bc

Tergoda Janda, Menjandakan Istri!

book_age18+
6
IKUTI
1K
BACA
family
tragedy
affair
like
intro-logo
Uraian

Ini kisahku. Sebuah kesalahan besar yang teramat ceroboh sudah ku ambil hanya karena patah hati. Sakit? Tentu saja. Tapi inilah takdir. Orang bilang setelah hujan akan ada pelangi. Tapi bagiku justru hujan pun tak mau membasahi tanahku yang telah tandus.Dia, suamiku. Tergoda janda dan menjandakan aku, istrinya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Ta'aruf
Langit tampak cerah sore ini. Wajahku menengadah menatap hamparan biru di atas sana. Siluet senja mulai menampakkan diri dengan malu-malu. Aku selalu suka pemandangan seperti ini. Indah dan damai. "Mel, jangan melamun! Ntar kesambet lho!" Bibirku tersenyum masih menatap keindahan Sang Maha Indah di atas sana. "Bukan melamun, seneng aja lihat ke atas. Berasa damai tahu gak? Andai hidupku sedamai itu ya, Ros!" Rosie, sahabatku hanya menggeleng. Dia tidak suka dengan hal-hal berbau romantis. Katanya lebay. "Halah, emang selama ini hidup kamu lagi di zaman Firaun? Udah damai, Mel! Amelia, jangan lebay ah! Yok, ke depan! Udah jam lima sore ini, ntar angkotnya keburu gak ada." Aku mengangkat bahu lalu bangkit. Ya, saat ini kami sedang berada di lantai tiga gedung asrama. Amelia. Nama singkat ini diberikan oleh Abang tertuaku. Sedang Emak sama Bapak setuju saja. Konon katanya karena sudah tak muda lagi saat melahirkan aku. Jadi gak ambil pusing masalah nama. Jadilah Abangku yang ambil alih. Memberi nama Amelia untukku. Aku masih duduk di bangku SMA. Kelas dua belas yang sebentar lagi akan lulus. Aku sekolah di salah satu boarding school kota ini. Memadukan ajaran agama dan umum. Pesantren plus sekolah. Aku tahu, Emak dan Bapak sudah terlalu tua untuk membiayai. Jadi saat semua temanku memilih perguruan tinggi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sekolah tamat SMA aja sudah bersyukur. Ya, Abang tertuaku yang berjuang membiayai sekolahku di sini. Kemarin saat pulang liburan lebaran, aku diberi tahu jika Abang akan menikah. Harapanku untuk kuliah pupuslah sudah. Namanya juga sudah menikah. Punya istri dan keluarga. Meskipun calon istri Abang bilang tak masalah jika aku tetap dibiayai, tapi aku gak enak. Entah, aku belum bisa menebak seperti apa masa depanku kelak. "Mel, kamu beneran gak lanjut kuliah?" Rosie membuka percakapan saat kami sudah duduk di dalam angkot. Ya, hari ini semua santri pulang. Libur hari raya Idul Adha. Lumayanlah, pulang selama 5 hari ke depan. "Kuliah darimana duitnya, Ros? Kamu sih enak, bapakmu masih kerja dan tentunya bisa membiayai kuliahmu kan?" "Gak juga, Mel. Bapak emang kerja. Tapi kan aku punya ibu tiri. Katanya perempuan itu gak usah sekolah tinggi-tinggi. SMA aja udah cukup buat bekal hidup. Ujung-ujungnya pasti ke dapur jadi abdi suami." Rosie tampak lesu. "Ck, ternyata sama aja. Aku kira kamu beruntung karena ada Bapak yang masih kuat." "Terus Abangmu sendiri gimana? Bukannya Bang Damar sudah punya pekerjaan yang lumayan?" tanya Rosie. "Iya sih. Tapi tahun depan mau nikah. Gak enak lah sama istrinya." "Iya juga ya." Kami saling diam lagi. Menatap jalanan. Ada rasa bahagia saat tahu sebentar lagi kami lulus. Tapi sedih juga karena setelah ini harus segera memikirkan masa depan kami kelak. "Mel." Rosie tetiba bersuara. "Apa?" "Kalau kita gak kuliah, kita nikah aja gimana?" "Ha? Jangan ngawur! Usia kita masih delapan belas tahun, Ros!" "Ya gak apa-apa, kemarin aku dengar Ustadzah Rina nyari gadis buat sodaranya tuh. Konon sih ada dua orang. Kita kasih biodata kita aja gimana? Daripada hidup luntang lantung gak jelas." "Lah, masa secepat itu sih, Ros?" "Ya gak cepat sih. Apalagi di kampung kita kan nikah muda udah biasa. Di pesantren sih mungkin agak aneh ya, karena semuanya ngerti pendidikan. Lah di kampung kita? Si Nina aja empat belas tahun udah jadi janda kan?" "Kamu yakin itu tidak masalah?" Agak kaget juga sih dengan pemikiran Rosie. Kami turun dari angkot. Untuk sampai ke depan rumah, setelah turun dari angkot pedesaan, kami harus naik ojek atau berjalan kaki sekitar lima belas menit. "Ya coba aja, Mel. Malam ini kamu buat ya? Nanti aku bawain biodata kita ke Ustadzah Rina. Siapa tahu jodoh?" Aku diam. Bingung, sumpah. Lulus SMA kalau gak kerja mau ngapain coba? Masa bengong tiap hari di rumah? Nikah? Ta'aruf? Aduh, gimana ya? Jujur saja, aku sudah menyukai seorang pria. Walau aku tahu kami terlalu jauh untuk berjodoh. Dia seorang perawat. Orang tuanya termasuk orang kaya di kampungku. Juragan tanah yang sawahnya dimana-mana. Sedang bapakku hanya petani kecil. Namanya Heriyanto. Setiap menyebut nama itu, aku gak bisa kalau gak senyum. Rasanya setiap pria yang bernama Heri terasa keren. Dia cinta pertamaku atau mungkin cinta monyet? Entahlah, aku suka Heri sejak aku duduk di bangku SMP. Tapi aku tidak berani bilang ke siapa pun. Hanya jadi rahasia aku dan Tuhan saja. Rumah terlihat sepi. Kemana semua orang? Ah, aku tiga bersaudara. Ada Bang Damar yang usianya sudah dua puluh lima tahun. Lalu aku sebagai anak tengah dan yang bungsu namanya Rohil. Adikku lahir dengan selisih cukup jauh. Terbayang kan bagaimana kondisi emakku saat itu. Sudah lewat usia empat puluh tahun pokoknya. Abangku yang jadi tulang punggung keluarga termasuk masalah memberi nama adik-adiknya. Rosie menghilang di belokan menuju rumahnya. Aku sendiri segera masuk setelah salamku gak ada yang menjawab. "Hil, Emak mana?" tanyaku saat melihat Rohil sedang asyik baca buku novelnya. "Katanya tadi mau ke rumah Pak Kholil." Telingaku seketika menjadi tajam. "Pak Kholil? Mau apa?" Ya, Pak Kholil itu ayahnya Heri. Hatiku berdebar. Ada apa ya? Jangan-jangan aku mau dijodohkan sama Heri? Ah, tiba-tiba ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku. Semoga saja dugaanku benar! "Katanya sih putranya mau nikah atau apa gitu, terus Emak ke sana karena diundang buat pengajuan sukuran sebelum anaknya Pak Kholil nikah." Duar!! Bagai mendengar suara petir di siang bolong, aku sungguh kaget! Pak Kholil kan hanya punya satu anak? Heri? Dan Heri mau nikah? Lalu aku bagaimana? Heri, setiap malam aku berdoa dalam sujudku agar berjodoh dengannya, tapi kenapa jawabannya malah dia menikah dengan orang lain?! Dengan tubuh gemetar dan mata yang tak kuat menahan tangis, segera aku mengambil ponselku. Mengirim pesan pada Rosie. 'Malam ini, aku buat biodata. Pastikan kamu kirim ke Ustadzah Rina. Aku siap untuk menikah setelah lulus sekolah.' Sent. Ya, terkirim. Aku harus segera mengatasi ini. Ya Allah, kenapa rasanya sangat sakit? Padahal aku dan Heri tidak menjalin hubungan apapun. Kami kenal karena Emak langganan berobat padanya. Heri baik. Heri perhatian. Dia juga tampan, aku tidak bisa untuk menahan diri agar tidak jatuh cinta. Tapi sekarang, Heriku telah pergi. Dia mau menikah. Rasanya duniaku makin tak menentu. Mungkin satu-satunya cara agar aku mudah melupakan Heri adalah dengan hidup bersama pria baru.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
216.0K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
175.0K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
297.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
153.2K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.7K
bc

TERNODA

read
193.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook