Sesuai dengan kesepakatan tadi, setelah sarapan Adreanne akan pergi bersama Edzard. Awalnya Edzard hendak meninggalkan Dante dan menyuruh lelaki itu pulang sendiri. Tapi Adreanne menolak keras dan mengatakan kalau tidak masalah jika Dante ikut.
Dan di sini lah mereka berada. Di rumah Edzard. Karena pria itu juga tidak tahu ingin bicara di mana, satu-satunya tempat yang terlintas di kepalanya ya rumah.
Dante langsung memasuki kamarnya dan memberi ruang pada Adreanne agar leluasa mengobrol dengan Edzard.
Edzard mengambil minuman dingin di kulkas dan menyerahkan pada Adreanne. Cowok itu duduk di single sofa dengan kaki yang terlipat dan punggung yang menyandar ke sandaran sofa.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Edzard, membuka percakapan lebih dulu.
Adreanne meremas pelan kaleng minuman leci di tangannya. "Aku udah tahu penyebab kenapa kamu menjauhiku."
Kedua mata Edzard sontak terbelalak kaget. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Apakah Adreanne benar-benar tahu? Kalau begitu, rahasia kaum mereka juga terbongkar. "Be-benarkah?"
Adreanne mengangguk yakin. "Itu karena perintah Ayah. Ayah pikir kamu orang yang jahat dan dia tidak suka kalau kita berteman," ucapnya lesu.
Otak Edzard berusaha mencerna perkataan Adreanne beberapa detik lalu hingga ia menghela napas. "Benarkah karena itu?"
Sekali lagi, dengan yakin Adreanne mengangguk. "Tapi selain itu kamu juga marah, kan? Karena kalung batu ruby cantik yang kamu berikan hancur."
Alis sebelah kanan Edzard terangkat naik. "Kamu pikir aku marah karena kalung itu hancur?"
"Iya, soalnya aku cari tahu di internet harganya mahal banget. Pasti kamu kecewa karena aku nggak bisa jaga hadiah yang kamu kasih."
Sudah begini, Edzard sedikit merasa susah membalas ucapan Adreanne. Sebab ia tidak mempermasalahkan hancurnya kalung itu. Berapapun harganya ia tidak peduli.
"Aku tidak marah padamu. Tapi sepertinya kita memang harus jaga jarak," tukas Edzard serius.
"Kamu yakin? Tapi kita kan temenan, Ed! Selain Lily, aku sangat nyaman berteman denganmu," ungkap Adreanne jujur.
Letupan bahagia kini bersarang di hati Edzard. Gadis itu mengatakan bahwa ia sangat nyaman berteman dengannya! Sangat nyaman. Garis bawahi.
"Kita tetap berteman, hanya saja tidak sedekat dulu. Maaf ya," sesal Edzard.
Adreanne tampak kecewa, namun raut wajah kecewanya tak bertahan lama. "Ya sudah kalau begitu. Aku juga minta maaf udah rusakin kalungnya. Nanti aku bakal ganti."
Dengan cepat Edzard menggeleng. "Nggak usah diganti! Lagian itu kalungnya udah lama banget, dulu pas dibeli harganya murah. Kamu malah bandingkan harga dengan yang sekarang, tentu saja sangat mahal jika patokannya adalah harga zaman sekarang," terang Edzard.
"Oh begitu ... Tapi aku tetap ngerasa nggak enak Ed kalau nggak diganti."
Edzard menyilangkan kedua tangannya. "Sekali tidak ya tetap tidak. Hm, bisa aja sih kamu membeli kalung itu dan menyerahkan padaku. Tapi jangan kecewa jika nanti kalungnya berakhir di tong sampah atau tempat-tempat yang tidak kamu duga sama sekali,", tandas Edzard.
Adreanne kembali bimbang. "Ya sudah, aku ikuti kamu aja. Makasih banyak pokoknya, Ed!!"
Edzard terkekeh kecil. "It's my pleasure."
"Kalau begitu aku ingin pulang dulu, Ed. Makasih waktunya," pamit Adreanne.
"Di sini aja udah! Pulangnya nanti-nanti."
Ditawari seperti itu, tentu saja Edzard tidak setuju.
"Jangan pulang dulu, tetaplah di sini. Di luar masih sedikit gerimis."
Tidak ada yang bisa Adreanne lakukan selain menurut karena apa yang dikatakan Edzard emang bener. Beberapa menit yang lalu, hujan memang mengguyur kota, namun tidak terlalu deras.
Tringg... Tringg...
Bel rumah berbunyi, baru saja Edzard hendak berjalan ke depan, Dante sudah berlari lebih dulu membukakan pintu. Tak lama Dante masuk bersama Edrea.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Edzard langsung. Dahinya mengerut samar melihat rambut adiknya yang basah.
"Aku tidak tahu kalau Bumi hari ini hujan, sebenarnya aku sudah di depan sejak beberapa menit lalu. Hanya saja aku mengeringkan say-," ucapan Edrea terhenti ketika Dante menutup mulut gadis itu.
Dante meringis di dalam hati, berani sekali ia membekap mulut Putri Raja. Tapi apa boleh buat, di sini ada Adreanne. Dan kemungkinan sang Putri tidak menyadari keberadaan gadis manusia itu.
Edzard pun sadar apa yang akan diucapkan Edrea selanjutnya, ia bersyukur karena Dante dengan sigap membekap mulut lemes Edrea.
"Ada Adreanne di sini, Putri," bisik Dante pelan.
Mata Edrea yang semula melotot penuh ancaman pada Dante pun kini sudah tidak lagi, kepalanya menoleh ke sosok yang tidak ia sadari keberadaan sejak tadi.
Merasa Edrea sudah cukup sadar, Dante melepaskan tangannya dari bibir pink Edrea.
"Oh ... Siapa kau?" tanya Edrea pura-pura tidak tahu.
"Aku teman Edzard dan Dante, namaku Adreanne," kata Adreanne ramah. Gadis itu berdiri dan mengulurkan tangannya.
Edrea melirik Edzard, dari tatapan mata kakaknya itu, jelas Edzard menyuruhnya agar segera membalas uluran tangan Adreanne.
"Aku Edrea."
"Dia kerabatku," sahut Dante cepat.
"Oh, saudara Edzard juga?"
"Nggak. Dia hanya kerabat Dante, keluarga dari Ayahnya yang sudah tiada," tukas Edzard menjelaskan.
Ketiganya bersama-sama saling menutupi kebenaran.
Adreanne mengangguk paham, tatapannya kembali menatap Edzard. "Ed, aku harus pulang. Hujannya juga sudah reda."
"Baiklah, aku antar. Ayo!"
"Kalau begitu aku pulang dulu ya, Edrea. Senang bertemu denganmu," pamit Adreanne.
Edrea mengangguk. "Senang juga bertemu dengan gadis cantik sepertimu Adreanne."
Kedua pipi Adreanne merona, "Terimakasih."
Edzard dan Adreanne berjalan beriringan keluar dari rumah. Menyisakan Dante dan Edrea di ruang keluarga.
"Seharusnya kau memperingati aku saja, Dante. Tidak perlu menutup mulutku seperti tadi," tukas Edrea ketus.
Wajah Dante berubah pias. "Maafkan saya Putri. Saya keburu panik dan langsung membekap mulut anda. Saya benar-benar menyesal, saya pantas untuk di hukum, Putri."
"Kali ini kau ku maafkan. Oh iya, apa ada es krim di sini?"
"Ada, Putri," sahut Dante cepat.
"Kalau gitu aku mau yang kayak kemarin itu. Tolong ambilkan Dante."
Dante pun melesat dengan cepat menuju dapur untuk mengambil es yang diinginkan Edrea.
Di sisi lain...
Edzard mengantar Adreanne dengan cepat. Ia sengaja memberhentikan mobilnya di depan pagar agar tak terlihat orang rumah gadis itu.
"Terimakasih, Ed." Edzard menganggukkan kepalanya lalu Adreanne buru-buru turun.
Setelah Adreanne masuk ke dalam perkara rumah. Edzard pun melajukan mobilnya kembali.
***
Dengan langkah ringan, Adreanne memasuki rumahnya. Dahinya mengernyit melihat Adam mondar mandir dan juga Tika yang duduk di sofa tampak cemas.
"Itu dia, Yah!" seru Damien seraya menunjuk Adreanne.
Perhatian Adam dan Tika pun beralih. Keduanya langsung mendekati sang anak.
"Kamu dari mana aja? Bi Rumi bilang kamu keluar pagi-pagi sekali," kata Tika dengan nada penuh kekhawatiran.
"Aku cuma olahraga sebentar di luar sambil sarapan," jawab Adreanne singkat.
"Tapi kan kamu bisa izin ke Ayah atau Bunda dulu. Mana tadi di telepon, nggak kamu angkat."
Adreanne jadi ingat, tadi ia memang memasang mode silent di ponselnya. Wajar saja ia jadi tidak menyangka panggilan dari Bundanya.
"Lain kali, Ayah nggak mau ini terjadi lagi," timpal Adam dengan tegas.
Adreanne yang sedang dalam mode malas berdebat pun menganggukkan kepala saja. "Iya. Kalau gitu aku ke kamar dulu."
Tanpa menunggu balasan dari kedua orangtuanya, Adreanne melangkah menaiki tangga.
"Kayaknya dia masih ngambek, Yah, Bun," celetuk Damien setelah Adreanne tak terlihat lagi.
Adam terlihat menghela napas. "Nanti pasti baikan lagi, moodnya juga sedang tidak bagus."
Tika mengangguk setuju. Ia harap Adreanne tak merajuk berkelanjutan.
*
Setelah menutup pintu kamar, Adreanne berjalan ke kasurnya dengan langkah gontai. Tadinya ia berniat mandi, namun tiba-tiba ia jadi malas sendiri. Alhasil ia menghabiskan waktu dengan berbaring di ranjang dengan bermain iPad.
Sekarang masih pukul sepuluh pagi. Ia sendiri bingung hendak melakukan apa. Bosan bermain iPad, Adreanne meraih ponselnya. Ternyata ada pesan masuk dari Lily beberapa menit yang lalu.
Lily.
Jalan yuk, Re. Ke Mall gitu, makan sama cuci mata.
Adreanne menimang-nimang ajakan Lily. Sebenarnya ia tidak ada aktivitas lain dan sedang tidak mood belajar. Sepertinya jalan-jalan bisa membunuh rasa suntuk.
Adreanne.
Okay. Mau jalan jam berapa Ly?
Ternyata balasan Lily datang sangat cepat.
Lily.
Jam 11. Lo siap-siap aja, ntar gue jemput. Kita makan siang di luar aja nanti.
Adreanne pun membalas pesan sahabatnya dengan emoticon jempol. Maniknya menatap sudut layar ponsel yang menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Tersisa sedikit waktu lagi.
Dengan gerakan cepat, Adreanne meletakkan ponselnya asal lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi.