Uap hangat dari air yang baru saja menyentuh wajahnya mulai meredakan denyut di pelipis Alea. Ia mendongak pelan, memandang pantulan dirinya di cermin wastafel kamar mandi. Rambutnya kusut sebagian, wajahnya sembab dengan kantong mata yang terlihat menonjol. Sesekali perempuan itu menguap tanda jika waktu tidurnya masih kurang panjang. Tatapannya jatuh ke kulitnya sendiri—bekas kemerahan di sepanjang leher hingga d**a, sebagian samar, sebagian nyata. Alea mengangkat jemari untuk menyentuhnya, meraba bekas yang masih terasa sensasi aneh. Perih? Tidak juga. Mungkin lebih tepat disebut nyeri dalam batin. “Semua ini karena kamu, Kai,” bisiknya lirih. Senyum masam terbentuk di wajahnya yang lelah. “Tuduhan yang kamu lemparkan padaku, tapi justru kamu yang membuktikan siapa sebenarnya yang le