“Saya tidak mau tahu, pokoknya kamu tidak boleh menumpang di kamar mandi milik Pak Bayu lagi!” ucap Davit sembari mondar mandir di dapur. Lintang yang kini tengah menggoreng tempe pun tidak menanggapi, perempuan itu sedang terburu-buru. Pasalnya bosnya sudah mengamuk karena dia yang semalam tidak datang bekerja, pagi ini ia akan bekerja karena hari minggu kedai kopi sangatlah ramai.
“Lintang, apa kamu dengar saya?” tanya Davit pada Lintang.
“Hem,” jawab Lintang dengan deheman. Perempuan itu menepuk jidatnya saat lupa belum memasak nasi.
Buru-buru Lintang membuka tempat penyimpanan beras dan mengambil beras di sana. Perempuan itu segera mencucinya. Davit yang merasa diacuhkan pun mengerutkan keningnya.
“Lintang, bisa gak kalau saya bicara kamu mendengarnya?” tanya Davit.
“Saya mendengarnya, Pak. Saya pinjem dapurnya dulu, ya. Saya masakkan sekalian buat bapak. Kalau area dapur dibagi-bagi susah geraknya, Pak” oceh Lintang.
“Tunggu!” ucap Davit membuat Lintang yang selesai mencuci beras dan akan memasukkan ke rice cooker pun menghentikan gerakannya.
“Iya, Pak?” tanya Lintang.
“Berapa takaran air dan beras yang kamu masukkan?” tanya Davit.
“Sesuka hati saya, Pak. Saya tidak mengukurnya dengan pasti, saya hanya mengandalkan perasaan,” jawab Lintang.
“Itu tidak benar. Takaran beras dan air harus tepat dengan perbandi-”
Brakkk!
Lintang memasukkan beras ke rice cooker dan menutupnya dengan kencang menyela ucapan Pak Davit.
“Pak Davit, hidup tidak melulu harus sempurna. Logika akan kalah dengan perasaan,” ucap Lintang. Lintang segera mengangkat tempenya dan meletakkan di piring. Perempuan itu ganti mengambil sayur mayur untuk ia masak menjadi tumis. Untungnya di kulkas Davit banyak persediaan sayuran. Lintang menahan rasa sungkannya soal mengobrak abrik lemari pendingin Davit. Davit sendiri yang mengatakan kalau pria itu akan menanggung biaya makannya.
Davit menatap setiap pergerakan Lintang, pria itu pada akhirnya memilih duduk anteng di meja makan. Pria itu tampak menatap Lintang dengan pandangan heran, untuk kali ini ada yang mematahkan logikanya, yaitu mahasiswi-nya yang mengatakan logika akan kalah dengan perasaan.
“Em, Lintang. Biasanya saya akan memotong wortel dengan ukuran cube satu sentimeter kali satu sentimeter,” ucap Davit.
“Pak, makanan pada akhirnya tetap dimakan. Kenapa harus meribetkan ukuran sayuran? Mau ukurannya cube, julienne, macedoine, rasanya tetap sama,” ujar Lintang.
“Tidak, semakin tebal ukuran, kematangannya pun juga membutuhkan waktu lama,” kata Davit.
Lintang memegang pisaunya dengan erat. Lintang sudah sangat terburu-buru karena akan bekerja, tapi Davit malah memperibet soal makanan.
“Lintang, potong wortelnya dengan ukuran cube!” titah Davit. Dengan pasrah pun Lintang memotong dengan ukuran satu centi kali satu centi.
“Saya ingin potongannya harus akurat dan tidak salah sedikit pun!” tambah Davit.
“Pak Davit tidak sekalian mau dibuatkan kopi dengan arang hitam? Lalu dicampur jahe yang digeprek dengan palu, ditambahin gula satu sekrup dan madu sekalian lebah-lebahnya? Itu dijamin manjur buat membunuh orang,” ujar Lintang menatap Davit dengan tajam.
Davit membulatkan matanya, tapi sejenak kemudian pria itu menetralkan ekspresinya.
“Saya tidak mau memasukkan sembarangan makanan ke mulut saya. Tolong kamu mengerti. Kamu sudah memakai dapur saya, seharusnya kamu menuruti aturan yang berlaku,” kata Davit dengan telak.
Lintang membalikkan badannya lagi, perempuan itu memelet-meletkan lidahnya pada wortel yang tengah dia potong. Kalau sudah membahas soal kepemilikan rumah, Lintang hanya bisa mengalah karena memang dirinya lah yang menumpang.
“Lintang untuk tumisnya jangan banyak-banyak memakai minyak. Cukup dua sendok, masukkan garam di saat terakhir setelah benar-benar matang!” ucap Davit bak seorang raja yang tengah memerintah. Lintang melakukannya meski dengan terburu-buru.
“Lintang, saya menginginkan pekerjaan yang bersih, cepat dan rapi. Itu kenapa meja dapurnya banyak kulit wortelnya?” tanya Davit.
“Iya nanti saya bersihkan kalau semuanya sudah selesai,” jawab Lintang.
Davit melirik jam dinding, “Kamu sudah menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk memasak tumis. Kamu bisa masak apa tidak? Kalau tidak, buang itu semua dan saya akan masak sendiri,” ucap Davit.
Lintang tidak menanggapi, perempuan itu mulai menumis masakannya. Tidak peduli kalau Davit menginginkan garam dimasukkan terakhir, Lintang pun memasukkan garam dan gula saat di pertengahan menumis. Namun saat akan memasukkan penyedap rasa, ia tidak menemukan bumbu itu.
“Pak, di mana letak penyedap rasanya?” tanya Lintang.
“Di sini tidak ada penyedap rasa. Gunakan garam, gula dan lada!” jawab Pak Davit.
“Pak, MSG itu yang membuat makanan enak. Kenapa tidak ada?” tanya Lintang.
“Tidak baik makan mengandung banyak MSG,” jawab Davit. Lintang menepuk jidatnya. Dia sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran Davit.
“Monoton sekali hidup bapak,” cicit Lintang.
Davit tidak menanggapi, pria itu mengetuk-ketukkan ujung jarinya di meja makan. Untunglah hari ini hari minggu, kalau hari senin sudah pasti Davit memilih tidak sarapan kalau cara membuat sarapan Lintang membutuhkan waktu setengah jam lebih.
Setelah lama menunggu, akhirnya Lintang menyiapkan makanan-nya di atas meja. Nasi juga sudah matang. Tidak lupa Lintang membuatkan kopi untuk suaminya. Soal kopi, kemampuan Lintang tidak perlu diragukan. Ia sering membuat kopi untuk menahan dirinya agar tidak mengantuk saat bekerja malam.
“Ini, Pak. Silahkan makan!” ucap Lintang.
Davit mengangguk, ia mengamati makanan yang disiapkan Lintang. Kangkung yang tidak dipotong membuatnya tampak memanjang. Davit jadi merasa dirinya bukan manusia, melainkan kambing. Davit mulai memakan tumisnya. Sayuran yang tidak dipotong sempurna, masih sedikit keras dan rasanya yang acak-acakan menurut Davit.
“Lintang, kamu sering memasak?” tanya Davit.
“Setiap hari saya memasak sendiri,” jawab Lintang.
Davit meletakkan sendoknya, pria itu berdiri dan membuang makanan-nya ke tempat sampah. Mata Lintang membulat sempurna saat melihat makanan yang dibuang sia-sia. Buru-buru Lintang turun dari kursinya.
“Pak, kenapa makanan-nya dibuang?” tanya Lintang.
“Makanan ini tidak layak makan,” jawab Davit.
“Bagaimana bisa tidak layak makan? Nasinya matang, sayurannya juga matang, ada tempe juga,” ucap Lintang.
“Saya tidak terbiasa makan dengan makanan yang aneh seperti ini. Saya biasa makan dengan tumis kangkung yang kangkungnya dipotong lima senti untuk memudahkan makan, wortelnya matang sempurna dengan potongan rapi, buncisnya yang sedikit terasa kriuk dan rasa yang tidak terlalu tajam,” jelas Davit. Lintang membanting sendoknya ke piring hingga menimbulkan dentingan kencang.
“Masak saja sendiri, saya permisi!” ucap Lintang dengan sinis. Lintang menyambar tas yang sudah dia siapkan di meja makan dan segera melenggang pergi begitu saja.
“Lintang, mau ke mana?” tanya Davit berteriak.
“Mencari suami baru,” jawab Lintang yang juga berteriak. Lintang membanting pintu rumah suaminya dengan kencang hingga menimbulkan suara. Davit memejamkan matanya karena kaget.
Lintang benar-benar marah. Ia tahu kalau bukan dia yang memiliki uang untuk membeli bahan makanan. Namun menurutnya Davit sudah keterlaluan karena membuang makanan dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Lintang merasa nelangsa saja ada makanan yang dibuang, padahal dia saja untuk mendapatkan sepiring makanan harus bekerja keras.
Sedangkan di dapur, Davit menghela napasnya. Ia menatap dapurnya yang sangat kotor. Lintang benar-benar membuat matanya sakit dengan pemandangan yang sangat berantakan. Namun setitik kalimat Lintang yang akan mencari suami baru sangat mengganggu pikiran Davit.
“Suami baru?” tanya Davit pada dirinya sendiri. Davit meletakkan piring yang dia pegang ke wastafel. Pria itu berkacak pinggang, pikirannya sangat berkecamuk. Hingga mata Davit tanpa sengaja menatap ke arah segelas kopi yang tadi disiapkan istrinya. Dengan pelan Davit menghampiri kopi tersebut dan mengambilnya.
Aroma dari kopi itu tercium sangat nikmat. Dengan sedikit ragu, Davit menyesap sedikit kopi buatan Lintang. Nyatanya yang mulanya ia hanya berniat mencicipinya, kini pun segera menyesapnya lebih banyak. Kopi yang dibuat Lintang sangat enak, perpaduan bubuk kopi, s**u dan gula sangat pas. Tidak peduli kalau kopinya setengah panas, Davit segera meminumnya dengan semangat. Pagi hari memang tidak akan indah tanpa secangkir kopi.
Davit tersenyum menatap cangkir kopinya saat kopinya sudah habis. Pria itu tertawa kecil karena perasaannya sangat hangat setelah minum kopi Lintang. Namun sadar apa yang dia rasakan, Davit segera menetralkan ekspresinya. Davit meletakkan cangkir kopinya ke meja.
“Kopinya tidak enak,” ucap Davit melenggang pergi meninggalkan dapur.
****
Lintang bekerja dengan semangat, perempuan itu mencuci banyaknya cangkir kopi yang dibawa pelayaan kedai ke tempat cuci. Lintang menggulung kaos lengan panjangnya, perempuan itu sangat menyukai pekerjaannya meski upahnya tidak seberapa. Lintang bertekad, meski Davit bilang akan menafkahinya, ia tidak akan serta merta duduk diam tanpa bekerja. Pernikahannya dengan Davit tidak akan bertahan lama, dan Davit hanya akan menafkahinya saat mereka masih suami istri. Selebihnya Davit akan lepas tangan. Kalau Lintang tidak bekerja, ia tidak akan mempunyai tabungan.
“Lintang, kenapa kamu semalam tidak bekerja?” tanya Fajar, teman Lintang yang berada di bagian pembuat kopi.
“Ada urusan sedikit,” jawab Lintang. Lintang tidak mengatakan kalau dia menikah, karena hal itu nantinya akan menyulitkannya. Teman-temannya pasti akan bertanya aneh-aneh, juga pernikahan ini hanya sementara dan tidak akan berjalan lama.
Setiap hari minggu Lintang benar-benar memanfaatkan waktunya untuk bekerja sampai malam. Karena di hari minggu lah ia mempunyai kesempatan mendapatkan uang banyak.
“Lintang, perut kamu bunyi. Kamu makan dulu, gih. Aku sengaja bawa nasi tadi di dalam tasku, kamu ambil saja,” ucap Fajar.
“Waah … makasih Mas Fajar. Aku makan dulu, ya,” ucap Lintang. Fajar menganggukkan kepalanya.
Dengan semangat Lintang menuju loker dan mengambil tas Mas Fajar. Mas Fajar adalah keponakan dari pemilik kedai kopi yang sangat baik kepadanya. Tidak sekali dua kali Mas Fajar memberikannya makan. Lintang merasa sudah merepotkan, tapi kalau rejeki terus datang dia tidak akan menolak. Tadi Lintang belum sempat sarapan karena marah dengan Davit dan kini ada orang baik hati yang memberinya sarapan.
Di sisi lain, Davit tengah membaca buku di ruang tamu. Sesekali pria itu akan melirik ke pintu utama. Davit tidak jenak dengan kepergian Lintang yang entah kemana. Belum lagi Lintang juga tidak sempat sarapan. Pikiran Davit semakin gelisah, kata Lintang, perempuan itu juga hanya makan sehari satu kali. Itu membuat rasa bersalah di hati Davit semakin menjadi.
Davit mengambil hpnya, pria itu menghubungi nomor adiknya untuk menanyakan keberadaan Lintang. Namun Hukma pun hanya bilang kalau Lintang mungkin bekerja, tapi saat ditanya tempat bekerjanya, Hukma tidak mau memberitahu.
Davit membanting bukunya, pria itu mau makan tidak enak, mau tidur siang tidak jenak, mau membaca buku pun tidak fokus. Davit sudah berusaha menyibukkan dirinya, tapi apa daya kalau pikirannya terus terpaku pada Lintang.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar membuat Davit buru-buru berlari untuk membukakan pintu.
“Lintang, bukankah aku sudah memberimu kunci cadangan kemarin malam?” tanya Davit membuka pintunya. Namun yang ia harapkan tidak berdiri di depannya. Ia pikir Lintang lah yang datang, tapi ternyata malah Hukma, adiknya.
“Kak Davit, Lintang sudah pulang?” tanya Hukma. Hukma khawatir pada Lintang saat kakaknya mengatakan Lintang pergi.
“Belum, kamu juga tidak mau memberitahu di mana dia kerja,” ucap Davit.
“Ohhh … Biarkan saja, Lintang pasti baik-baik saja,” jawab Hukma asal saat melihat raut kekhawatiran kakak-nya pada Lintang.
“Kak Davit khawatir ya sama Lintang?” tanya Hukma.
“Khawatir? Buat apa? Mau dia pergi juga tidak apa-apa,” jawab Davit.
“Kalau boleh tahu kenapa Lintang pergi tidak pamit?” tanya Hukma.
“Memangnya kakak siapanya sampai dia harus pamit sama kakak?” tanya Davit balik.
Hukma menatap kakaknya dengan intens. Lidah boleh berkelit, tapi mata tidak bisa berbohong. Meski hanya sedikit, Hukma yakin kalau kakaknya khawatir dengan Lintang. Hukma tahu di mana Lintang bekerja, karena ia biasa nongkrong di kedai kopi tersebut, tapi ia tidak mau memberitahu kakaknya.
Davit menjatuhkan dirinya di sofa lagi, pria itu mengambil bukunya dan pura-pura membacanya. Tentu saja hanya pura-pura karena pikirannya tidak bisa fokus dan terus memikirkan Lintang. Di mana Lintang berada, sedang apa dan apakah sudah makan atau belum.
Hukma memakan camilan yang dia bawa dengan tenang, perempuan itu mengamati kakaknya yang tampak tidak baik-baik saja. Awalnya Hukma khawatir saat Lintang menikah dengan kakaknya yang tidak terlalu baik perangainya karena kakaknya memiliki sifat seperti batu. Namun melihat kekhawatiran kakaknya pada Lintang membuat Hukma sedikit bernapas lega, Setidaknya kakaknya mungkin akan menjaga Lintang.
“Hukma, kalau makan keripik jangan kenceng-kenceng. Suaranya mengganggu banget,” ucap Davit mengusap telinganya. Hukma mengemut kripiknya, perempuan itu menatap kakaknya yang kini menatapnya tajam.
“Kenapa, Kak?” tanya Hukma.
“Bisa gak sih gak usah makan makanan yang menimbulkan suara?” tanya Davit.
“Tapi ini enak, Kak. Oh iya aku bawa beberapa camilan kesukaan Lintang, tolong kasihkan ke Lintang,” ucap Hukma mengeluarkan banyak cemilan dari tas besarnya.
“Sekarang kamu pulang sana. Kamu mengganggu ketenangan kakak,” ucap Davit menarik tangan adiknya agar berdiri.
“Eh eh eh … aku tidak mau. Aku mau menunggu Lintang, aku mau ajak dia ke bioskop,” ucap Hukma memberontak. Namun Davit terus memaksa Hukma untuk keluar dari rumahnya. Tidak apa-apa sekali-kali menjadi kakak yang jahat, batin Davit.
Davit menghempaskan tubuh Hukma di luar rumahnya. Hukma memaki-maki dalam hati, sedangkan Davit menutup pintunya dengan cepat. Davit kembali ke ruang tamu. Kegelisahan itu semakin menjadi-jadi.
Waktu terus berlalu, jarum panjang di jam pun terus berputar hingga waktu menunjukkan pukul enam sore. Davit tidak kuasa lagi menahan kegelisahannya. Ia meraih hpnya dan bersiap menelfon Lintang. Namun suara pintu terbuka membuat Davit segera melempar hpnya ke sofa, Davit mengambil buku dan pura-pura membacanya.
Lintang datang dengan raut wajahnya yang lelah. Lintang berhenti sejenak saat mendapati Davit tengah berdiri di ruang tamu. Lintang mengerutkan dahinya saat menyadari ada yang salah.
“Pak Davit,” panggil Lintang dengan pelan.
“Saya tidak menunggu kamu. Kamu jangan terlalu percaya diri,” jawab Davit yang semakin membuat Lintang mengerutkan dahinya.
“Pak, buku yang Bapak baca terbalik,” kata Lintang menunjuk buku yang dipegang Davit. Davit buru-buru menatap bukunya, benar, tulisan di sana terbalik.
Davit membalik bukunya, bibirnya akan bersuara, tapi Lintang melenggang pergi begitu saja. Lintang memasuki kamarnya dan menutup pintunya dengan pelan.
Davit membeo, dia yang sudah menanti dari pagi sampai petang, dan saat Lintang datang ia hanya diacuhkan. Orang yang paling tidak memiliki perasaan menurut Davit adalah Lintang.