"Tu-Tuan!!!" Lirih Zeva terkejut saat mendengar suara Arga, serta tangan Arga yang sudah mencengkram kuat lengannya.
"Apa arti sumpah dan janjimu. Aku menaruh kepercayaan penuh, tapi kamu malah mengingkarinya." Arga terus menatap Zeva dengan tatapan horornya, membuat Zeva benar-benar ketakutan.
"Maaf, Tuan. Saya lupa, saya akan…
"Tanpa kamu jelaskan aku tahu kamu lupa. Ikut!" dengan segera Arga menarik pergelangan tangan Zeva tanpa mendengar penjelasan Zeva. Ana sendiri yang melihat Arga membawa Zeva pergi tidak ada niatan untuk mencegah, apalagi hanya sekedar bertanya Zeva akan dibawa kemana, Ana hanya memandang kepergian Zeva dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Bagaimana dengan keadaan suami saya, Dok?" Ana kembali mengulang pertanyaannya, namun pertanyaan kali ini terdengar sangat dingin.
"Jantung Tuan Yudda semakin lemah, Nyonya. Maaf, dengan berat hati saya terpaksa memberi kabar buruk ini pada anda, karena sejak kemarin keadaan Tuan Yudda tidak ada perkembangan, justru malah semakin menurun." Ana yang mendengar jawaban dokter benar-benar merasa frustasi.
Karena dokter merasa tidak tega melihat kesedihan yang diperlihatkan oleh Ana, akhirnya dokter pun memilih pergi.
Dirumah utama Tuan Wijaya
Saat ini Zeva ada di tengah-tengah keluarga besar Tuan Wijaya. Zeva benar-benar merasa ketakutan saat melihat satu persatu yang memandang dirinya dengan pandangan seperti ingin menelan dirinya hidup-hidup.
"Jadi wanita ini yang kamu maksud?" Tuan Wijaya mulai membuka suara untuk yang pertama kalinya, dan pertanyaan tersebut dilayangkan pada putranya langsung.
"Tepat sekali, Ayah." Dengan santainya Arga menjawab pertanyaan Tuan Wijaya, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Tuan Wijaya.
"Apa kamu buta, atau memang otakmu yang sudah tidak berfungsi. Lihat Derajat keluarga kita, bagaimana bisa kamu memandang wanita ini istimewa?" Ujar Tuan Wijaya berang, merasa tidak percaya dengan fakta baru mengenai putranya. Arga yang mendengar ucapan Tuan Wijaya yang terdengar tidak menyukai keberadaan Zeva, segera masuk ke tengah-tengah di mana keluarganya mengelilingi Zeva. Arga menarik tangan Zeva pelan lalu membawa Zeva pergi dari rumahnya tanpa permisi pada keluarganya.
Sedangkan keluarga Arga, tidak mencegah atau melarang kepergian Arga, dan membiarkan kepergian Arga begitu saja tanpa ada yang berani mencegahnya, termasuk Tuan Wijaya.
Arga membawa Zeva masuk ke dalam mobilnya lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, hingga membuat Zeva merasa sedikit ketakutan.
Cukup jauh Arga membawa Zeva pergi dari rumahnya, hingga mobil yang dibawa Arga berhenti di suatu tempat, yang kalau Zeva tebak itu adalah rumah pribadi.
Zeva bisa menebak rumah itu adalah rumah pribadi itu karena tidak ada penghuninya atau tidak terlihat ramai dari luar, seperti rumah kosong tak berpenghuni, apalagi Zeva melihat rumah itu terletak cukup jauh dari perumahan lainnya.
"Tuan Untuk apa kita ke sini? "Zeva Langsung melayangkan kalimat tanya, karena merasa penasaran dirinya dibawa ke rumah pribadinya.
"Bukankah kamu ingin bertanggung jawab atas kesalahan ayahmu? Jadi kamu tidak perlu bertanya untuk apa aku membawamu ke sini, selain untuk menyelesaikan urusan kita memangnya untuk apa lagi. Kamu lupa, apa tujuan utama aku membawamu pergi, tidak lain cuma satu, yaitu urusan kita. "Arga menjawab pertanyaan Zeva dengan penuh ketegasan, hingga membuat nyali Zeva yang sempat terdengar berani langsung ciut seketika karena merasa takut. Zeva sendiri Sebenarnya masih tidak mengerti karena kalau hanya untuk menyelesaikan permasalahannya bisa di perjalanan tadi, atau bisa saja langsung di rumah Tuan Wijaya tadi, karena Zeva bisa meminta maaf langsung pada Tuan Wijaya tanpa harus bersusah payah di bawah ke rumah pribadinya Arga.
Namun meski begitu, Zeva tidak berani bertanya, karena Zeva masih ketakutan melihat raut wajah kekejaman Arga.
Arga sendiri menyadari ketakutan Zeva, namun Arga masih tetap dengan tampangnya yang terlihat menakutkan di mata Zeva tanpa berniatan untuk merubah nya agar terlihat lebih kalem agar Zeva tidak merasa takut.
"Kamu tahu, siapapun orang yang mengusik ketenanganku, termasuk orang-orang ku, itu artinya mereka sudah terlibat masalah besar denganku, seperti yang dilakukan ayahmu waktu itu," Arga kembali mengingatkan apa yang dilakukan oleh Yudda pada Zeva.
"Itu karena Ayah tidak tahu kalau itu adalah Tuan. Saya yakin, kalau saja ayahku tahu orang itu adalah Anda, maka ayahku juga tidak mungkin ingin menolong Bapak tua itu. Jadi inti kesalahannya adalah, Ayah tidak sengaja mengusik ketenangan atau apa yang menjadi pekerjaan kesukaan anda. Tolonglah Tuan, kita berdamai!" Zeva meminta dengan segala permohonan agar berdamai dan mengakhiri permasalahan mereka.
Arga yang mendengar permintaan damai dari Zeva langsung memperlihatkan senyum termanisnya, hingga Zeva yang melihat senyum penuh ketampanan Arga sempat merasa terpesona.
"Kamu ingin berdamai?" tanya Arga sambil menganggukkan kepalanya pelan, tanpa menghilangkan senyumannya, lalu membawa langkahnya mengitari tubuh Zeva dengan sangat pelan. Zeva sendiri tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Arga, karena menurut Zeva Arga juga tidak membutuhkan jawabannya.
"Mau tahu bagaimana cara berdamai dengan ku secara menguntungkan? Kamu tidak lupa kan dengan poin utama yang pernah aku katakan seminggu yang lalu? Jadi kalau kamu ingin mengakhiri permasalahan kita, atau kalau kamu ingin berdamai, maka aku ingin berdamai secara menguntungkan bagi aku. Bagaimana, kamu tetap ingin berdamai?" Arga melayangkan beberapa kalimat tanya buat Zeva yang berhasil membuat Zeva mulai merasa tidak tenang. Zeva mulai kepikiran dengan maksud poin utama bagi Arga. Karena Zeva memang ingin masalahnya dengan Arga segera selesai, atau berdamai, akhirnya Zeva memilih menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Arga.
"Bagus," Arga cukup merasa senang melihat anggukkan Zeva
"Kalau kamu ingin permasalahan ini selesai, urusan aku dengan ayahmu berdamai, maka…
Arga menggantungkan kalimatnya hingga mengundang rasa penasaran buat Zeva. Zeva masih tetap berusaha menunggu kelanjutan dari apa yang akan diucapkan oleh Arga tanpa harus bertanya.
"Maka apa itu, Tuan?" rupanya kalimat itulah yang keluar dari mulut Zeva karena memang sangat penasaran dengan kelanjutan kalimat Arga yang di gantung. Zeva berharap, semoga kelanjutan kalimat Arga tidak membuat masalahnya semakin bertambah. Arga sendiri langsung menarik nafasnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan kalimatnya. Zeva melihat wajah Arga tidak terlihat sedang bercanda, bahkan terlihat sangat datar yang artinya saat ini Arga sangat serius.
"Maka menikahlah denganku!" bak disambar petir tengah malam, Zeva benar-benar sangat terkejut mendengar ucapan Arga. Zeva langsung menggelengkan kepalanya cepat, saat mendengar kelanjutan dari kalimat Arga yang sempat menggantung.
"Me-menikah, Tuan?" tanya Zeva ingin memastikan
"Kenapa, kamu tidak mau menikah dengan ku? Perlu kamu ketahui, kalau sampai kamu menolak menikah denganku, maka detik itu juga aku akan membuat kamu…