Setelah acara penutupan, Edzard dan Adreanne berjalan bersisian menuju luar. Bu Delina sudah menunggu di dalam mobil.
"Em, permisi." Tiba-tiba dua orang perempuan dan satu laki-laki mencegat langkah mereka.
"Iya, ada apa?" tanya Edzard sopan.
"Boleh aku minta nomor ponsel kamu?" Salah satu perempuan tampak malu-malu mengulurkan ponselnya.
Edzard melirik ke arah Adreanne sekilas lalu tersenyum. "Tentu boleh."
Adreanne melotot, ia tak percaya Edzard memberikan nomornya sembarangan ke orang yang tidak dikenal.
Perempuan itu tampak senang dan memberikan ponselnya pada Edzard. Edzard langsung mengetik dan menyimpan nomornya.
"Terimakasih, semoga kita bisa jadi teman!" seru perempuan itu kegirangan.
Edzard membalas senyum perempuan itu dan mengangguk. "Kalau begitu, aku dan temanku pulang duluan ya." Cowok itu memegang lengan Adreanne.
"Oh iya, silakan."
Adreanne menepis tangan Edzard dan berjalan lebih dulu memasuki mobil.
Di dalam mobil, keadaan sangat hening. Hingga beberapa saat kemudian terdengar celetukan bu Delina.
"Kalian mau makan sekarang?"
"Bo-"
"Pulang aja kayaknya, Bu. Capek soalnya," jawab Adreanne cepat, menyela sahutan Edzard.
"Kamu, Zard? Mau makan atau pulang juga?"
"Pulang, Bu." Mau tidak mau ia juga mengikuti Adreanne.
"Di sekolah kalian ada titip kendaraan? Kalau nggak ada, langsung diantar pulang aja ini," ucap Bu Delina.
"Nggak ada, Bu." Jawab keduanya serempak.
"Baiklah, kalian diantar pulang langsung. Kasih tau alamatnya ke pak Anto ya."
Adreanne dan Edzard sama-sama mengangguk kemudian memberitahu alamat mereka.
Tringg!
Suara notifikasi handphone Edzard begitu besar terdengar. Entah kenapa membuat Adreanne jadi kepo, apakah itu pesan dari perempuan tadi?
Posisi duduk Adreanne tepat di belakang Edzard, jadi tubuhnya dengan santai sok ke depan. Pura-pura melihat jalanan di depan, padahal ia mengintip layar ponsel Edzard.
'Save ya, ini nomor aku. Nama aku Selvia.' Adreanne membaca isi chat tersebut dalam hati.
"Kamu ngintip?!"
Adreanne tersentak dan memundurkan tubuhnya lalu menggeleng. "Enak aja asal nuduh, aku cuma lihat jalanan depan sana ya," jawabnya sedikit sewot.
"Halah alesan," cibir Edzard. Cowok itu sengaja bertingkah menyebalkan.
"Kalau nggak percaya, tanya sama Bu Delina," keukeuh Adreanne tak ingin dituduh.
"Ibu tadi nggak lihat, soalnya liat keluar jendela situ," sahut Bu Delina kemudian berdehem.
"Udah jangan berantem lagi," ujar pak Anto selaku sopir, menengahi.
Kedua remaja itu diam. Adreanne menyandarkan punggungnya, ia membuang pandangannya keluar, mengacuhkan Edzard.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan pagar rumah Adreanne. Gadis itu buru-buru menyalami tangan bu Delina dan pamit. Setelah itu ia turun tanpa mengucapkan sepatah kata pada Edzard.
Edzard mengawasi pergerakan Adreanne yang memasuki rumahnya dalam diam. Hingga gadis itu tak terlihat lagi. Pak Anto pun kembali melajukan mobilnya.
***
"Lho, kamu pulang sama siapa?" kaget Tika, wanita paruh baya itu sedang asik menonton televisi dikejutkan dengan kehadiran putrinya tiba-tiba.
"Diantar Pak Anto sama Bu Delina, Bun."
Tika memberi isyarat pada anak gadisnya agar mendekat. Lantas Adreanne duduk di sebelah Tika, hanya dua detik ia duduk, selanjutnya ia mengubah posisi menjadi tiduran di paha sang Bunda. "Kenapa Bun?"
"Gimana tadi? Bisa jawab soalnya?" Tika mengelus-elus rambut putrinya.
"Susah-susah gampang, Bun. Tapi aku berharap menang sih," jawabnya seraya memejamkan mata.
"Wajah kamu berangsur normal warnanya, tadi merah banget. Kepanasan atau lagi kesel, hm?" Ternyata Tika memperhatikan raut wajah sang Putri sedetail itu.
"Kesel bun," jawabnya jujur.
"Cerita sama Bunda, kenapa kesel."
Adreanne pun menceritakan hal yang terjadi padanya dan Edzard, mulai dari Edzard memutuskan untuk menjauh dengan dalih Adam tidak menyukainya lalu sikap Edzard yang berubah-ubah kadang hangat kadang dingin, lalu sewaktu Olimpiade tadi.
Tika mendengarkan cerita putrinya dengan seksama hingga ia menjadi berasumsi, ia menduga anaknya menyukai Edzard. Sosok yang memang harus dijauhi.
"Kamu suka sama Edzard?" tanya Tika membuat Adreanne bungkam seketika.
Dengan pipi yang merona ia mengangguk. "Dia baik banget bun dulu, perhatian juga. Jadi tanpa sadar aku jadi suka," cicitnya dengan malu-malu.
Tika menghela napas berat, dan itu disadari oleh Adreanne. Gadis itu langsung menangkap bahwa Bundanya tidak suka jika ia memiliki rasa khusus pada Edzard.
"Bunda nggak suka ya, kalau aku suka sama Edzard?" tanyanya lesu.
"Menurut bunda, suka itu wajar kok. Bukannya Bunda nggak suka, tapi ini belum saatnya kamu menjalin kasih, okay?"
"Kalau sekedar suka aja tanpa jadi kekasih nggak apa-apa, Bun?" Gadisnya bertanya dengan polosnya.
"Iya, nggak apa. Bunda nggak bisa larang perasaan kamu, soalnya itu hak kamu suka sama siapa," respon Tika bijak.
"Okay, Bunda. Makasih hehe, kesel aku udah hilang setelah cerita," kelakarnya.
Senyum Tika merekah. "Bagus, lebih bagus lagi kalau ada suatu masalah yang tidak bisa kamu hadapi sendiri, kamu bisa beritahu bunda."
"Ok, Bun. Aman, siap!"
"Oh iya, kamu udah makan?"
Adreanne menggeleng. "Belum."
"Ya udah ganti bajunya terus makan."
"Siap, Bun. Tapi bunda sendiri udah makan?"
"Tentu saja sudah. Tinggal kamu yang belum, udah sana!"
"Ya, baiklah." Adreanne bangkit dengan lesu dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Tika hanya menatap kepergian Putrinya dengan sendu, sepertinya Edzard memang sudah sangat susah dijauhi dari putrinya. Buktinya, sekarang malah Adreanne yang memiliki rasa pada cowok itu. Entah apapun itu kedepannya, Tika harap tidak terjadi sesuatu yang buruk.
***
Adam telah selesai memeriksa seluruh berkas di atas mejanya. Sekretarisnya pun tampak sibuk di luar ruangannya yang bisa ia lihat dari dalam karena kaca transparan.
Namun dugaan Adam salah, ia pikir ia bisa istirahat sekarang. Tetapi beberapa detik lalu malah muncul satu email yang berisi tentang laporan yang dikirim oleh manager.
Tok... Tok... Tok...
"Masuk!" serunya tanpa menatap pintu, perhatiannya seratus persen pada kayar komputernya.
"Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda."
Dahi Adam mengerut dalam mendengar nada dari Septian yang tidak biasa. Nada suaranya terdengar sangat dingin dan tajam. Sontak ia mengangkat kepala dan melotot melihat mata Septian berubah menjadi ungu. Lebih terkejut lagi ia melihat Xirza berada di belakang Septian.
"Apa yang kau lakukan pada sekretaris ku?!" Seru Adam marah, lelaki itu langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri Septian yang ambruk hilang kesadarannya.
"Saya terpaksa melakukan ini agar dipersilakan masuk ke dalam, Putra Mahkota."
Adam menggeram marah. "Kembalikan dia seperti semula dan pergi dari sini!"
"Ada yang harus saya sampaikan pada anda," sergah Xirza cepat. Makhluk yang sudah pasti yang sangat dihindari Adam itu tampak bersikukuh di posisinya.
"Apa perkataanku waktu itu kurang jelas?! Aku tidak ada hubungannya lagi dengan kaum Myrania!"
"Anda bisa kembali."
"Dan aku tidak berniat kembali. Pergi sekarang, dan kembalikan sekretarisku!" desis Adam mulai hilang kesabaran.
"Adik Anda benar-benar mengacaukan negeri, dia harus turun tahta. Dan yang bisa melakukan itu semua hanya anda, atau ... Putri anda."
"Putriku tidak ada hubungannya dengan ini semua." Mata Adam berkilat emosi, tentu saja ia tidak senang jika Adreanne disangkutpautkan dengan hal ini.
"Pikirkan lah baik-baik, Pangeran."
"Aku bukan Pangeran!" bantah Adam tajam.
"Anda pikir hanya saya yang akan bergerak? Para tetua tidak lama lagi akan mengambil tindakan, dan mungkin saja mereka akan langsung menemui Putri anda yang bernama Adreanne. Kekuatan yang tersimpan dalam tubuhnya lebih besar dari dugaan."
Hilang sudah kesabaran Adam. Adam berjalan menghampiri Xirza dan memiting lehernya. Dengan mata yang berkilat emosi yang mencekik leher Xirza.
Xirza masih tampak tenang walau tangannya memegang tangan Adam dan mencoba untuk melonggarkan cekikan di lehernya.
"Dengarkan perkataanku baik-baik. Kaum Myrania, Kerajaan, tahta, sudah bukan milikku sejak aku memutuskan untuk pergi. Semua tertulis jelas dengan kertas yang disimpan oleh Raja terdahulu. Paham? Sekarang kau keluar dan jangan ganggu keluargaku!"
"Apa kau mengerti?!" desis Adam.
"Pikirkanlah ucapan saya, Pangeran."
BUGH!
Adam melempar tubuh Xirza membanting sofa yang punggung sofanya berbahan kayu yang ada di ruangannya. "Kau benar-benar ingin ku habisi di sini?" Tatapan Adam penuh ancaman.
Xirza mengangkat tangannya. "Baik saya menyerah. Namun, untuk kedepannya, anda pasti tahu sendiri."
"Katakan pada tetua itu untuk tidak mencampuri kehidupan ku yang sekarang!"
Xirza tidak mengatakan apapun, dengan cepat ia berjalan keluar dari ruangan Adam. Sepeninggalan Xirza, perlahan kesadaran Septian kembali.
Adam mendekati sekretaris yang sudah mengabdi padanya selama puluhan tahun dengan cemas.
"Kau baik-baik saja, Tian?"
Septian mengangguk kecil. "Hanya merasa sedikit pusing dan rasa tidak enak di punggung saya, Pak. Apa yang terjadi Pak? Kenapa saya di sini?" Tatapan Septian menjadi bingung sendiri menyadari dirinya duduk di lantai ruangan sang Bos.
Rahang Adam mengeras, tentu saja Septian tidak mengingatnya. Dan itu cukup melegakan.
"Hari ini istirahatlah. Kau boleh pulang, dan kembali lusa. Lusa, kau sudah benar-benar pulih."
Septian mengangguk patuh. "Baik, Pak. Namun saya akan tetap mengerjakan beberapa pekerjaan dari rumah."
"Jangan pikirkan pekerjaan, aku memberimu waktu libur dua hari. Sekarang pulang lah."
Melihat raut wajah Adam yang tampak tak ingin dibantah, Septian pun mengangguk patuh.
"Baik, Pak. Terimakasih. Kalau begitu saya permisi."
Setelah Septian pergi, Adam menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Setelah Xirza, yang lain pasti akan datang. Namun sebelum itu semua terjadi, ia harus benar-benar menyelesaikan ini semua. Agar keluarganya tidak tersentuh oleh kaum Myrania.