8. Dosen Galak

1866 Kata
“Wes nasibe kudu koyo ngene, nduwe dosen ora tau ngepenakke. Seneng muring omongane sengak, kudu tak trimo dosenku pancen galak ….”  Lintang bernyanyi seorang diri sembari membersihkan kamarnya. Perempuan itu sungguh kesal mengingat Davit tadi pagi yang sama sekali tidak menghargai masakannya. Lintang juga merutuki dirinya yang mempunyai dosen dan suami seperti Pak Davit yang annoying banget. Terkadang sangat perfect dan terkadang sangat bengek sampai buku saja dibaca terbalik.  Lintang bernyanyi menggunakan lagu yang kini tengah populer itu, khususnya populer di jawa timur dan jawa tengah. Lintang bernyanyi dengan memplesetkan lirik lagunya. Lintang paling suka dengan lagu-lagu koplo yang sering dia dengar dari hpnya. Arti lagu yang dinyanyikan lintang adalah ‘Sudah nasibnya harus seperti ini, punya dosen tidak pernah mengenakkan. Sering ngamuk omongannya sengak”  Lintang terus bernyanyi seorang diri sembari menata tempat tidurnya. Setelah selesai, perempuan itu menjatuhkan dirinya di ranjang miliknya.  Davit  yang sejak tadi masih di ruang tamu pun mendengar nyanyian dari mahasiswi-nya yang juga istrinya. Davit merasa tersindir dengan nyanyian Lintang, ia merasa kalau Lintang sedang menyindirnya.  “Yowes ben duwe dosen sing galak … yowes ben sing omongane sengak!” teriak Lintang yang semakin menjadi.  “Lintang, berisik!” teriak Davit membuat Lintang yang berada di kamarnya segera membungkam bibirnya dengan telapak tangannya.  Lintang mendengus. Meski suara Lintang tidak bagus, Lintang memang hobby menyanyi. Setiap saat meski banyak beban yang dia tanggung, ia tidak pernah melupakan untuk bernyanyi.  Davit juga tahu betul arti lagu yang dinyanyikan Lintang. Mahasiswanya sering menyanyikan lagu dengan judul ‘Bojo Galak’ itu di saat acara wisuda. Dan kini Lintang memplesetkannya menjadi Dosen Galak. Davit tidak pernah merasa menjadi dosen galak. Davit selalu merasa dirinya adalah dosen yang baik hati dan lembut dalam berbicara.  Davit terus mondar-mandir di ruang tamu. Meski Lintang sudah datang, itu tidak serta merta membuat Davit tenang. Lintang masih terlihat marah kepadanya, bahkan mengatainya sebagai dosen galak.  Davit mendekati kamar Lintang, pria itu mendorong pintu kamar Lintang yang tidak dikunci. Davit melihat Lintang tengah memainkan hpnya.  “Lintang!” panggil Davit.  “Iya, Pak?” tanya Lintang.  “Em … Saya mau masak, kalau kamu mau, saya masakin sekalian. Kamu mau makan apa?” tanya Davit.  “Tidak usah, Pak. Saya sudah makan, tadi Mas Fajar pesenin ayam goreng,” jawab Lintang. Davit mengerutkan alisnya.  “Siapa Mas Fajar?” tanya Davit.  “Itu keponakannya pemilik kedai,” jawab Lintang. Lintang meletakkan hpnya, perempuan itu menarik selimutnya. Davit tercenung mendengar nama Fajar yang sangat mengganggu telinganya.  “Pak, apa masih ada perlu lain?” tanya Lintang saat menyadari Davit masih berdiri di depan pintu.  “Eh itu … saya mau ke kamar mandi. Barangkali kamu mau ke kamar mandi juga, kamu boleh duluan,” kata Davit.  “Tidak, Pak. Tadi saya sudah mandi sekalian sudah bu-ang air,” jawab Lintang.  “Ohh ….” Davit mengangguk-anggukkan kepalanya.  “Ada lagi, Pak?” tanya Lintang.  Davit kikuk, ia menatap Lintang yang turut menatapnya. Satu ide muncul di kepala Davit. Pria itu tersenyum setaan. Tadi Lintang sudah mengacuhkannya seharian penuh, saat ia khawatir Lintang yang tidak kunjung kembali, Lintang malah sama sekali tidak mempedulikannya.  “Ada,” jawab Davit dengan tegas.  “Apa?” tanya Lintang.  “Tunggu sebentar!” kata Davit. Davit segera menuju ke kamarnya dan mengambil beberapa buku tebal, beberapa lembar soal, kacamata dan alat tulis. Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, pria itu kembali ke kamar Lintang. Davit meletakkan buku-buku tebalnya di meja samping ranjang Lintang dengan kencang.  Lintang menatap buku-buku tebal tersebut dengan bingung. Buku mulai tentang matematika, perancangan arsitektur dan lain-lain.  “Pak, apa ini?” tanya Lintang.  “Sekarang keberhasilan skripsi kamu semester depan adalah tanggung jawab saya. Saya akan mengajari kamu sampai kamu benar-benar siap menjalani sidang semester depan. Sekarang duduk di sini!”  oceh Davit sekaligus memerintah Lintang. Davit menunjuk kursi yang berada di samping meja belajar.  “Pak, ini sudah malam. Apa saya harus belajar?” tanya Lintang membeo.  “Jelas. Ini rumah saya, saya dosen sekaligus suami kamu. keberhasilan kamu membawa dampak buat saya. Saya tidak mau dicap sebagai suami yang gagal karena tidak bisa membuat istrinya lulus sidang,” oceh Davit menggebu-gebu. Davit mengambil bantal dan menatanya di kursi belajar Lintang. Pria itu menarik Lintang dengan paksa dan mendudukkan Lintang di kursi.  “Kamu belajar sekarang, saya akan memantau kamu,” kata Davit. Otak Lintang ngelag, ia tidak bisa menerima dengan cepat semua ucapan Davit.  Lintang membuka buku-buku tebal itu dengan asal. Apakah seperti ini rasanya menikah dengan dosen?  “Sungguh kejamnya dosenku,” batin Lintang menggelengkan kepalanya.  “Pak, saya tinggal pengasahan saja. Tidak perlu mempelajari ini lagi,” ucap Lintang menutup bukunya.  “Saya bilang belajar, artinya kamu harus belajar!” tegas Davit yang seolah tidak mau dibantah. Mulut Lintang menganga dengan lebar, sekarang ia menjadi korban dari kekejaman Davit. Lintang sudah sangat lelah seharian ini mencuci ratusan gelas dan sekarang harus berkutat dengan buku-buku. Otak siapa yang tidak semrawut coba.  “Pak, saya lelah seharian ini bekerja. Besok saya tidak ada kelas, saya ingin tidur nyenyak dan bangun kesiangan untuk mengembalikan energi,” ucap Lintang memelas. Namun Davit tidak menanggapi. Davit memakai kacamata bacanya dengan santai.  “Silahkan dipelajari. Waktunya dua jam dari sekarang, saya tunggu,” ucap Davit tersenyum kecil.  Lintang mengepalkan tangannya, perempuan itu menyumpah serapahi Davit dengan segala sumpah serapah. Absenan kebun binatang tidak lupa Lintang lakukan. Lintang kembali membukanya dan membaca buku-buku yang diberikan Davit.  “Ini bolpoinnya, kalau tidak ada yang dimengerti, tulis saja pertanyaan nanti di akhir sesi pelajaran saya akan menjawabnya,” kata Davit meletakkan bolpoin di meja Lintang. Lintang ingin memukul kepala Davit saat ini juga, tapi sadar diri … sadar diri kalau ia hanya numpang.  “Ini empat lembar soal juga harus kamu kerjakan. Besok malam harus kamu berikan ke saya,” kata Davit.  “Pak, satu belum selesai dan bapak mau nambah lagi?” tanya Lintang tidak percaya.  “Kenapa? Mau protes?” tanya Davit.  “Enggak, Pak. Saya gak protes,” jawab Lintang. Lintang mulai membaca buku-buku tebal yang diberikan pada Davit.  Dengan setia Davit menatap Lintang yang melakukan apa yang dia perintahkan. Wajah Lintang tampak memerah, terlihat kalau Lintang sedang menahan amarahnya. Hidung Lintang juga terlihat sedang kembang kempis.  Davit mengetuk-ketuk ujung jarinya di ranjang Lintang. Pandangannya terus fokus pada Lintang. Lintang mahasiswinya yang sering tidak fokus dan selalu telat masuk. Saat ini pun disuruh belajar juga berkali-kali tampak menguap. Lintang tidak terlalu cantik, bagi Davit Lintang biasa saja. Dengan Hukma, kemana-mana jauh lebih cantik Hukma. Lintang juga mempunyai perawakan yang ramping. “Pak, ngantuk,” rengek Lintang meletakkan kepalanya di meja. Davit buru-buru menahan kepala Lintang dan memaksa Lintang untuk terus membuka matanya.  “Belum ada dua jam, tidak boleh mengeluh!” kata Davit.  “Pak, jadi dosen jangan kejam-kejam. Nanti disantet mahasiswa lo,” lirih Lintang. “Tidak ada mahasiswa yang mau menyantet saya. Kalau pun ada, itu sudah pasti kamu lah pelakunya,” kata Davit. Lintang mendengus, ia benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan serangan ngantuk. Ia tidak minum kopi malam ini, jadi matanya sudah menjerit ingin diajak tidur.  Lintang menggelengkan kepalanya, perempuan itu menepis tangan Davit. Lintang berusaha keras membuka matanya dan melanjutkan belajarnya.  Namun namanya sudah mengantuk dan mata seperti dilem, Lintang pun jatuh tertidur seraya menyandarkan kepalanya di kepala kursi. Tidak menunggu lama, dengkuran halus terdengar dari bibir Lintang. Davit menghela napasnya, ia menatap istrinya yang tampak tidak merasa berdosa sama sekali.  Davit membereskan buku-buku yang tadi dia letakkan di meja. Pria itu mendekati Lintang, tanpa kesulitan yang berarti, Davit membopong tubuh Lintang dan merebahkan ke ranjang. Davit juga menyelimuti tubuh Lintang sampai sebatas dadaa.  Ada yang mengganjal di hati Davit, yaitu siapa Mas Fajar. Seharian ini ada dua laki-laki yang disebut Lintang, pertama Pak Bayu dosen Tipologi bangunan, dan kedua Mas Fajar keponakan pemilik cafe.  Davit menghembuskan napasnya gusar, pria itu keluar dari kamar Lintang dan menutup pintunya dengan pelan. Davit mengambil hp di saku celananya, pria itu mengetikkan sesuatu di layar hpnya.  Davit : Hukma, kenal Mas Fajar, gak?  Davit mengirimkan pesan singkat pada Hukma, ia berharap kalau adiknya itu akan senang hati menjawab pesannya.  ***** Pagi ini Lintang tengah berkutat di dapur untuk memasak. Kali ini Lintang hanya menggoreng ayam dan membuat sambal hijau. Nyatanya Lintang yang berniat bangun kesiangan pun tidak bisa merealisasikan niatnya karena ia tidak enak hati dengan Pak Davit. Hari ini hari senin, sudah pasti Pak davit akan ke kampus. Pukul tujuh pagi Lintang sudah menyiapkan makanan. Lintang membuat banyak sambal hijau yang cabainya dia goreng sebentar dengan minyak panas.  Davit yang masih bersiap di kamar pun beberapa kali bersin-bersin. Pria itu merasa tidak pernah membeli cabai karena ia tidak suka makan pedas. Dan sekarang pagi-pagi sekali ia merasa hidungnya tengah ditusuk dengan sesuatu yang terasa sangat tajam, sangat khas bau cabai.  Setelah selesai bersiap, Davit segera keluar dari kamarnya seraya membawa tasnya. Davit menuju dapur, ia melihat di meja makan tengah ada nasi, dua porsi ayam goreng dan sambal dari cabai hijau yang lumayan banyak. Tidak lupa segelas kopi turut ada di sana.  “Lintang, dari mana kamu dapat cabai hijau?” tanya Davit. “Kemarin saya pulang sekalian ke pasar beli cabai. Mumpung murah, Pak. Sekilo hanya lima belas ribu, biasanya tiga puluh lima ribu,” jawab Lintang.  “Siapa yang membolehkan kamu membeli cabai?” desis Davit dengan tajam.  “Aturan yang bapak kasih ke saya hanya tentang pembagian wilayah teritorial dan pembagian jam kamar mandi. Di kontrak tidak ada larangan membeli cabai,” jawab Lintang.  “Saya akan merevisi kontraknya. Saya tidak mau ada cabai satu biji pun di rumah ini,” kata Davit yang mengambil nasi serta piring. Davit menuangkan nasi dan ayam goreng ke piringnya.  “Pak, bapak tidak boleh begitu, dong. Saya suka cabai, kalau bapak gak suka ya gak usah makan!” seru Lintang.  “Tapi mengganggu penciuman saya. Ini rumah saya dan kamu-”  “Iya saya tahu ini rumah bapak. Saya juga akan pergi dari sini setelah dua bulan!” sela Lintang dengan cepat. Lintang mengambil nasi, ayam dan sambal. Perempuan itu makan seraya berdiri. Davit menatap Lintang yang tampak lahap memakan sambal  cabai hijau yang sangat banyak.  “Lintang, makan sambil duduk!” titah Davit.  “Tidak perlu. Pak Davit tidak suka aroma cabai, kan? Saya akan makan di luar,” kata Lintang yang buru-buru pergi dari dapur setelah menumpahkan banyak sambal hijau di piringnya.  Lintang benar-benar tidak habis pikir dengan Davit. Apapun yang disukainya berbanding terbalik dengan Davit. Hanya masalah cabai saja Davit mengungkit kepemilikan rumah. Lintang makan seraya berdiri di teras rumah Davit, sesekali gadis itu menendang angin saking kesalnya.  Lintang membayangkan kalau angin itu adalah Davit dan saat ini ia tendang dengan penuh tenaga.  “Mulut pedasnya kayak cabai sok-sokan gak suka cabai,” maki Lintang dengan suara yang tidak begitu jelas terdengar karena di mulutnya masih penuh dengan nasi.  Lintang sungguh heran, sebenarnya ia ditolong Pak Davit atau malah dianiaya. Davit membiarkannya tinggal di rumah pria itu dan memberikan makanan, bagi Lintang itu suatu bentuk pertolongan. Namun di sisi lain Davit juga menganiayanya dalam bentuk memaksanya belajar dan tidak memperbolehkan makan cabai.  Tanpa Lintang sadari, ada Pak Bayu yang tengah menatap tingkah anehnya sembari mengelap kaca mobilnya. Pak Bayu menggelengkan kepalanya melihat Lintang yang tampak tengah emosi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN