluarga Terasatri yang jaya dan terkenal. Merasakan keberadaan anak bungsu mereka yang ‘biasa’ saja sebagai aib tujuh turunan. Maka memaksa si anak untuk mengikuti lomba dengan mengorbankan siswa yang harus maju selanjutnya. “Teori yang sangat… seksi, ‘kan?” tanyanya. Anak itu menampik wajah “bernafsu” Afdi yang berusaha mendekat ke wajahnya. Ia menyahut tegas, “Tidak mungkin, tidak mungkin, itu tidak mungkin, Di. Nggak mungkin banget.” Wajah Afdi berubah kecewa. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanyanya, “Apa ada sudut pandang lain yang kamu pikirkan?” “Tidak ada, kok,” jawab anak itu. Ia menatap kosong ke depan. “Ih, apaan, sih,” respon Afdi. Anak itu berkata lagi, “Tuan dan Nyonya Terasatri itu cukup punya nama di luar negeri. Mereka bahkan punya banyak kenalan dari kalangan pekerja seni Hollywood. Ya kali orang sepenting mereka mau melakukan hal remeh temeh seperti itu.” “Bukannya justru karena mereka orang besar makanya jadi mudah melakukan dan menyembunyikan hal yang kecil?” tanya Afdi serius. Anak itu membalas, “Hei, hei, hei. Ini bukan waktumu untuk membahas hal seperti itu, ‘kan? Urusi saja lombanya dan pastikan kemenangannya nanti.” “Tenang saja. Aku pasti akan menang. Kecuali apa yang aku curigai benar. Dan hal buruk tiba-tiba terjadi padaku,” balas Afdi serius. Apa yang sudah ia ucapkan sejauh ini pun semuanya serius. Hanya saja orang-orang yang “naif” memang terkadang menyepelekan. Anak itu mendirikan tubuh. Menendang bagian pergelangan kaki si sobat. Dhuk. “Bicaralah seperti itu lagi dan akulah yang akan membuatmu celaka,” “ancamnya”. Afdi tertawa renyah mendengar ancaman sobatnya satu itu, “Kha kha kha kha kha kha kha. Bersikaplah seperti ini juga di depan anak lain, bro.” “Mana bisa, lah!” balas anak itu kembali menendangi “manja” tubuh Afdi. Afdi berusaha melindungi diri. Tapi, ia tak menolak atau melawan tindakan sahabatnya. Dan mereka berdua pun tertawa bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN