"Seharusnya Kaisar yang bertanggung jawab mengantarkan Alea bekerja karena dia adalah suaminya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang suami harus punya sifat mengayomi," ucap Kresna yang tiba-tiba saja menyahuti obrolan Alea dengan Kaivan.
Namun, jawaban yang Kaisar lontarkan justru penolakan. "Maaf, Pa. Aku sibuk. Hari ini juga akan pulang telat."
Deg. Alea melirik Kaisar. Perempuan itu mencibir dalam hatinya. 'Siapa juga yang mau diantar sama lelaki tak punya hati sepertimu, Kai!'
Hanya saja, apa yang terucap di dalam hati Alea, berbeda dengan yang keluar dari mulutnya. "Nggak apa-apa, Pa. Saya bisa naik grab nanti."
Dan untungnya Kaivan masih juga berbaik hati. "Papa tenang saja. Kalau Kak Kai nggak mau antar Alea, biar aku saja. Aku enggak keberatan sama sekali. Lagian malam ini aku juga nggak ada agenda apa-apa."
Kristi yang diam-diam ikut geram dengan tingkah laku Kaisar ikut menimpali. "Kamu memang adik ipar yang baik, Van. Terima kasih ya, Nak."
Kaisar mendengus keras, membuat Alea merasa tak enak hati karenanya. Sebab keberadaan dirinya ... semua jadi membelanya kecuali Kaisar tentunya. Sebenarnya Alea tidak ingin diperlakukan spesial seperti ini karena perempuan itu tau, sikap baik yang Kristi, Kresna bahkan Kaivan beri untuknya sangat tidak disukai oleh Kaisar. Alea yakin sekali jika Kaisar tengah mengatainya mencari perhatian keluarga padahal yang sebenarnya Alea tak pernah melakukan itu semua.
Mungkin kedua orang tua Kaisar baik padanya sebab kedua orangtuanya. Hubungan mereka di masa lalu yang rapat dan sudah seperti keluarga sehingga mereka memperlakukannya dengan baik. Salahnya ... karena Kristi dan Kresna harus merencanakan perjodohannya dengan Kaisar.
Dan keputusan yang Alea ambil dengan memberikan waktu satu tahun bagi Kaisar sudah hal yang tepat. Jika sampai dalam kurun waktu tersebut dia dan Kaisar tak bisa saling mencintai atau hanya salah satunya saja yang memiliki rasa cinta itu, maka Alea akan mundur dan tak akan menganggu kebahagian Kaisar lagi.
Andai di malam pertama mereka Kaisar tidak berkata-kata yang menyakiti hatinya, mungkin Alea bisa mengajak Kaisar berkerja sama dengan baik,byang mana mereka akan berteman baik saja meski keduanya terikat pernikahan. Sayangnya, kata-kata Kaisar sangat menyakitkan yang membuat Alea merasa sakit hati atas tuduhan yang tidak beralasan dan karena itupula yang pada akhirnya membuat Alea berani bertaruh bahwa Kaisar sendiri lah yang akan jatuh cinta padanya duluan suatu hari nanti.
"Aku berangkat dulu!" pamit Kaisar. Menarik kursinya hingga menimbulkan bunyi gesekan pada lantai. Lalu pria itu menyambar tas kerja di atas sofa dan berlalu pergi begitu saja.
Kristi hanya bisa mengusap d**a dengan sikap dingin Kaisar. Kristi dan Kresna saling pandang. Ini sudah kali sekian mereka berdua melihat bagaimana sikap Kaisar pada Alea dan mereka sungguh merasa tidak enak hati pada Alea.
"Lea, jangan diambil hati semua sikap Kaisar. Nanti mama akan bicara dengannya."
"Ma, jangan paksa Kaisar untuk menyukai saya."
"Lea, mama tidak memaksa. Minimal dia bisa menghargai keberadaanmu dan menerima kehadiranmu di keluarga ini. Masalah perasaan bisa dipikirkan nanti sambil jalan. Karena mama yakin jika cinta akan datang karena terbiasa bersama."
"Ma, Kaisar melakukan itu semua pasti ada alasannya." Alea masih berusaha meredam emosi Kristi karena sungguhan, posisi Alea di sini jadi serba salah sendiri.
"Karena perempuan itu," ucap Kristi lirih
Kresna tak mau makin memperpanjang perdebatan mereka tentang Kaisar. "Ma, sudah. Jangan dibahas lagi. Alea, biarkan saja Kaisar dengan semua sikapnya. Yang perlu kamu tau ... papa, mama dan Ivan menerima kehadiran kamu di sini. Jadi jangan berkecil hati."
Ales menganggukkan kepalanya. "Iya, Pa."
•••
Sore di Jakarta selalu penuh. Penuh kendaraan, penuh suara klakson, dan penuh orang-orang yang ingin buru-buru pulang. Tapi hari ini, Kaisar malah memilih jalan memutar. Bukannya pulang ke rumah, ia malah menepi ke sebuah mal di bilangan Senopati. Di sampingnya, duduk Dias—perempuan yang seharusnya tak lagi ada dalam rutinitas harinya.
"Kenapa tiba-tiba ngajak ke sini?" tanya Dias sambil merapikan tas kecilnya. "Kamu nggak biasanya dadakan begini."
Kaisar menyunggingkan senyum. “Karena aku mau ngelakuin hal yang juga nggak biasa.”
Dias terkekeh. “Belanja?”
“Ya. Belanja. Jalan-jalan. Ngobrol. Apapun yang bikin kamu ketawa sore ini.”
Dias tersipu. “Tumben romantis.”
“Karena aku kangen.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja. Padahal Kaisar tahu, ia tidak seharusnya mengucapkannya. Tapi melihat wajah Dias yang langsung memerah dan senyum yang merekah di bibirnya, ia merasa… lega. Seolah ia baru saja menyelamatkan satu bagian dari hatinya yang masih utuh.
Mereka berjalan menyusuri toko demi toko. Kaisar memilihkan sehelai atasan rajut untuk Dias, memaksanya mencoba sepatu baru, bahkan berhenti di toko aksesoris hanya untuk memilih jepit rambut.
Dan Dias, meski tampak canggung, ikut tertawa dan menikmati semuanya. Seolah sore itu hanyalah milik mereka berdua. Tanpa beban. Tanpa masa lalu.
Namun dunia tidak pernah memberi waktu terlalu lama untuk kenyamanan yang semu.
Di restoran Italia di lantai dua, tempat mereka memutuskan makan malam, kejadian itu terjadi.
Kaisar baru saja mengambil menu dari pelayan ketika suara langkah berat terdengar di belakangnya. Dan sebelum ia sempat menoleh, suara berat yang sangat dikenalnya memanggil namanya.
“Kaisar.”
Kaisar membeku. Suaranya saja sudah cukup untuk membuat perutnya mual.
Ia menoleh pelan.
Dan benar. Di sana berdiri Pak Kresna. Pria dengan jas gelap, dasi merah marun yang selalu rapi, dan tatapan mata yang dingin seperti malam sebelum badai.
“Pa!” Kaisar berdiri kaku. Tangan kanan refleks meremas punggung kursi.
Dias juga ikut berdiri. Senyumnya sopan, hangat. Tak menyadari apa yang sedang terjadi.
“Selamat malam, Om,” sapa Dias yang memang sudah mengenal Kresna sebelumnya. Iya, Kaisar memang pernah membawa Dias datang ke rumah dalam jamuan makan malam bersama keluarga Deki untuk mengenalkan sang pujaan hati pada mama, papa, serta adik lelakinya. Hanya satu kali, selebihnya Dias datang ke rumah jika Kaisar mengajaknya. Entah hanya untuk sekedar mengobrol dengan mamanya atau hanya singgah sebentar menemani Kaisar berganti baju misalnya.
Kresna mengangguk kecil. “Kamu belum pulang, Kai?" tanya Kresna pada putranya. Tak ada senyum hangat seperti biasanya. Entahlah kenapa melihat Dias dari sejak pertama berjumpa, Kresna kurang sreg saja menjadikan perempuan itu sebagai menantunya.
"Aku masih makan malam, Pa. Habis ini juga pulang, kok."
Kresna menatap mereka berdua, lalu mengangguk satu kali. “Baik. Silakan lanjutkan.”
Tanpa berkata lebih jauh, pria paruh baya itu melangkah pergi, meninggalkan Kaisar dengan d**a penuh sesak.
Dias memandang kepergian pria itu dengan alis sedikit terangkat. "Papamu terlihat marah. Ada apa?"
Kaisar memaksakan senyuman meski pria itu tahu bahwa mungkin saja papanya sedang kecewa padanya. Iya, kecewa karena pagi tadi dia sempat beralasan sibuk dan akan telat pulang. Siapa sangka jika dia malah ketemu papanya di sini. Makan malam berdua dengan Dias padahal Kaisar sangat tahu betul jika sang mama akan sangat berharap ketika makan malam, semua anggota keluarga bisa berkumpul bersama kecuali jika memang sedang ada kerjaan atau acara penting yang tak dapat ditinggalkan. Dan biasanya Kaisar akan menyempatkan waktu jalan bersama Dias ketika weekend tiba.
"Papa nggak sedang marah, sayang. Jangan salah paham. Beliau memang tipe seorang papa yang tegas dan terlihat kaku gayanya."
"Oh, aku pikir papa kamu marah karena tau kamu mentraktirku belanja dan makan."
"Enggaklah!" elak Kaisar yang sebenarnya hanya mencari alasan.
Kaisar mengangkat pergelangan tangan kanannya. "Sudah jam delapan. Kita langsung pulang saja ya?"
Dan Dias menganggukkan kepalanya.
•••
Sementara itu, Kresna Wijaya Nayaka memasuki rumah dan melepaskan jas kerjanya.
Kristi, sang istri, duduk di ruang keluarga bersama salah satu pembantu yang sedang memijitnya.
Menyadarkan kehadiran suaminya, perempuan lima puluh tahun itu mendongak menyapa sang suami.
“Pa, sudah pulang?"
Kresna tersenyum lalu ikut duduk di sampingnya. Kristi meminta pada pembantunya untuk menghentikan aktifitas memijitnya.
“Papa sudah makan atau belum?"
"Tadi papa makan dengan klien. Maaf tidak bisa ikut makan bersama kamu tadi."
"Nggak masalah, Pa. Toh, sekarang ada Alea jadi mama tak lagi merasa kesepian karena papa dan Kaisar pulang malam."
"Apa Alea sudah berangkat?"
"Sudah. Diantar Kaivan. Baru saja berangkat beberapa menit yang lalu."
"Kasihan juga Alea kalau pas kebagian shif malam. Harus berangkat lumayan jauh dari rumah. Apa kita belikan Alea mobil saja agar dia lebih aman di perjalanan."
"Mama sih setuju saja dengan usul papa. Lagipula Kaisar juga tidak bisa diharapkan untuk melindungi Alea. Malah lebih perhatian Kaivan ketimbang Kaisar. Padahal Alea itu anak baik dan dia tidak bersalah dalam perihal perjodohan ini. Tapi kenapa mama lihat seolah Kaisar jadi membenci Alea. Pa, apa menurut papa, mama telah salah langkah karena memaksa menjodohkan mereka?"
"Jangan berpikir demikian, Ma. Mama juga tidak boleh menyesali dengan apa yang sudah terjadi. Mama percaya kan jika jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan. Dan mungkin memang jalan jodohnya Alea dan Kaisar harus melewati perjodohan."
"Iya juga, Pa. Tidak mungkin juga kan tiba-tiba saja Alea datang ke dalam keluarga kita jika tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya."
Kresna menganggukkan kepalanya. Lalu beliau berkata lirih, “Aku tadi ketemu Kaisar.”
“Oh, iya? Ketemu di mana, Pa?”
“Dia sedang makan malam di restoran.”
Kristi tersenyum kecil. “Syukurlah. Pasti dia lapar habis kerja seharian.”
Kresna memalingkan wajah. “Dia tidak sendirian. Tapi bersama Dias.”
Kristi membeku. “Apa?”
“Dan jika papa lihat ... mereka sepertinya juga habis berbelanja."
Kristi mengusap wajahnya. “Pa, dia bahkan menolak saat tadi pagi kita minta dia antar Alea. Dia bilang sibuk dan akan pulang terlambat. Ternyata ... Kaisar sungguh keterlaluan."
Suasana di ruangan itu menjadi dingin. Sangat dingin.
“Apakah mama perlu menemui Dias untuk mengatakan hal yang sebenarnya, Pa?"
"Jangan. Bukanlah kita sudah berjanji pada Kaisar, jika kita akan merahasiakan pernikahan mereka."
"Tapi mama nggak bisa membiarkan Alea tersakiti, Pa."
"Papa paham. Tapi, mengenai hubungan Kaisar dengan Dias ... biarkan dia sendiri yang memutuskan akan bagaimana, Ma. Kita jangan ikut campur."
"Alea juga sudah tau Pa jika Kaisar memiliki kekasih. Kaisar sendiri yang mengatakannya pada Alea. Dan Alea meminta waktu hanya satu tahun saja untuk menjalani pernikahan dengan Kaisar. Jika mereka belum bisa saling menerima dalam kurun waktu satu tahun itu, Alea akan mundur, Pa."
"Ya sudah kalau begitu kita ikuti saja alurnya. Kalau semisal mereka memang tak ada jodoh ... kita tidak bisa memaksakan."
"Tapi mama masih berharap Alea tetap menjadi menantu mama sampai kapan pun juga. Nanti mama akan bicara pada Kaisar. Papa mandi saja dulu lalu istirahat. Pasti papa capek seharian bekerja."
"Iya. Papa juga ingin berbicara pada Kaisar mengenai pekerjaan. Sudah saatnya Kaisar ikut mengurus bisnis keluarga karena usia papa juga sudah tak lagi muda."
"Mama setuju. Lebih baik Kaisar keluar dari pekerjaannya lalu membantu papa. Agar dia juga jauh dari Dias. Mama sungguh tidak bisa tenang selagi Kaisar masih sekantor dengan Dias."
"Mama terlihat tidak menyukai Dias?"
"Ya gimana, Pa. Dias sebenarnya adalah anak baik. Hanya saja mama kurang sreg dengan keluarganya."
Kresna menggenggam tangan istrinya. "Kita doakan saja yang terbaik untuk putra kita."
"Iya, Pa."
"Ya sudah. Papa mandi dulu," pamit Kresna lalu beranjak berdiri meninggalkan istrinya.