Keesokan harinya. Gane bangkit dari tidur dengan perasaan yang sangat ogah-ogahan. Ia merasa sekujur tubuhnya tidak enak badan. Dan ia sudah menahan perasaannya cukup lama. Dengan berlagak baik-baik saja di saat menjalani kegiatan sekolah. Maupun ikut kelas pematangan untuk olimpiade cerdas cermat.
Dan hari ini Gane merasa sudah cukup dengan kesabarannya. Rasa sakit karena tidak bisa mengeluarkan “suaranya” terasa seperti sakau yang sangat menyiksa.
“A… b… c… d… e…” usaha anak itu beberapa kali. Namun, tak peduli berapa kali ia keluarkan suaranya untuk mereda perasaan tidak nyaman itu. Tampaknya tetap tak akan memberi dampak yang diinginkan. Kalau tidak ada manusia yang mendengarkan.
Masih terbaring di atas tempat tidur. Ia dekati kandang iguana peliharaannya yang ia letakkan di atas meja samping tempat tidur. Ia tatap wajah menawan binatang kesayangannya itu baik-baik.
“Going Merry, aku gunakan padamu, ya? Boleh tidak?” tanya Gane pelan.
Sekalipun Going Merry tidak memberi jawaban apa pun. Gane merasa hati nuraninya terketuk oleh perasaan kemanusian terhadap sesama makhluk hidup. Sudah membuat sahabatnya Aldo jadi merasakan listrik statis atau apa pun itulah saja rasanya sudah sangat berdosa. Apalagi kalau harus “menyakiti” makhluk hidup yang bahasanya… tidak bisa melakukan apa pun untuk “menyikapi” rasa sakit mereka kecuali mengeluarkan respon-respon yang “hewani”.
“Maafkan pikiran tuanmu yang jahat ini ya, Going Merry,” ucap Gane seraya mengetuk-ngetuk kaca kandang iguana berusia dua tahun itu.
Jglek. Pintu kamar Gane terbuka dari luar. Kakak perempuan terakhirnya yang bernama Gisella masuk tanpa permisi. “Kok masih enak-enakan kamu?” tanyanya seraya menghampiri Gane yang masih melingker di pinggir tempat tidur.
“Mbak Gis… aku sedang tidak enak badan,” beritahu Gane. Ia melanjutkan, “Kalau hari ini aku minta izin sajaboleh tidak?” tanyanya.
Gisella duduk di sisi tempat tidur Gane dan membelai poni rambut berantakan adiknya. “Kalau benar-benar tidak enak badan tidak mengapa, Gan,” ucapnya lembut.
Gane tersenyum tipis. Mensyukuri respon kakak perempuannya yang terdengar menentramkan jiwa. “Terima kasih banyak, Mbak Gis…”
“Tapi…” lanjut Gisella.
Aahh, rupanya belum selesai, batin Gane aku ra po po.
“…Mbak Gis dengar dari Mas Gombloh katanya kamu mau ikut lomba cerdas cermat atau apalah itu hari ini. Apa tidak apa-apa kalau tidak masuk? Memang kamu tidak akan menyesal? Dek Gane kan belum ada ikut lomba apa pun selama di sekolah menengah atas. Waktu seumuran sama kamu Mas Gombloh, Mas Gambir, Mbak Yatri sama Mbak Gis itu sudah menang lomba… ini lomba itu lomba x lomba y lomba z lomba a lomba b lomba c… dan lomba-lomba lainnya. Belum lagi kompetisi… ini kompetisi itu kompetisi x kompetisi y kompetisi z kompetisi a kompetisi b kompetisi c…”
Haduuh, beginian lagi keluardari mulut betina satu ini, batin Gane malas. Sebelum ucapan Gisella jadi semakin melantur ke sana ke sini mengomentari pilihan hidup anak itu untuk tidak terlalu banyak ikut lomba, kompetisi, atau yang semacamnya. padahal semua alasannya semata karen aku tidak ingin menggunakan “suara ini” di tempat yang salah.
Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, tapi aku juga tidak ingin disakiti oleh apa pun! Bahkan jika itu adalah diriku sendiri.
Aku mohon, Tuhan!
“Sudah, cepat bangun sana! Badan kamu tidak panas, kok. Pasti masih kuat lah kalau dipaksakan. Jangan sampai kamu sia-siakan semua perjuangan Mas Gombloh, Mas Gambir, Mbak Yatri, dan Mbak Gis,” ucap Gisella seraya menepuk-nepuk bed cover yang membungkus tubuh Gane.
Anak itu pun memaksakan diri untuk bangun. Mbaknya benar juga saat itu. Jika ia sampai tidak masuk hanya karena rasa sakit yang “tidak seberapa”. Rasanya semua rasa sakit yang sudah ia perjuangkan akhir-akhir ini akan jadi tidak ada artinya.
Gane pun keluar dari selimutnya dan melangkah gontai menuju kamar mandi.
Gisella yang masih duduk di pinggiran tempat tidur Gane langsung berwajah semangat dan menyoraki, “GOGOGO GANE GOGOGO! Semangat, luar biasa, keren! Semangat, luar biasa, pasti menang! Chayooo!!!”
“Berisik sekali keturunan Hawa satu itu. Alamaak,” respon Gane pelan seraya menyalakan keran di bath tube.
Zzzzrrrrsssshhhh.
*
Apa yang tengah ia rasakan bukanlah tipikal rasa sakit yang mudah untuk dipahami. Apakah kepalanya yang sedang mengalami rasa sakit? Semacam pusing? Iya, tapi di saat yang sama juga bukan. Apakah tangan atau kakinya yang tengah merasa sakit? Iya, tapi di saat yang sama juga bukan. Apakah bagian punggungnya yang tengah merasa sakit? Apakah bagian dadanya? Apakah bagian tengkuknya? Tungkai? Lengan atas? Bagian pinggul? Bagian panggul? Bagian tengkorak yang tengah merasa sakit???
Iya, tapi di saat yang sama juga bukan, batin Gane menjawab sendiri pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.
“Yhoyhoyho, bro, bradar, bruder!” ucap Aldo yang tengah melangkah dengan semangat dari kejauhan. Untuk hampiri Gane yang sedang berkumpul bersama anak-anak lain dan para guru yang akan berangkat menuju arena olimpiade cerdas cermat.
“Seperti biasa. Orang yang ‘terlalu’ pintar itu selalu semangat, ya,” komentar Gane pelan.
Dari cara sobatnya menjawab membuat Aldo yakin ada hal yang tidak beres sedang terjadi pada Gane, “Eh? Bro, kamu kenapa? Sedang sakit?” tanyanya separuh berbisik. Khawatir kalau sampai pertanyaannya kedengaran oleh guru. Malah menimbulkan respon atau hal yang tidak perlu. Ini adalah momen yang cukup krusial untuk sekolah mereka.
“No, I am fine, I am fine,” jawab Gane berusaha menenangkan dirinya sendiri yang memang tengah merasa sangat kurang baik.
“Are you seriously? But, you don't look all right, bro. Kamu beneran serius apa gak, sih? Tapi, kamu tidak terlihat baik-baik saja, lho. Wong mukanya aja kayak patung manekin begitu,” tanya Aldo tampak cemas dalam dua bahasa saking bingungnya ia.
“I have to admit that I'm not in the best shape possible to enter the race right now. Gimanapun juga harus aku akui kalau aku memang nggak sedang ada dalam kondisi paling baik untuk ikut lomba atau apa pun itu saat ini,” jawab Gane tersenyum tipis.
“Lalu, kalau sudah begitu lantas apa yang akan kamu lakukan?” tanya Aldo dalam bahasa Indonesia.
Gane menjawab dengan raut wajah yang berusaha ia buat tampak yakin bin percaya diri, “Make me feel better by bringing home the victory. Tentu saja dengan buat perasaanku jadi lebih baik dengan bawa pulang kemenangan yang semua orang sudah harapkan,” jawab Gane “percaya diri”. Seraya melambaikan tangan dan berjalan menuju mobil sekolah yang akan mengantarnya menuju lokasi lomba.
*
Sesampai di lokasi olimpiade cerdas cermat akan diadakan. Sudah terdapat banyak peserta dari sekolah lain dengan seragam atau blazer mereka yang beraneka bentuk dan warna. Ada yang dari para sekolah negeri unggulan. Ada juga yang dari para sekolah swasta internasional (yang rata-rata memang) unggulan.
“Wah, menyegarkan mata juga kalau lihat seragam anak-anak dari sekolah lain yang warnanya macam-macam begini,” komentar Gane.
Seorang teman menimpali komentarnya, “Ah, macam playgroup saja seragamnya warna-warni seperti itu,” balasnya.
“Aku malah bosan seragam warna hitam dan putih macam orang lagi magang saja,” balas Gane menarik kain blazernya di bagian lengan atas.
Namun, temannya malah tertawa mendengar ucapan Gane, “HAHAHA. Magang kamu bilang? Lucu sekali, sih.”
Padahal itu garing, batin Gane. “Eh, Bud, itu yang seragam sekolahnya warna merah bata dari mana? Model dan gradasi warnanya bagus, ya,” komentarnya.
“Bagus apanya. Model macam seragam anak playgroup saja kok,” balas anak remaja laki-laki bernama Budi itu.
Mendengar jawaban temannya Gane langsung menyentil manja bibir Budi sambil berkata, “Sepertinya mulutmu yang harus dikembalikan ke playgroup, Bud. Asal jeplak saja seperti orang tidak berpendidikan,” balasnya.
“Yaelah, bicara begitu saja memangnya bisa memberi dampak apa sih pada dunia ini,” balas Budi seraya mengusap bibirnya yang habis disentil manja oleh Gane.
Mendengar itu Gane langsung membatin, andai kau tau kekuatan sejati dari kata-kata…
“Kalau aku tidak salah ingat rasanya dulu pernah lihat,” ucap Budi memegang dagu sok tampang berpikir, “Itu, lho… SMA Abhicandra Gui… Gui… Gui… Gui… Guillana? Guimarni?”
“Abhicandra Guinandra International High School,” koreksi Gane. Dalam hati ia membatin, oh, itu toh seragam sekolahnya Afdi yang pernah aku temui dulu. Bagaimana ya kabarnya dia sekarang. Setelah…
“Hey, Gane, Budi, don't be idle there! Kalian ini dasar, jangan malah hanya pada bengong aja di sana!” pinta guru. Mr. Tugiyanto.
“Yes, Mr. Tugi, yes. We will move towards you. Nggak kok Pak, ini juga kami akan segera bergerak ke arah kamu,” sahut Budi menarik satu pergelangan tangan Gane mengikuti Mr. Tugi dan beberapa anak lain yang akan berjuang di cerdas cermat mata pelajarannya masing-masing.
*
Setelah menikmati rangkaian pembuka acara dan “sepatah dua patah” kata sambutan dari ketua panitia olimpiade dan juga perwakilan dari kementrian pendidikan. Semua hadirin pun berpencar untuk menuju lokasi cerdas cermat dari mata pelajaran yang ingin diikuti.
Gane bersama Budi melangkah menuju ruangan tempat diadakannya cerdas cermat untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam alias MIPA. Sudah hadir beberapa penonton, “saksi”, para juri, dan para pemberi pertanyaan di bangku-bangku bagian bawah. Sementara di atas panggung sudah ada dua bangku untuk peserta yang berasal dari Abhicandra Guinandra International High School dan Rasendrya Onderzoek International High School.
Budi meringis sambil memegang dasi, “Waaahh, gila, berdebar sekali jantungku. Kamu tau sendiri kan Gan kalau anak-anak dari Abhicandra Guatemala International High School itu…”
“Abhicandra Guinandra International High School, Bud,” koreksi Gane.
“Ya itu lah pokoknya. Terkenal pintar pintar. Aduh, bisa tidak ya kita menang?” tanya Budi.
Gane membalas, “Kamu bicara seperti itu di depanku. Meremehkan aku apa bagaimana, hah?” tanyanya kesal. Perasaannya sedang tidak enak. Tubuhnya sedang “kurang” sehat. Malah diberi pertanyaan seperti itu. Buat kesal saja, batinnya.
Budi malah tertawa lagi dan menepuk-nepuk punggung Gane ringan. “A ha ha ha ha ha ha ha, tidak, tidak. Aku percaya seribu persen kalau kita pasti berhasil.
“Tenang saja.”
Gane pun memiliki pikiran yang sama. Entah kenapa ia sangat percaya diri bisa berhasil hari ini.
“Menyambut perwakilan dari Rasendrya Onderzoek International High School. Ganendra Delana Ezekiel Stephen Anedera Terasatri dan Hotman Budi Anto Rohman Dimitri.”
Setidaknya sampai dua orang siswa perwakilan dari Abhicandra Guinandra International High School turut naik ke atas panggung dan mengisi kursi serta meja peserta yang akan “berlaga” di sana hari itu.
“Menyambut perwakilan dari Abhicandra Guinandra International High School. Afdiansyah Mahameru Saputra Sandikta dan Revanth Nolan Diatmika Rahardian Teguh Indradewa…”
Afdi di meja lawan sekolah Gane tersenyum tipis melihatnya. Sementara anak di sampingnya…