Uap hangat dari air yang baru saja menyentuh wajahnya mulai meredakan denyut di pelipis Alea. Ia mendongak pelan, memandang pantulan dirinya di cermin wastafel kamar mandi. Rambutnya kusut sebagian, wajahnya sembab dengan kantong mata yang terlihat menonjol. Sesekali perempuan itu menguap tanda jika waktu tidurnya masih kurang panjang.
Tatapannya jatuh ke kulitnya sendiri—bekas kemerahan di sepanjang leher hingga d**a, sebagian samar, sebagian nyata.
Alea mengangkat jemari untuk menyentuhnya, meraba bekas yang masih terasa sensasi aneh. Perih? Tidak juga. Mungkin lebih tepat disebut nyeri dalam batin.
“Semua ini karena kamu, Kai,” bisiknya lirih. Senyum masam terbentuk di wajahnya yang lelah. “Tuduhan yang kamu lemparkan padaku, tapi justru kamu yang membuktikan siapa sebenarnya yang lemah.”
Ia masih ingat dengan jelas—ucapan-ucapan tajam Kaisar yang pernah menuduhnya sebagai perempuan munafik dan paling menginginkan perjodohan ini. Semua itu telah ditelan waktu, tapi malam tadi... Kaisar justru menyerah pada perasaan yang selama ini ia tolak. Dan Alea membiarkan dirinya disentuh. Bukan karena cinta. Bukan karena rindu. Tapi karena... ia terlalu lelah untuk melawan.
Ia menunduk. Ada getir menyusup. Bukan hanya tentang kejadian semalam, tapi tentang dirinya sendiri yang tak cukup kuat mengatakan 'tidak'.
'Apa aku sebegitu lemahnya?' bisiknya lagi, jemari mencengkeram ujung wastafel. 'Apa karena aku pikir dia suamiku, maka aku harus merelakan segalanya? Atau karena dalam hati kecilku... aku memang mulai peduli padanya?'
Ia menggeleng. Tidak. Jangan sampai hatinya mengaku begitu.
Air kembali disiramkan ke wajah. Setelah beberapa menit, Alea keluar dari kamar mandi dengan langkah mantap, meski tubuhnya masih menyimpan sisa-sisa letih dan gejolak emosional.
Di atas ranjang, Kaisar tidur telungkup seperti biasanya dan Alea tak ada keinginan untuk membangunkan suaminya. Memilih keluar kamar untuk membantu mama mertuanya memasak sarapan. Rutinitas yang selama Alea tinggal di rumah ini selalu dilakukannya setiap pagi.
"Selamat pagi, Ma. Masak apa kita hari ini?"
Kristi memutar kepala, memberikan senyuman terbaiknya ketika mendapati sang menantu yang kini mendekat padanya.
"Lea, kamu ini selalu saja rajin sekali. Pagi-pagi sudah bangun membantu mama. Tidak salah mama memilihmu untuk menjadi istrinya Kaisar."
Alea tersenyum. "Mama ini selalu saja memujiku. Bukankah mama juga selalu bangun pagi-pagi sekali? Jadi ... saya juga akan belajar untuk menjadi istri yang baik seperti mama."
Kristi menggenggam tangan Alea. "Lea, andai mama boleh egois, mama akan tetap mempertahankan kamu untuk menjadi menantu mama apapun yang terjadi. Tapi mama juga tahu jika sampai detik ini sikap Kaisar padamu belum juga ada perubahan yang berarti. Bolehkah jika mama berharap agar kamu lah yang lebih gencar mendekatkan diri pada Kaisar?"
Lea tersenyum masam. "Mana bisa begitu, Ma. Bukankah Kaisar sudah ada perempuan yang dia cinta?"
Kristi terkejut mendengarnya. Tubuhnya menegang. "Lea, jadi ... kamu sudah tau? Apa Kaisar yang memberitahukannya padamu?"
Alea menganggukkan kepalanya. "Saya tidak ingin menjadi alasan Kaisar membenci saya atau mama karena alasan perjodohan. Tapi mama tenang saja. Saya juga akan berusaha menjalani tugas saya sebagai seorang istri yang baik untuk Kaisar dan menjadi menantu yang baik untuk mama selama saya dan Kaisar masih terikat dalam pernikahan yang sah."
"Alea, terima kasih."
"Sama-sama, Ma. Oh ya. Jadinya kita mau masak apa pagi ini, Ma?"
"Eum ... bubur ayam saja bagaimana? Mama lihat wajahmu pucat. Pasti kamu kecapean karena beberapa hari ini dobel shif. Jaga kesehatan Alea. Atau kamu resign saja. Biar Kaisar yang kerja. Kamu sebagai istri tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah saja."
"Nggak bisa begitu, Ma. Saya harus tetap kerja. Bagaimana pun juga saya tidak tau kan akan sampai kapan jadi istrinya Kaisar."
"Hust, jangan ngomong begitu. Meski kamu memberikan kesempatan hanya sampai satu tahun, tapi mama sendiri yang akan pastikan jika kamu akan tetap jadi menantu mama. Dan Kaisar ... dia yang nanti akan mama pastikan jatuh cinta duluan sama kamu, Alea. Mama yakin sekali jika Kaisar akan takut kehilangan kamu suatu hari nanti."
Alea hanya tersenyum. Tidak menjawab dan tidak lagi ingin membahas tentang pria itu. Alea mulai fokus membantu Kristi memasak untuk sarapan mereka pagi ini.
•••
Meja makan yang tadinya kosong, satu per satu hidangan mulai disajikan. Kresna dan Kaivan menuju ruang makan hampir bersamaan. Disusul oleh langkah kaki Kaisar yang menuruni anak tangga dari lantai dua.
Alea yang sedang meletakkan kopi untuk papa mertuanya, mendongak memperhatikan Kaisar yang sudah tampil rapi dan wangi bersiap mau pergi bekerja. Namun, begitu Kaisar memasuki ruang makan, wanita itu memutus pandangan. Kini giliran Kaisar yang memperhatikan gerak gerik Alea. Ada canggung yang dirasa ketika Kaisar mengingat aktifitas mereka semalam. Alea, wanita yang mungkin sejak malam tadi akan menjadi candu baginya karena hanya dengan memandangi perempuan itu saja ada desir halus yang dirasakannya. Kaisar masih memperhatikan kiranya ada sesuatu yang berbeda pada diri Alea akibat perbuatannya semalam. Namun, yang Kaisar dapati masihlah Alea yang sama. Alea yang minim ekspresi ketika bersamanya. Bahkan saat semalam dia menyentuhnya, tak ada penolakan ataupun perlawanan. Kaisar sendiri tak paham, bagaimana mungkin seorang wanita yang baru saja melepas keperawanan masih bisa tampak biasa saja seolah tak ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka berdua.
"Ehem!" Deheman Kristi, menyentak lamunan Kaisar. Pria itu tergagap, mengalihkan pandangannya dari Alea lalu ganti menatap pada mamanya dengan rasa malu, setelahnya buru-buru menarik kursi dan duduk dengan tubuh tegang tidak seperti biasanya.
Dalam diamnya Kristi tersenyum, mencoba menilai dan perempuan itu berpikir seperti ada yang tidak beres dengan tatapan Kaisar pada Alea.
'Apakah ada sesuatu yang telah terjadi pada keduanya?'
"Alea, hari ini bareng sama aku saja," ucap Kaivan memecah keheningan di ruang makan.
Kaisar langsung mendongak, menatap tajam pada adiknya. Hanya tatapan, tanpa ada suara yang dia lontarkan.
Dengan senyuman, Alea menjawab. "Hari ini aku shif malam, Van."
"Oh, aku pikir masuk pagi seperti biasanya. Kalau shif malam, kamu berangkatnya jam berapa?"
"Masuk jam sebelas. Jadi jam sembilan atau paling lambat jam sepuluh lah sudah harus berangkat. Lagian aku belum tau juga perjalanan dari sini sampai rumah sakit kalau malam hari selama apa."
"Kamu berangkat semalam itu? Memangnya berani? Kamu perempuan loh, Le. Biar nanti saja aku yang antar kamu. Okay!"
Alea hanya menganggukkan kepalanya. Dia juga belum pernah berangkat sendirian dari rumah mertuanya karena memang semenjak pindah dari rumah kosnya, baru sekarang dia dapat shift malam. Jadi, untuk menolak tawaran Kaivan, enggan dilakukan. Tidak masalah kan dia diantar oleh adik iparnya.
Namun rupanya, dengan Alea yang tidak keberatan akan penawaran Kaivan, ada hati yang mulai terbakar. Ya ... Kaisar lah yang mulai merasa terganggu akan kedekatan Alea bersama Kaivan. Mereka berdua baru saling mengenal. Sama halnya dengannya yang juga baru mengenal Alea. Tapi mengapa mereka berdua bisa tampak akrab dan dekat.
Apakah dia cemburu?
Kaisar mencoba mengenyahkan pikiran itu. Dia hanya tidak suka saja jika Alea membawa pengaruh buruk bagi keluarganya. Sok-sokan mendekati keluarganya padahal ada yang diinginkan oleh wanita itu.
Tanpa sadar, Kaisar mencengkeram sendok dengan kuat. Dia tidak akan membiarkan Alea dengan mudah masuk ke dalam keluarganya karena seharusnya, menantu perempuan yang ada dalam keluarga Nayaka adalah Dias, kekasihnya yang tak akan lama lagi akan dia nikahi nantinya.