Kisah 2

1123 Kata
"Kamu kenapa sih? Sejak pulang ke rumah kok murung terus?" Emak datang ke kamarku saat aku sedang menangis di bawah selimut. Ternyata rasanya patah hati sesakit ini. Ulu hati rasanya sangat sakit seperti ditusuk. Selera makan juga jadi hilang. "Aku hanya gak enak badan aja, Mak. Gak apa-apa kok." Buru-buru aku mengusap air mataku. Semoga saja Emak gak lihat. "Lho, kamu nangis?" Alamak! Bukan Emak namanya kalau tidak berhasil menemukan rahasiaku. Huft, ya aku nangis. Sakit hati sih tepatnya. Tapi malu mau ngaku. Terpaksa aku mengangguk pelan. "Iya, Mak." "Lah, kenapa? Kok nangis?" Otakku berputar cepat. "Sedih aja sih, sebentar lagi aku lulus SMA. Artinya aku keluar dari pesantren. Pisah sama teman gitu, Mak." "Oalah, kirain karena Heri menikah, haha." Aku kaget dong, "Kok Emak bilang gitu?" "Ya kan kali aja kamu nangis karena kepingin nikah juga." Huft, akhirnya aku bernafas lega. Aku kira Emak tahu jika aku cinta banget sama Heri. "Enggaklah, Mak. Sekolah aja kan belum lulus." Emak mengacak rambutku, "Udah, jangan sedih-sedih! Emak masakin sayur lodeh sama ikan asin kesukaanmu!" Aku mengangguk, "Aku mau cuci muka dulu." Emak keluar dari kamar. Selepas kepergian Emak, aku merenung lagi. Kenapa aku harus jatuh cinta sama pria yang tidak mungkin aku miliki? Heri. Dia jelas sangat sulit aku gapai. Orang tuanya saja termasuk orang terkaya di kampung ini. Ganteng, baik pula. Sedangkan aku? Hanya anak petani kecil-kecilan yang sudah bisa sekolah SMA saja alhamdulilah. Selesai shalat Dzuhur, aku langsung bergabung dengan Emak dan saudaraku. Kalau Bapak biasanya masih di sawah jam segini. "Bang Damar belum ke Jakarta lagi?" Rohil bertanya saat kami asyik makan. "Belum, kenapa? Kamu mau ikut?" Bang Damar menjawab pertanyaan Rohil. "Bukan sih, tapi aku mau beli tas baru. Kan kalau Bang Damar ke Jakarta, nanti bisa dapat uang dan kirimin ke Emak." "Ish, kamu tuh ya, tas yang tahun kemarin juga masih ada kan?" Aku menimpali. "Kan udah jelek, Kak. Udah gak model lagi itu." Si Rohil cemberut. "Tas itu bukan masalah modelnya, tapi kegunaannya, kalau masih bisa dipake ya jangan ganti dulu." Aku gak mau kalah. Lagian aku juga jarang beli tas. "Gak mau, Kak. Aku malu! Teman-teman udah beli tas baru semuanya. Masa aku doang yang masih pakai tas tahun kemarin?" "Hei, jangan berantem di depan makanana! Pamali! Ayo, habiskan makannya dulu." Emak menengahi. Sedangkan Bang Damar sendiri tak bicara apapun. Abangku itu memang sedikit bicara banyak bekerja. Dia dipaksa dewasa oleh keadaan. Bekerja sejak keluar sekolah dasar. Abangku tidak meneruskan pendidikannya. Padahal dia termasuk anak berprestasi. Selalu juara satu di kelas, hanya saja Emak dan Bapak gak punya biaya buat sekolah. Aku dan si Rohil juga dibiayai oleh Bang Damar. "Assalamualaikum!" Terdengar seseorang di luar sana. "Mel, ada Rosie tuh!" ucap Emak setelah memeriksa keluar. Aku menyudahi makan siangku. "Mak, aku izin main ke rumah Ustadzah Rina ya?" "Lah, ngapain? Ini kan hari libur?" "Ya silaturahmi aja, Mak. Suntuk di rumah terus." "Udah bilang ke Bapakmu belum?" tanya Emak lagi. "Ntar sambil berangkat aku ke sawah dulu izin ke Bapak." "Kalau gitu, sekalian aja bawa makan siang buat Bapak ya? Tadi katanya mau makan siang di sawah." "Baik. Aku ganti baju dulu. Hil, bilangin ke Kak Rosie, aku ganti baju dulu," ucapku sambil menepuk pundak Rohil. "Ck, iya!" Rohil masih kesal sepertinya. Terserahlah, aku hanya gak suka aja kalau dia terlalu manja. Sebelum keluar dari kamar, aku memastikan biodata yang semalam aku kirim ke Rosie sudah dibaca anak itu. Semoga saja sudah dikirim ke Ustadzah Rina. Di luar tampak Rosie duduk di kursi yang ada di teras rumah. Anak itu terlihat sedang memainkan ponselnya. "Ros! Ada kabar dari Ustadzah Rina?" tanyaku penasaran. Rosie mengangguk, "Iya, Mel. Katanya malah ada dua pria yang memang sudah siap untuk menikah. Hari ini Ustadzah Rina menyuruh kita untuk datang ke rumahnya." "Cepat sekali ya? Perasaan baru semalam aku kirim biodata sama kamu." "Iya, tadi Shubuh Ustadzah Rina mengabariku. Ya udah, ayo kita berangkat sekarang aja. Takut kesorean." "Bentar, aku ngambil makan siang Bapak dulu." Rosie mengangguk. Aku masuk lagi dan mengambil rantang nasi yang sudah disiapkan Emak. "Mak, aku pergi!" teriakku. Sepertinya Emak sedang di kamar mandi. "Ya, hati-hati!" jawab Emak dari dalam kamar mandi. Aku dan Rosie jalan kaki menuju sawah. Tampak Bapak sedang duduk sambil menikmati lentengan rokok yang dicetak sendiri. "Pak!" teriakku. Bapak menoleh, bibirnya tersenyum hangat. "Kamu mau makan bareng sama Bapak di sini?" "Enggak, maaf ya, Pak. Aku ada keperluan sebentar." "Lah, kirain mau makan bareng sama Bapak. Kamu mau kemana?" "Mau ke rumah Ustadzah Rina, Pak. Boleh gak?" tanyaku lagi. Bapak mengangguk, "Tentu saja boleh. Bapak senang kamu bergaul dengan orang-orang sholeh. Pergilah, Nak. Hati-hati di jalan!" "Terimakasih banyak, Pak!" seruku lalu mencium punggung tangan Bapak. Aku kembali ke jalan besar. Rosie sudah menungguku. Tak lama, angkot datang. "Mel." "Ya?" "Kira-kira seperti apa ya pria yang akan dikenalkan. ke kita?" "Mana aku tahu, Ros? Kan dapat kabar baik ini juga dari kamu." "Haha, iya sih. Cuma pengen nebak aja. Oh ya, kriteria suami idaman kamu gimana?" tanya Rosie lagi. Sepertinya dia memang benar-benar ngebet pengen nikah. "Bagiku, yang penting dia baik, shaleh, lemah lembut dan sayang sama orang tua dan istrinya. Itu aja." "Ha? Sederhana sekali." Rosie menatapku tak percaya. Aku memang tidak sedang bercanda. Kriteria suami bagiku gak muluk-muluk. "Begitulah, kamu sendiri?" "Kalau aku sih maunya dapat pria yang punya hafalan Qur'an lebih dariku." "Ya semoga saja bisa dapat sesuai harapan." Akhirnya kami sampai di depan sebuah toko buku. Rumah Ustadzah Rina menyatu dengan toko buku ini. Terlihat ada sebuah kendaraan yang terparkir. Motor vespa tua yang catnya sudah lusuh. "Assalamualaikum!" Rosie mengetuk pintu dan mengucapkan salam. "Wa'alaikum salam warahmatullah, masuklah!" Terdengar suara pria menjawab dari dalam. Kami masuk. Ustadz Gigis, suami dari Ustadzah Rina menyambut kami dengan senyuman hangatnya. "Eh, kalian. Mari masuk!" Aku dan Rosie mengangguk sopan lalu masuk dan duduk di atas karpet merah yang lumayan empuk. Tiba-tiba dari pintu kamar mandi keluar sosok pria tinggi dengan kulit sawo matang. "Nah, duduklah!" ucap Ustadz Gigis. Tak lama, Ustadzah Rina datang dan bergabung. Setelah sedikit berbasa-basi, Ustadz Gigis memulai pembicaraan. "Ini namanya Usamah. Usianya 27 tahun. Nah, Usamah, ini calon istri yang akan dikenalkan sama kamu." Pria bernama Usamah itu terlihat mengangguk. Menatapku dan Rosie bergantian. "Yang ini, Ustadz?" Usamah menunjuk ke arahku. "Haha, bukan. Itu sudah ada calonnya. Calon kamu yang sebelahnya." Aku mencelos. Usamah memilihku, tapi katanya pria yang akan dikenalkan padaku bukan dia. Jadi Usamah dijodohkan dengan Rosie? Selang beberapa menit, terdengar suara motor berhenti di depan toko. Ustadz Gigis berdiri dan membuka pintu. Ada sosok pria yang tingginya agak pendek dari Usamah. Pria itu terlihat sederhana dan seadanya. "Nah, Amel, ini adalah Riyadi. Pria yang hari ini akan ta'aruf sama kamu." Aku menatap sekilas lalu menunduk lagi. Jadi itu? Namanya Riyadi. Apa mungkin dia akan jadi suamiku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN