Sesuai dengan kekhawatiran Adreanne, ternyata hujan terus berlanjut hingga malam. Sekarang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tidak ada tanda-tanda hujan itu akan berhenti.
Adreanne menggigit kuku jari jempolnya, ia menatap jam yang di dinding dengan cemas. Edzard memang memperbolehkannya menginap dan ia bisa menempati kamar tamu yang lain karena di rumah ini ada sepuluh kamar, ia bebas memilih yang mana. Tapi yang ia khawatirkan adalah Bundanya.
"Tenang saja, tadi aku sudah mengabari bang Damien dan Bunda Tika. Mereka memperbolehkanmu menginap," kata Edzard yang tiba-tiba muncul di ruang keluarga.
"Benarkah? Aku belum sempat menelepon karena baterainya masih di charge."
"Iya benar, jadi sekarang kamu tidur saja. Lagian besok hari Sabtu, kita libur." ucap Edzard santai.
Adreanne menghela napas pelan. "Baiklah aku akan tidur sekarang, selamat malam Ed."
Edzard mengangguk, cowok itu meraih remote televisi dan mematikan televisi itu.
Adreanne berjalan menuju kamar yang di pilihnya, tepat di bawah tangga. Kamar yang tidak terlalu luas dan juga tidak kecil, setidaknya cukup nyaman untuknya.
Tak butuh waktu lama, ia pun mulai memasuki alam mimpi.
***
Keesokan harinya...
Penghuni rumah mewah Edzard yang terdiri atas tiga orang itu bangun sangat terlambat. Adreanne sendiri, baru membuka mata pada pukul delapan pagi, sementara Edzard bangun setelahnya.
Setelah membasuh wajahnya, Adreanne langsung keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Tadi malam saat mengambil bungkusan mie di lemari penyimpanan, ia melihat beberapa bahan makanan yang bisa ia olah menjadi makanan lezat untuk sarapan pagi ini.
Adreanne mengeluarkan macaroni, keju dan s**u full-cream. Ia berencana membuat mac and cheese.
Gadis itu mulai memanaskan air dan memasukkan macaroni mentah itu ke dalam perebus air tersebut. Selagi menunggu macaroninya matang, ia memotong-motong sosis dan memarut keju.
"Apa yang kamu buat?" Edzard datang dengan tubuh yang segar, harum sabun menguar kuat memasuki indera penciuman Adreanne. Berapa sabun yang digunakan cowok ini?!
Adreanne hanya menoleh sekilas menatap Edzard dan lanjut memotong-motong sosis. "Mac and cheese, tapi kreasiku sendiri ditambahkan sosis," jawabnya.
Edzard mengangguk paham. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Tiriskan macaroninya, itu sudah matang."
Edzard mengangguk lagi. Cowok itu mengambil penyaringan dan meniriskan macaroni tersebut.
Adreanne mulai memasukkan butter dan s**u. Ia akan membuat saus creamnya.
"Perlu bantuan?" tawar Edzard lagi.
"Tidak. Kau duduk saja atau panggil Dante, kita sarapan bersama. Setelah itu aku pulang."
Raut wajah Edzard tampak kecewa mendengar kata pulang dari gadis itu. "Tidak bisakah pulangnya agak siang atau sore?"
"Aku harus mandi, Ed. Aku tidak membawa baju," peringat Adreanne.
"Aku bisa menyuruh Dante membeli baju untukmu."
"Pemborosan. Lagi pula aku harus pulang, bundaku menyuruhku."
Edzard menghela napas berat. "Baiklah, nanti akan ku antar."
"Iya, sekarang panggil lah Dante," suruhnya.
Kaki panjang Edzard berjalan meninggalkan dapur dengan langkah lesu.
Tepat ketika Edzard dan Dante tiba di dapur, mac and cheese buatan Adreanne siap. Gadis itu dengan cekatan memindahkan hasil masakannya ke tiga buah piring lalu menghidangkannya kedua pemuda yang sudah duduk manis di kursi.
"Selamat makan!" seru Adreanne.
Edzard dan Dante sama-sama mengangguk lalu memasukkan makanan buatan Adreanne ke dalam mulut.
"Terimakasih, Nona. Makanannya sangat lezat!" puji Dante.
"Nona?"
Duk!
Edzard menendang kaki Dante dan menatap lelaki itu itu dengan penuh peringatan. Dante jadi gelagapan sendiri.
"Maksud saya, em, maaf saya lupa nama anda."
Adreanne tertawa karena keformalan Dante.
"Ya ampun, kamu sangat formal sekali padaku, berbicara santai saja Dante. Aku Adreanne. A-d-r-e-a-n-n-e. Lain kali jangan lupakan namaku."
Dante mengangguk. "Masakanmu lezat Adreanne," puji Dante lagi.
"Terimakasih, aku senang kamu suka."
Mendadak, Edzard jadi kesal melihat interaksi Adreanne dan Dante. Ia tidak suka keramahan Adreanne dinikmati oleh Dante dan juga senyuman maut yang memesona itu. Ia tak rela Dante menatap senyuman Adreanne.
"Jangan tatap dia terus," bisik Edzard penuh penekanan.
Walaupun suaranya kecil dan tidak terdengar oleh Adreanne, tapi Dante mendengar peringatan dari Edzard. Dante mengangguk patuh dan kembali makan, matanya tidak lagi menatap Adreanne.
***
Setelah sarapan, sesuai dengan janjinya, Edzard mengantar Adreanne pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah gadis itu, bukannya langsung pulang, Edzard malah menerima ajakan Damien bermain game. Kedua lelaki berbeda generasi itu sudah asik bermain game di kamar Damien. Sedangkan Tika mengajak putrinya ke dapur.
"Bunda tadi malam bikin kue ini, Re. Cobalah," kata Tika seraya memotong cheesecake buatannya.
Adreanne langsung memasukkan potongan cheesecake itu dan menilai rasanya. "Lembut, Bun. Enak juga."
Tika tersenyum lebar mendengar pujian dari Adreanne.
"Tumben banget bunda bikin cheesecake, biasanya bilang malas," komentar gadis itu.
"Abang kamu tuh yang minta. Pulang hujan-hujanan, minta mie rebus sama cheesecake."
"Abang aneh," kekeh Adreanne.
Tika hanya tertawa dan kembali memotong cheesecake tersebut dan memindahkannya ke piring kecil. "Kamu antar gih, ke kamar Abang. Suruh Edzard cobain juga."
Adreanne mengangguk patuh, ia mengambil piring kecil itu dan mengayunkan kakinya menuju tangga.
Cklek!
Kepala Adreanne menggeleng kecil melihat kedua lelaki itu yang tampak fokus dengan layar televisi yang digunakan untuk game.
"Nih, nyemil dulu." Adreanne meletakkan piring kecil itu di atas meja belajar Damien.
Damien menoleh sekilas. "Minumnya mana?"
"Ya ambil sendiri lah, Bang."
"Sekalian kek sama minum," protes Damien.
"Iya-iya, bentar." Karena tidak ingin menjadi adik durhaka, Adreanne kembali keluar dari kamar Damien untuk mengambil minum.
Adreanne mengambil dua gelas berisi minuman lalu kembali menuju kamar Damien dengan langkah lebar. Setelah melakukan tugasnya itu, ia kembali masuk ke dalam kamarnya menyibukkan diri sendiri.
***
Edzard pulang ketika hari sudah beranjak sore. Dan saat itu, raut wajah Dante terlihat sangat menyedihkan.
"Lama sekali anda pulang, Pangeran. Saya lapar," keluh Dante seraya memegang perutnya. Bahkan ia melupakan suruhan Edzard yang menyuruhnya memanggil tanpa embel-embel pangeran.
"Di lemari dan kulkas sudah ada bahan makanan, kenapa kau tidak masak sendiri?" dengus Edzard.
"Saya tidak bisa, terlebih bahan-bahannya sangat berbeda dengan bahan makanan Airya. Dan juga saya tidak tahu cara menghidupkan kompor," kata Dante jujur.
"Aku juga tidak bisa masak."
Kedua mata Dante sontak melotot horor. Ia membayangkan tak diberi makan oleh Sang Pangeran mulai hari ini dan seterusnya.
"Tenang, aku akan memesannya," lanjut Edzard.
Dante pun bernapas lega. Edzard segera membuka aplikasi untuk memesan makanan dan memilih beberapa menu untuk dirinya dan Dante. Walaupun siang tadi ia telah makan di rumah Adreanne, kini ia sudah merasa lapar lagi.
"Kita tunggu saja. Makanan akan tiba dalam tiga puluh menit."
Dante mengangguk patuh.
"Em, ada yang ingin saya tanyakan pada anda, Pangeran."
"Sudah ku bilang, jangan panggil Pangeran."
"Saya merasa berdosa dan seperti akan di hukum mati jika berbicara santai dengan Anda, Pangeran. Jika ada manusia, maka saya akan terpaksa berbicara santai. Mohon maklumi saya, Pangeran."
Edzard menghembuskan napasnya kesal. "Terserah lah!"
Edzard langsung menjatuhkan dirinya di sofa dan diikuti oleh Dante yang duduk di sofa seberang Edzard.
"Saya boleh nanya, Pangeran?"
"Hm."
"Kenapa saya tidak bisa membaca pikiran gadis tadi, ya Pangeran? Padahal seharusnya pikiran manusia bisa dibaca."
Edzard tersentak. Ia pikir hanya dirinya sendiri yang tidak bisa membaca pikiran Adreanne.
"Kau benar-benar tak bisa membacanya?" tanya Edzard memastikan.
Dante mengangguk dua kali dengan raut wajah serius. "Saya hanya bisa merasakan auranya bersih."
Edzard mengangguk setuju, jika berdekatan dengan Adreanne ia pun merasakan hal yang sama.
"Sejak awal aku melihatnya, aku juga tidak bisa membaca pikirannya. Entah apa yang aneh dengannya, padahal pikiran keluarganya bisa ku baca."
"Sepertinya dia bukan manusia biasa, Pangeran," terka Dante.
Edzard mengelus dagunya berpikir. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Ya saya merasa aneh saja. Dia tidak seperti manusia kebanyakan."
Edzard terdiam. Sekitar lima menit keadaan tiba-tiba hening hingga Sang Pangeran kembali bersuara.
"Cari tahu kenapa pikiran manusia tidak bisa kita baca Dante. Pergi ke perpustakaan Kerajaan, dan cari penjelasan mengenai itu."
Dante mengangguk patuh. "Baik, Pangeran."
***
to be continued...