54. Mendapatkan Sayap Kembali

1064 Kata
Sekarang di sinilah Edzard berada. Di ruang perpustakaan mini di rumah yang sekaligus menjadi ruang belajarnya. Raja Philips sudah duduk di kursi besar yang biasanya ia jadikan tempat duduk ketika belajar. "Kenapa kamu melenyapkan manusia itu? Apa kamu sudah kehilangan akal?!" tanya Raja Philips to the point dengan nada yang tegas dan menatap sang Putra dengan alis menukik tajam. "Dia menggangguku, selalu menempel padaku dan berlaku menjijikkan. Bahkan dia tidak segan-segan menggodaku, tidak hanya sekali ku peringatkan, Ayah. Berkali-kali aku sudah memberi peringatan, tapi ia abai. Ya sudah, ku hapuskan saja dia dari Bumi ini," jawab Edzard dengan teramat santai. "Santai sekali bicaranya, ya? Apa kamu tidak memikirkan dampak dari perbuatanmu itu? Hukumanmu di Bumi ini bisa ditambah," kata Raja Philips tajam. "Baguslah kalau ditambah," balas Edzard acuh tak acuh. "Bagaimana bisa kamu bersikap sesantai ini? Mau hukuman di tambah, eh?" Edzard kembali mengangguk santai. "Terserah Ayah saja sih. Aku nyaman di Bumi." "Jawabanmu yang seperti itu sama sekali tidak ku harapkan. Apa tinggal berbulan-bulan di sini membuat isi kepalamu kosong?" sinis Raja Philips tersurut emosi. "Baiklah, aku hanya main-main. Jangan terlalu serius seperti itu, Ayah." Raja Philips berdecak pelan. "Apapun yang kamu lakukan di sini, jangan pernah mengulangi hal yang sama. Mengerti? Kali ini aku membiarkannya, lagi pula kamu membereskannya dengan mudah." Edzard mengulum senyum tipis. "Terimakasih, Ayah. Ah iya, ada satu lagi yang harus Ayah tahu." "Apa?" "Adelard mengikutiku, dan dia berbuat seenaknya saja. Dia tampak tidak ingin melepaskanku, dia selalu mencari masalah," lapor Edzard dengan nada kesal. "Sudah berpuluh-puluh tahun berlalu, dia masih dendam padamu?!" tanya Raja Philips tidak percaya. "Aku juga tidak mengerti apa yang ada di otaknya. Padahal itu jalan Velia sendiri yang ingin mengakhiri hidupnya." Edzard menyahut dengan santai. Bahkan ia tak merasakan apapun ketika menyebut nama Velia. Rasanya pada Velia benar-benar sudah hilang sekarang. "Aku akan membicarakannya pada Raja Remon. Kalau dia turun ke Bumi untuk mengganggumu, mungkin secepatnya ia bisa kembali ke Voresha." "Baik, terimakasih, Ayah." Edzard berharap, Adelard benar-benar akan meninggalkan tempat ini dsn berhenti membuatnya cemburu dsn terusik. "Bisakah aku mendapatkan kekuatanku lagi, Ayah? Aku merasa sangat tidak berguna di sini." Edzard menampilkan raut wajah memelasnya. Raja Philips tidak langsung menyahut, ia hanya menatap putranya dengan datar. "Kekuatanmu akan kembali saat hukumanmu selesai," jawabnya. "Setidaknya sayapku, aku sangat merindukan sayapku. Kembalikan sayap indahku, Ayah." "Berjanji tidak akan memperlihatkannya pada manusia?" Edzard mengangguk dengan penuh keyakinan. "Janji!" "Baiklah." Raja Philips menggerakkan tangannya menunjuk Edzard dan tidak lama kemudian Edzard bisa dengan mudah mengeluarkan sayapnya. "Terimakasih banyak, Ayah. Aku berjanji akan hidup dengan baik di sini." Raja Philips hanya menganggukkan kepalanya. "Tepati janjimu. Kalau begitu aku harus kembali ke Airya." Edzard bangkit dari kursinya dan berjalan di belakang Raja Phillips. Ia mengantar sang Raja keluar dari rumah besarnya. Setelah kepergian Raja Philips, Edzard berlari ke taman belakang rumah untuk mencoba sayapnya. Sudah lama ia tidak terbang, sensasi terbang di langit masih bisa ia rasakan. "Sayap anda dikembalikan, Yang Mulia?" Edzard mengangguk, ia mulai mengangkat dirinya ke atas dan merasakan kepakan sayapnya stabil dan semakin kencang anginnya jika dikepakkan. "Sayapku benar-benar sudah kembali." Edzard tersenyum lebar. Jelas sekali pria itu sangat menyukai sayapnya. *** Setelah puas bermain kemarin, hari ini Adreanne akan kembali ambis dalam belajar. Olimpiade tingkat Nasional sebentar lagi, ia harus meningkatkan kualitas belajarnya agar memperoleh nilai yang sempurna. Seperti sekarang ini, siswa lain sudah belajar di kelas dengan guru. Sementara ia berada di kantin seraya membaca buku biologi. Bu Delina sang pengawas sedang izin ke kantor dan ia diberi waktu istirahat. "Gue bawain minuman lagi," kata seorang cowok. Adreanne mendongakkan kepalanya ke atas. Ternyata Abian lah yanh datang. "Em, serius untuk aku?" "Iya." Adreanne mengulas senyum lebar. Pas sekali minumannya sudah habis. "Makasih banyak, Bi." Abian membalas senyuman Adreanne, cowok itu duduk di depan gadis itu. "Serius banget belajarnya," komentar Cowok itu, tak melepaskan pandangannya dari wajah cantik Adreanne yang ketika sedang serius. "Aku harus menang di tahap Nasional ini, Bi." Adreanne membalas tanpa menatap lawan bicaranya. "Mau aku bantu?" Dahi Adreanne mengerut samar. "Bantuin gimana?" "Bantu doa," kekeh cowok itu garing. "Apa sih, Bian!" kesal Adreanne. Tiga detik kemudian ia kembali mengacuhkan Abian dan kembali pada pekerjaannya. "Re, sebenarnya gue sayang sama lo." Entah kerasukan dari mana, Abian tiba-tiba mengungkapkan perasaannya. "Sayang sebagai teman, kan? Ya wajarlah, Bi. Aku juga sayang kamu, kamu kan teman aku." Rahang Abian nyaris jatuh mendengar ucapan gadis di depannya ini. "Bukan sebagai teman, Re. Sebagai wanita, gue suka lo sebagai wanita." "Aku masih gadis, Bi. Belum jadi wanita," sergah Adreanne tidak suka. "Iya, iya, masih gadis. Gimana? Kamu mau aku?" Adreanne tidak langsung menjawab. Ia menatap Abian dengan tidak enak. "Bi, jangan rusakin pertemanan kita dong." "Yanh rusakin siapa sih? Kan aku cuma nyatain perasaan aku aja," protes Abian. "Perasaan kamu, bisa hancurin hubungan pertemanan kita. Aku nggak mau kalau kita melangkah lebih. Secara aku bukan calon istri atau tunanganmu. "Ya, kamu bukan salah satunya, tapi kita bisa melangkah ke tahap itu." "Maaf, Bi. Aku benar-benar nggak bisa," sesal Adreanne. "Kasih aku alasan," kata Abian tegas. Tidak bisa dipungkiri bahwa raut wajah Abian terlihat kecewa. Adreanne memainkan ponselnya, ia menggigit bibir bawahnya pelan. Haruskah ia jujur? "Sebenarnya aku suka sama orang lain, tapi ini asumsi aku aja. Ini baru pertama kalinya aku merasakannya, Bi." Akhirnya gadis itu memilih untuk menceritakannya. "Siapa dia? Asumsi seperti apa yang kamu maksudkan?" Mata Abian tiba-tiba menyipit curiga. Di dalam benaknya sudah ada beberapa orang yang ia kenal dan kemungkinan memanglah orang itu. "Edzard," lirih Adreanne. Mulut Abian terbuka lebar. Ternyata tebakannya benar. Gadis yang ia cintai, menyukai Edzard. Jadi apa yang harus ia lakukan? "Kamu benaran suka dia?" tanya Abian memastikan. "Aku juga kurang tahu. Tapi semenjak Edzard menjauh, aku ngerasa kosong dan kangen. Itu tandanya suka, kan?" tanyanya polos. Abian meneguk salivanya susah payah, kepolosan Adreanne inilah yang membuatnya jatuh cinta. Gadis itu benar-benar payah dalam urusan percintaan. Namun ia merasa iri pada Edzard, karena mendapat rasa suka dari Adreanne. "Terus gimana?" tanya Abian ambigu. "Apanya yang gimana?" "Sekarang kamu masih suka dia?" "Iya suka banget. Cuma sayang, hanya beberapa kali saja kami pernah berpapasan." "Edzard itu orangnya misterius, lebih bagus lagi kalau kamu hati-hati banget." Nazihat dari netijen. "Iya aku tahu." Tanpa mereka sadari, sosok laki-laki berambut hitam berantakan melihat dan mendengar interaksi keduanya. Ia mendengus jengkel mendengar jawaban naif dari Adreanne. Benar-benar gadis bodoh!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN