“Lintang!” panggil Davit membuat Lintang yang asik makan menolehkan kepalanya ke belakang. Lintang menatap Pak Davit yang tengah siap ke kampus seraya menenteng tasnya.
“Cuci tangan!” titah Davit dengan tegas. Lintang yang sudah selesai makan pun segera meletakkan piringnya di meja yang ada di teras dan mencuci tangan di kran air yang tidak jauh dari sana.
Pandangan Davit menusuk ke arah Bayu yang ia lihat mencuri-curi pandang ke arah istrinya. Bahkan Bayu pun sampai salah mengelap, yang seharusnya yang dilap kaca mobil malah tangannya sendiri yang dilap.
“Lintang, cepetan!” titah Davit.
“Sabar, Pak. Pak Davit kalau mau berangkat ya berangkat saja. Mau apa lagi urusannya sama saya?” tanya Lintang.
“Salim dulu sama suami!” titah Davit yang membuat Lintang membeo. Apa Lintang tidak salah dengar? Ia dan Davit hanya pernikahan kontrak, tapi Davit seolah memperlakukannya sebagai istri sungguhan.
“Saya tidak mau,” jawab Lintang.
Bayu hampir menyemburkan tawanya saat mendengar pertengkaran rumah tangga tetangga sekaligus teman kuliahnya dulu.
“Lintang, ikuti perintah saya!” desis Davit dengan lirih. Lintang menghentakkan kakinya kesal, perempuan itu mengelap tangannya dengan bajunya dan bergegas mendekati Davit.
“Kenapa saya harus salim? Ingat ya, Pak, pernikahan ini hanya sementara,” ketus Lintang.
“Lihat di sana ada Pak Bayu. Kamu mau Pak Bayu curiga kalau pernikahan ini pernikahan kontrak? Cepat salim, turuti titah saya!” oceh Davit.
Lintang menatap Pak Bayu, yang ditatap pun tersenyum menghadap Lintang. Namun belum sempat Lintang membalas senyum Pak Bayu, kepala Lintang sudah dicengkram Davit dan dipaksa menghadap pria itu.
“Aww ….” ringis Lintang.
“Cepat salim!” titah Davit menyodorkan tangannya pada Lintang. Karena percaya dengan ucapan Davit, Lintang pun menyalami punggung tangan suaminya. Davit tersenyum puas, Lintang sangat mudah dikibuliin.
“Eh, Pak. Tunggu!” ucap Lintang.
“Kenapa?”
“Pak Bayu sudah tahu kalau kita menikah kontrak. Jadi kita tidak perlu salim-saliman begini. Saya hanya akan salim sama suami saya yang benar-benar suami yang mencintai saya, bukan suami kontrak. Pak Davit yang sudah menarik saya di pernikahan ini, kalau nanti saya punya pacar atau suami, Pak Davit harus menjelaskan semuanya biar tidak ada kesalahpahaman,” oceh Lintang. Tanpa melihat raut wajah Davit, Lintang segera mengambil piringnya dan memasuki rumah suaminya. Lintang memukul kepalanya pelan, kenapa tadi ia menurut saja disuruh salim sama Davit, padahal Lintang tahu kalau Pak Bayu sudah paham dengan pernikahan kontrak antara dirinya dan suaminya.
Davit tercenung di tempatnya. Pria itu dengan susah payah meneguk ludahnya. Tanggung jawab bila Lintang punya pacar atau suami? Davit tidak memikirkan sampai ke situ.
Bila suatu saat pernikahan ini berakhir, Davit memang sudah seharusnya bertanggung jawab pada Lintang untuk menjelaskan secara detail duduk permasalahannya kepada calon suami Lintang nanti. Bagaimanapun status janda tidak mudah bagi seorang wanita. Davit mengepalkan tangannya dengan erat, mengetahui kenyataan ia akan secepatnya pisah dengan Lintang membuat sisi lain Davit tidak terima.
Laki-laki memang aneh dan egois. Kemarin awal pernikahan, Davit dengan tidak berdosanya bilang pada Lintang kalau dalam dua bulan isu sudah mereda, mereka akan berpisah. Namun sekarang, Davit sendiri tidak rela dihadapkan oleh perpisahan.
“Pak Davit, mau ke kampus, Pak?” tanya Pak bayu memeras kanebonya.
“Enggak, Pak. Kebetulan saya mau panen jagung,” jawab Davit.
“Oh iya, Pak. Arit sama cangkulnya jangan lupa dibawa,” kata Bayu.
“Gawe ngarit gundulmu!” jawab Davit. Tentu saja Davit menjawabnya dalam hati. Meski ia dan Bayu berteman, Davit tidak segegabah itu untuk mengatai orang di depannya. Davit masih harus menjaga citranya sebagai dosen yang sangat baik.
Davit menuju ke mobilnya dan membanting pintunya dengan kencang. Emosi Davit sungguh dipermainkan oleh Lintang. Davit merasa harga dirinya dijatuhkan saat Lintang mengatakan kenyataan yang memang benar adanya. Yang menjadi penyesalan Davit adalah, dia menceritakan bahwa menikahi Lintang dengan nikah kontrak kepada Bayu. Davit seperti melihat ada yang beda di mata Bayu, seperti ada perasaan untuk Lintang. Tentu saja Davit terasa terancam oleh Bayu.
Pagi ini di kampus ada berita terhangat, yaitu benar adanya bila Davit menikah dengan Lintang, mahasiswi arsitektur. Kabar ini membuat hari senin tanggal sebelas, bulan sebelas, dua ribu dua puluh satu, menjadi hari patah hati seluruh kampus. Banyaknya mahasiswi yang menyukai Davit harus rela merasakan sakit yang tidak berdarah. Namun meski demikian, banyak dari mereka yang tidak berhenti mengagumi sosok Pak Davit.
Davit sampai di kampusnya, pria itu segera memarkirkan mobilnya. Aura Davit masih seperti aura orang marah. Davit marah dengan perkataan Lintang, tapi ia tidak bisa apa-apa selain mengiyakan karena memang kenyataannya begitu.
Davit segera menuju ke ruangan Dekan. Sepanjang perjalanan banyak bisik-bisik yang menemani langkah Dvait. Davit tidak mempedulikannya, pria itu hanya ingin segera bertemu dengan dekan dan menyerahkan surat pernikahannya. Setelahnya Davit akan segera mengajar. Semua permasalahan yang menimpanya, kalau ditinggal mengajar sudah pasti masalah itu akan hilang. Begitulah Davit.
Setelah menuju ke ruangan Dekan, Davit menyerahkan berkas pernikahannya. Setelah dilakukan pengecekan keasliannya, Davit pun menerima berkas-berkas pernikahannya kembali. Semua masalah sudah beres. Karinya masih bisa berlanjut tanpa cap dirinya yang mesuum. Karena sudah wajar kan suami mesuum dengan istrinya? Meski sedikit salah tempat. Andai dulu Lintang tidak menyeretnya, mungkin saat ini Davit tidak mengalami kegundahan yang berkepanjangan.
Setelah selesai urusannya, Davit menuju ke kelas yang akan dia ajar pagi ini. Kelas yang dia ajar ada di lantai tiga yang mengharuskannya naik anak tangga yang lumayan banyak. Ada lift tapi dari lantai tiga sampai ke lantai selanjutnya. Emosi Davit benar-benar dipermainkan, bahkan anak tangga yang benda mati saja turut dia marahi.
“Selamat pagi!” sapa davit saat masuk di kelas.
“Pagi, Pak,” sapa mereka yang buru-buru mengeluarkan bukunya. Kalau Pak Davit yang masuk, mereka sudah hapal untuk bersikap disiplin.
“Saya akan menerangkan tentang rancangan studio. Saya harap kalian mendengarkan dengan baik, karena di akhir pelajaran saya akan memberikan tugas,” kata Davit.
Banyak u*****n di hati para mahasiswa, menerangkan saja belum sudah mau memberikan tugas.
Davit menerangkan sembari mencontohkan perancangan di papan tulis. Cara menerangkan Davit tidak hanya terpaku hanya di depan kelas, melainkan pria itu berputar dari bangku ke bangku lainnya untuk memastikan kalau mahasiswanya mendengar penjelasannya semua, tidak ada yang asik melamun, tidak ada yang ghibah atau ketiduran. Davit paling tidak suka saat ada mahasiswanya yang begitu. Kecuali Lintang, Davit sudah menegur bolak-balik Lintang, tapi Lintang selalu bandel dan mengulangi lagi di keesokan hari sampai Davit sudah bosan menegurnya.
Davit memukul bangku yang ada di sampingnya dengan kencang membuat mahasiswa yang duduk di sana berjingkat kaget. Perasaan ia tengah fokus. Iya, mahasiswa itu memang sudah fokus, hanya saja Davit sedang kesal mengingat Lintang, makanya menyalurkan dengan memukul bangku.
“Sekarang tugas kalian membuat maket atau membuat simulasi 3D. Tugas dikumpulkan besok!” ucap Davit setelah sesi pembelajaran selesai.
“Pak, tapi!” protes mereka.
“Siapa tadi yang protes? Silahkan maju ke depan untuk mengutarakan protes beserta alasannya!” titah Davit menunjuk depan. Semuanya bungkam. Para mahasiswa itu hanya bisa terduduk dengan lesu.
Mau protes ke depan tidak ada yang berani, tapi tidak protes juga sudah pasti lembur untuk mengerjakan tugas. Davit benar-benar melampiaskan emosinya di kelasnya, sangat tidak profesional.
“Aku pikir kabar menikahnya Pak Davit yang bikin patah hati, ternyata ini lebih menyakitkan,” bisik salah satu mahasiswa.
Setelah selesai mengajar di satu kelas, Davit menuju ke ruang dosen. Hari ini Davit ingin meminta pada pihak kampus untuk menggeser dirinya yang awalnya menjadi dosen penguji menjadi dosen pembimbing untuk Lintang. Ia yang akan memberikan bimbingan pada Lintang agar memudahkan Lintang. Lintang tidak perlu ke kampus dan bisa bimbingan di rumah. Setidaknya ia punya alasan untuk menahan Lintang lebih lama di rumahnya. Sepertinya Davit sudah mulai Terlintang-lintang.
Beda dengan keadaan Davit yang penuh dengan emosi. Saat ini Lintang tengah bekerja di kedai kopi dengan semangat. Lintang sudah tidak ada tanggungan di kampus. Lintang hanya perlu bimbingan dengan dosen perempuan yang baik hati bernama Bu Cika. Kalau sampai Lintang tidak lulus, yang dia salahkan nanti adalah Pak Davit yang menjadi dosen penguji.
Lintang sudah bosan harus kuliah terus menerus. Perasaan kuliah empat tahun tapi terasa sangat lama. Lintang bekerja dengan semaksimal mungkin agar gajinya bisa terkumpul. Tujuan hidup Lintang masih banyak. Ia ingin memiliki rumah, memiliki pekerjaan tetap yang enak, membeli mobil, jalan-jalan ke luar negeri dan menjadi arsitektur yang hebat. Semua impian Lintang belum ada satu pun yang terwujud. Saat ini pun Lintang masih bekerja di kedai kopi sebagai tukang cuci.
Dulu kata ibu kosnya, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi. Nanti kalau tidak kesampaian bisa gila. Namun Lintang tidak pernah lelah untuk bermimpi. Lintang yakin suatu saat takdir akan berpihak padanya, meski saat ini yang ia dapat terus kesialan.
*****
Pukul lima sore, Davit sampai di rumahnya. Namun saat membuka pintu, rumahnya gelap gulita. Davit memanggil-manggil Lintang, tapi Lintang tidak muncul batang hidungnya.
“Lintang, kamu belum pulang?” tanya Davit menghidupkan saklar lampu. Lampu menyala dengan terang. Semua rumah Davit tampak bersih, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Davit mengambil hpnya, saat menghidupkan hpnya pun tidak ada pesan satu pun dari Lintang. Davit berdecak kesal, “Buat apa aku khawatir sama Lintang,” umpat Davit pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Suara air yang membasahi genteng pun terdengar sangat kencang. Davit menatap jendela yang gordennya terbuka, dalam sekejap tanah yang semula kering pun kini menjadi penuh air.
Davit menghubungi nomor Lintang. Namun nomor istrinya itu tidak aktif.
“Baru menikah dua hari, tapi sudah buat orang khawatir berkali-kali,” ucap Davit mengumpati Lintang.
Davit ibarat kata pagi kedelai, sore tempe. Omongan dan pikirannya bisa berubah dengan cepat. Barusan dia mengumpati dirinya yang khawatir dengan istrinya, tapi sekarang ia tidak bisa kalau tidak khawatir.
Suara petir yang menyambar-nyambar pun terdengar. Tanpa babibu lagi, Davit mengambil payung lebar di sudut rumahnya. Davit segera keluar dari rumahnya menuju ke pagar. Davit tidak tahu harus mencari Lintang ke mana. Ia tidak tahu di mana Lintang bekerja, Namun yang pasti, Lintang tidak akan pulang jalan kaki kalau hujan. kemungkinan naik ojek atau naik angkutan umum. Jadi Davit berjalan ke jalan utama untuk mencegat Lintang.
Davit yang masih memakai kemeja pun berjalan dengan cepat ke jalan utama seraya membawa payungnya. Ia tidak ingin khawatir, tapi ia tidak bisa diam saja saat hujan yang turun semakin deras sedangkan istrinya masih belum pulang.
Saat sampai di jalanan utama, Davit menengokkan kepalanya ke arah kanan. Alangkah terkejutnya ia saat mendapati dari kejauhan Lintang tengah berjalan kaki tanpa alas kaki, dan perempuan itu tengah mengenakan jas hujan tipis. Lintang berjalan seolah tanpa beban, sesekali perempuan itu akan memijak-mijak genangan air dengan semangat. Untuk sesaat Davit terpaku melihat Lintang. Istrinya itu sangat unik. Di saat semua perempuan seusia Lintang sibuk hangout bersama teman-temannya, ke cafe berdalih nugas dan sibuk pacaran, tapi Lintang sibuk bekerja dan tidak gengsi sama sekali. Jas hujan yang Lintang gunakan, Davit tebak hanya jas hujan lima ribuan yang kegesek sedikit langsung sobek. Namun Lintang tidak malu memakainya. Perempuan itu menenteng sandalnya. Davit memalingkan wajahnya, entah kenapa melihat Lintang yang seperti ini membuat Davit tidak tega. Ia sudah menggagalkan sidang Lintang hingga sekarang Lintang belum bisa mencari pekerjaan yang lebih layak.
“Pak Davit!” panggil Lintang saat ia sudah mendekati Davit. Davit terkesiap, pria itu menatap Lintang yang wajahnya basah oleh air hujan. Wajah tanpa make up sedikitpun itu tampak lebih ayu saat terkena air.
“Pak Davit ngapain di sini?” tanya Lintang.
“Saya gak lagi nungguin kamu. Saya hanya cari penjual gorengan,” jawab Davit yang segera membalikkan tubuhnya. Davit ngacir begitu saja. Lintang menatap punggung Davit dengan bingung.
“Pak … tungguin saya, Pak!” teriak Lintang yang berlari menyusul Davit. Namun karena tidak melihat ke bawah, telapak kaki Lintang seperti terkena sesuatu yang menyakitkan.
“Akhhh!” teriak Lintang yang langsung jatuh terduduk. Davit membalikkan badannya, ia menatap Lintang yang meringis kesakitan.
Dengan spontan Davit membuang payungnya asal. Davit segera menghampiri Lintang, “Lintang, kamu kenapa?” tanya Davit. Darah segar keluar dari telapak kaki Lintang.
“Lintang, kaki kamu kena paku,” ucap Davit setelah mengecek kaki Lintang. Davit membuang paku lancip yang tadi melukai istrinya ke selokan. Tanpa basa basi Davit menggendong tubuh Lintang.
“Pak, saya bisa jalan. Turunin saya!” ucap Lintang. Davit tidak peduli, pria itu memposisikan Lintang agar lebih mudah ia gendong. Setelahnya Davit berjalan menerjang hujan yang sangat deras seraya membawa tubuh Lintang di gendongannya. Tubuh sepasang suami istri itu kini basah kuyup karena air hujan. Mantel yang digunakan Lintang pun juga sobek karena tangan Davit yang tidak hati-hati.
“Pak, Pak Davit jadi basah kuyup begini,” ucap Lintang.
“Makanya jadi orang jangan boodoh!” jawab Davit yang membuat Lintang membulatkan matanya. Ia ditolong tapi juga dimaki.
“Pak, bapak ikhlas gak sih nolong saya?” tanya Lintang.
“Kalau gak ikhlas sudah saya ceburin kamu ke got depan,” jawab Davit.