46. Keinginan

1138 Kata
Adelard melangkah memasuki rumahnya dengan santai. Di ruang tamu tak sengaja matanya menatap ke arah Max yang bersantai di depan televisi dengan ditemani oleh sekotak es krim. “Enak sekali hidupmu, bersantai-santai,” omel Adelard berkacak pinggang. Max nyengir kuda seraya menggigit sendok es nya. “Anda mau es ini juga, Pangeran? Di jamin anda belum pernah mencobanya.” Adelard mendengus. “Aku mau, tapi bukan bekasmu,” sarkasnya. Max menganggukkan kepalanya, ia beranjak dari sofa dan menuju dapur untuk mengambilkan es krim buat sang Pangeran. Adelard menghempaskan tubuhnya di sofa empuknya dengan pandangan yang lurus menatap televisi yang sedang menampilkan sinetron. “Ini, Pangeran.” Max menyerahkan es krim rasa vanilla. Adelard menerima es itu lalu membukanya. Ia memejamkan matanya ketika menikmati sensasi dingin dari es krim vanila itu di tenggorokannya. “Bagaimana dengan tugas yang ku berikan padamu? Apa sudah ada yang kau angsur?” Max mengangukkan kepalanya. “Sudah, Pangeran. Saya sudah mencari tahu di mana lokasi tempat Pangeran Edzard tinggal dan juga siapa yang sering bertemunya. Namun akhir-akhir ini tampaknya Edzard sudah tidak lagi bertemu dengan orang itu.” “Siapa dia?” “Perempuan, Pangeran. Namanya Adreanne,” jawab Max lugas. Adelard terkekeh geli. “Aku tahu siapa gadis itu, dan katanya dia adalah kekasih Edzard.” Max melototkan matanya menatap Adelard tidak percaya. “Benarkah Pangeran Edzard mengencani gadis manusia?!” pekiknya. Adelard mengusap-usap kedua telinganya seraya mendengus sebal. “Jangan berteriak di depanku, Max!” “Maaf, Pangeran. Maaf, saya tidak sengaja. Saya spontan memekik karena informasi yang mengejutkan barusan. Tapi apakah itu benar, Pangeran?” Adelard menganggukkan kepalanya. “Ya, kemungkinan itu benar seratus persen karena di sekolah aku melihat hal yang tidak biasa.” “Nanti saya akan cari tahu lagi, Pangeran. Oh iya, apa sekolah manusia menyenangkan, Pangeran?” “Tidak, biasa saja.” “Saya kira ada yang berbeda gitu dibandingkan sekolah di Negeri Voresha.” Adelard memutar bola matanya malas. “Tentu saja ada perbedaan, Max. Di sini manusia semua, dan pola tingkah mereka berbeda seratus persen dengan dunia kita.” “Iya, saya mengerti, Pangeran.” “Siapkan makan malam,” titah Adelard. Memutuskan untuk berhenti membahas mengenai hal manusia lebih lama. “Saya belum terlalu jago masak, Pangeran. Bagaimana kalau kita beli? Di luar komplek perumahan ini ada restoran yang baru saja dibuka. Saya lihat, tadi siang sih ramai.” “Ya sudah, kau beli saja,” usir Adelard. “Baik, Pangeran. Saya akan beli dulu.” Max bangkit dan membereskan bekas-beaks camilan sorenya di atas meja. Ia membersihkan meja dengan kilat lalu berangkat menuju restoran yang dimaksud. *** Sore harinya, mengantikan tugas Tika. Adreanne membantu mengoleskan obat di beberapa titik tubuh yang sulit dijangkau oleh Damien. Setelah memberi obat, ia juga mengganti perban di kepala Damien dengan yang baru. Setelah pekerjaannya selesai, kedua kakak beradik itu beranjak dari kamar Damien dan menuju lantai bawah. Selagi menunggu Tika dan Bi Rumi selesai masak makanan makan malam, keduanya duduk di sofa. Adreanne menyenderkan kepalanya di bahu Damien yang sandarable. “Lo udah nggak demam?” tanya Damien, tangannya lalu menempel di dahi Adreanne. Adreanne menggeleng. “Udah reda panasnya.” “Baguslah,” sahut Damien singkat lalu kembali mengalihkan tatapannya ke televisi. Tangannya sibuk mencari siaran hingga Adreanne berseru untuk berhenti. “Udah, nonton kartun ini aja,” kata gadis itu. matanya mulai tampak tertarik dengan channel kartun dua kembaran botak asal tetangga seberang. Damien pun meletakkan remote dan tindak mengganti saluran. “Ayah Pulang!” tiba-tiba terdengar suara di depan pintu rumah. Tanpa dibukakan pintu, Adam masuk dengan sendirinya. Lelaki paruh baya itu menghampiri kedua anaknya yang saling akur sedang menonton dan duduk di sofa. “Ayah bawain martabak buat kamu, Re.” “Cokelat keju?” tanya Adreanne menanyakan varian rasanya. “Iya, pasti dong!” “Asik!” Adreanne mengambil plastik di tangan Adam lalu membawanya ke meja. Tanpa memindahkan ke piring, ia langsung membuka kotak martabak itu dan mengambil satu isinya. “Mau, Bang?” “Ya mau lah! Pake ditanya lagi,” balas Damien cepat. Adreanne mengangsurkan kotak martabak itu pada Damien agar sang Abang dapat mengambilnya sendiri. “Bunda mana?” tanya Adam. “Ada tuh di dapur.” Damien menyahut. Adam menganggukkan kepalanya lantas mengayunkan kakinya menuju dapur meninggalkan kedua anaknya yang sudah kembali fokus pada serial televisi di depan. “Enak banget martabaknya, lembut sama topingnya banyak,” komentar Adreanne usai mencicipi satu potong martabak. “Kayaknya in martabak baru deh, biasanya bukan kayak gini yang dibeli Ayah,” sahut Damien berasumsi. “Kayaknya iya, soalnya beda dari yang biasa.” Damien mengangguk acuh tak acuh. “Oh iya, gimana sama Edzard?” “Gimana apanya?” tanya Adreanne tidak paham. “Hubungan kalian lah, apalagi?” “Ya nggak gimana-gimana.” Gadis itu menjawab dengan ambigu. “Nggak gimana-gimana apa dah? Yang jelas kalau ngomong maemunah!” umpat Damien jadi terpancing kesal. “Ya gitu, biasa aja. Kenapa nanya?” “Kali aja kalian jadi musuhan. Lagian kalian pacaran, kan? Kali aja masalah kalung itu bikin kalian putus atau apa.” “Nggak ya! Mana ada pacaran,” sergah gadis itu langsung. Damien menatap adiknya dengan tatapan tak percaya. “Gue kira kalian ada hubungan, bambang! Terus gimana? Kalungnya jadi mau diganti?” “Nggak usah katanya bang. Lagian kemarin aku udah bilang juga lho kalau kita nggak jadi menggantinya.” “Oh iya? Kok gue nggak inget.” “Yee, pikun nih abang.” “Enak aja ngatain gue pikun,” tukas Damien galak. “Ya kalau nggak pikun apalagi namanya?” pungkas Adreanne mendebat. “Lo ngajak gue debat?” “Ya nggak sih.” Adreanne kembali membungkam mulutnya. “Rea, Dami, ayo ke ruang makan. Makan malam udah siap!” seru Tika dari dapur. “Iya, bun!” sahut mereka tanpa sadar serentak. Damien segera berdiri dan berjalan menuju ruang makan. Sementara Adreanne mengambil kotak martabak yang masih menyisakan beberapa potong lagi dan ikut membawanya menuju ruang makan. Adreanne duduk di sebelah Damien yang sekarang sudah sibuk memilih dan memindahkan lauk ke piringnya. “Oh iya, Yah. Tadi aku lihat hewan di sosmed kan...” “Hewan apa?” “Kucing. Lucu pokoknya. Itu aku boleh adopsi nggak?” “Yakin mau melihara? Emang nanti bakal tanggung jawab ngurusnya?” tanya Adam meragu. “Yakin, Yah. Bunda juga udah setuju kok.” “Gue nggak setuju,” sahut Damien tiba-tiba. “Ya aku nggak perlu persetujuan Abang,” sungut gadis itu. “Ya udah kalau kamu benar-benar mau melihara. Mau ayah temani pas adopsinya ke pet shop?” tawar pria paruh baya itu. “Emang ayah nggak sibuk?” tanya Adreanne tidak yakin. “Kalau buat keluarga ya nggaklah!” “Okay, besok pulang sekolah ya, Yah!” Adam menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu kita makan. Selamat makan.” “Selamat makan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN