Kisah 3

1308 Kata
Sebelum pertemuan ini, aku sudah mempelajari dua biodata pria yang sedang duduk di depan kami. Usamah terlihat lebih tampan. Lebih rapi dari Riyadi yang tampil lebih santai. Rambut Usamah tersisir rapi dengan kacamata minus bertengger di hidungnya. Sedangkan Riyadi sendiri memakai kaos polos biru dan celana jeans. Rambutnya ikal. Dia memakai topi dan baru dibuka saat pria itu sudah duduk di samping Usamah. Ustadz Gigis membuka prolog proses ta'aruf ini. Meski sebelumnya sudah saling melihat biodata tapi bertemu secara langsung memang sedikit berbeda. "Nah, sekarang ke Usamah dulu, bagaimana menurutmu? Apa sudah ada kecocokan?" tanya Ustadz Gigis. Usamah terlihat senyum. "Insya Allah saya cocok, Ustadz. Rosie kan?" Rosie menyenggol lenganku dengan sikutnya. Dia tersenyum menahan malu. "Dia cocok, Ros!" bisikku. Rosie makin salah tingkah. "Kalau Rosie sendiri bagaimana? Cocok?" tanya Ustadz Gigis. Bukannya jawab, Rosie malah senyam senyum lagi. "Diamnya anak gadis pertanda persetujuannya." Ustadzah Rina ikut menimpali. "Alhamdulillah! Baiklah, sekarang kamu Riyadi. Bagaimana menurut kamu? Ada kecocokan dengan Amelia?" Ustadz Gigis beralih ke Riyadi. "Saya sih sangat cocok, Ustadz." Riyadi menjawab dengan sangat tegas dan yakin. "Masya Allah. Kalau Amel sendiri bagaimana?" Aku tidak langsung menjawab. Senyum kayak Rosie juga enggak. Takut disangka cocok beneran. Ya kan aku juga perlu berpikir sebentar. "Ekhm." Aku berdehem kecil sebelum menjawab. Suasana di ruangan sangat hening. Semua mata tertuju padaku. "Mel, kamu sukses bikin Riyadi tegang tuh, haha!" Ustadz Gigis berseloroh. "Haha, iya ih, jawab, Mel! Atau diam berarti setuju?" Lagi-lagi Ustadzah Rina ikut menimpali. "Begini, menurut saya pernikahan itu kan buat seumur hidup. Jadi saya rasa tidak cukup hanya mengenal di biodata lalu langsung menikah. Saya butuh waktu untuk mengenal lebih jauh." "Saya mengerti. Apalagi usia kamu masih sangat muda. Bismillah, semoga Allah mudahkan niat kita." Riyadi menjawab ucapanku. Dari gayanya beneran ngerti agama gak sih dia? Kalau melihat biodatanya sih dia bukan jebolan pesantren. Dia lulusan S1 fotografi. Tidak ada jejak dari pesantren sama sekali. "Amin, ya rabbal alamiin." Terdengar jawaban serentak dari semua orang di ruangan ini. Perkenalan selanjutnya hanya berkisar tentang aktivitas sehari-hari dan keluarga. Sekitar satu jam proses perjodohan ini berlangsung. Setelahnya aku dan Rosie pamit pulang lebih dulu. "Mel, menurut kamu gimana aku sama Mas Usamah, cocok gak?" tanya Rosie saat kami sudah naik angkot menuju perjalanan pulang. "Ya aku gak bisa mastiin lah. Kan kalian baru kenalan. Tapi kalau dari gestur sih kayaknya cocok." Wajah Rosie sumringah, "Wah, semoga saja berjodoh ya?" "Hm, amin." "Kamu sendiri udah merasa cocok sama Mas Riyadi?" Aku diam sejenak. "Gimana ya? Ya cocok gak cocok sih sebenernya. Aku belum tahu pasti tentang karakter aslinya." "Mas Riyadi kulitnya putih lho, kayaknya dia pria lembut dan penuh kasih sayang." Aku hanya tersenyum. Jujur aja sih, sebenarnya ada sedikit rasa gak enak hati. Aku mengambil langkah ta'aruf ini akibat rasa sakit hati ditinggal nikah sama Heri. Huft. Apakah proses ini akan berlanjut ke pernikahan? Kondisi hatiku belum sepenuhnya lepas dari Heri. Tapi aku sudah kepalang nyebur. Mau bagaimana lagi, semoga saja ini jalan terbaik. *** Hari yang paling ditunggu itu akhirnya tiba. Setelah tiga tahun mengenyam pendidikan di pesantren ini, akhirnya bisa menghirup nafas lega setelah mendapatkan surat kelulusan. Dan hari ini adalah hari bersejarah untuk aku dan teman seangkatan. Prosesi perpisahan berlangsung dengan sangat khidmat. Tak terasa air mata meleleh mengingat semua kenangan di pesantren ini. Banyak pengalaman hidup yang aku dapatkan di sini. "Mel!" Seseorang datang menghampiriku saat acara sudah selesai. "Dani?" sapaku. Ya dia ketua kelas kami. Tinggal di Bandung. "Sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan sama kamu." ucap pria itu sambil menggaruk tengkuknya. "Ada apa?" tanyaku lagi. Dani tampak celingukan. "Jangan di sini. Kita duduk di sebelah sana." Dani menunjuk ke bangku panjang di depan kelas yang kosong. "Boleh." Aku mengikutinya. Tumbenan dia mau ngobrol agak terpisah dengan yang lain. Biasanya anak ini sangat membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Aku jadi penasaran, apa yang akan dia katakan? Setelah duduk, Dani terlihat menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Hari ini aku mau pulang ke Bandung. Menimba ilmu lagi sampai selesai S1. Um, aku harap kamu mau menungguku." Aku mengerutkan kening, "Maksud kamu?" "Eh, itu, anu, sebenarnya aku sudah lama menyimpan ini. Aku ingin kelak kita bisa hidup bersama membangun rumah tangga di masa depan. Tapi karena aku merasa belum pantas, jadi aku ingin kamu bersedia menungguku sampai aku sukses dan datang lagi padamu." Aku gak bisa ngomong lagi. Dani? Anak paling alim di kelas? Ketua OSIS? Ketua kelas juga? Hah? Ini gak bercanda kan? "Dan! Ayo, keburu hujan!" Seseorang memanggil. Ternyata ibunya Dani yang memanggil. Belum sempat aku menjawab, Dani keburu pergi. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Lah, aku mau bilang jika aku sedang proses ta'aruf dengan seseorang. Ya sudahlah. Semoga saja dia bertemu wanita lain dan segera melupakanku. Drttt! Ponselku bergetar. Aku melihat layar. Mas Riyadi. Sebenarnya dia rajin menghubungiku sejak perkenalan itu. Aku jawab seperlunya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau terburu-buru. Apalagi ini belum satu bulan sejak proses ta'aruf kami. Riyadi : Selamat ya, hari ini kamu sudah lulus. Me : Iya, Mas. Terimakasih. Riyadi : Oh ya, keluargaku ingin silaturahmi ke rumah kamu. Apa boleh? Me : Kapan? Riyadi : Lusa. Tidak apa-apa kan? Me : Aku bilang ke orang tua dulu. Waduh, aku belum bilang apapun sama Emak dan Bapak. Kalau tiba-tiba Mas Adi datang dengan membawa keluarganya sudah pasti keluargaku kaget. "Mel, ayo pulang!" Bapak datang. Beliau baru selesai ngobrol dengan Pak Kiyai pimpinan pesantren ini. Begitu juga dengan Emak. Bagaimana caranya aku bilang ke mereka ya? Masa aku bilang akan ada pria yang datang? Selama perjalanan pulang, aku banyak diam. Berpikir keras bagaimana caranya memberi tahu kedua orang tuaku? Salahnya aku ikut proses ta'aruf tanpa bilang dulu. Kalau mereka marah bagaimana? "Mel, kok diam aja?" tanya Emak saat kami sudah sampai di depan rumah. "Sedih kali ditinggal pergi sama pacarnya, haha!" Rohil ikut nimbrung. "Heh! Aku gak pacaran ya! Enak aja!" Aku langsung nyolot. "Beneran lho, Mak, Pak! Tadi aku lihat Kak Amel ngomong berdua gitu sama cowok. Ganteng lho, haha! Aduh!" Aku mencubit lengan adik bawelku itu. Ups, jangan-jangan dia lihat aku sama Dani? "Ekhm, sebenarnya ada yang ingin aku katakan." Kepalang basah, mungkin aku ngomong aja. "Ada apa? Bapak lihat kamu sejak tadi banyak diam." "Um, sebelumnya aku minta maaf, sebenarnya aku sudah ikut proses ta'aruf dengan seorang pria." "Ha?! Lho, kok gak bilang?" Tuh kan, Emak langsung nyamber. Duh, kena marah deh. "Teruskan!" ucap Bapak. "Maafin aku, Mak. Tadinya sih iseng ya, eh ternyata pria ini sudah cukup umur. Dia berusia 26 tahun. Dan lusa mau ke sini sama keluarganya." "Ya ampun, Mel! Hal sebesar ini kamu gak bilang sama Emak dan Bapak? Lusa? Waduh!" Emak tampak sangat kaget. "Begini saja, kamu sudah cocok sama dia?" tanya Bapak. "Ya, gak tahu." "Ish, kamu ini yang tegas dong. Cocok apa enggak?" Emak ikut nanya. Makin bingung jadinya. "Iya deh." Walau dengan terpaksa akhirnya aku iya kan saja. "Bagaimana sifatnya?" tanya Bapak lagi. "Sejauh ini sih baik, Pak." "Ta'aruf dari mana, Mel?" Emak terlihat sangat penasaran. "Um, dari Ustadzah Rina." cicitku. "Oh, kalau itu sih Emak percaya. Gimana, Pak?" Emak beralih menatap Bapak. "Bismillah, semoga ini takdir terbaik dari Allah." jawab Bapak. "Tapi kamu yakin cocok sama dia? Terus dia juga cocok sama kamu?" Aku mengangguk pelan sambil meringis. "Oalah, kalau sudah cocok. Sekalian saja, ke sini buat lamaran. Buat apa datang ke sini tanpa tujuan yang jelas. Ya kan, Pak?" Waduh. Kok jadi begini sih? "Benar juga. Coba hubungi calon kamu. Sanggup gak kalau langsung lamaran?" Sungguh, respon yang di luar dugaan. Aku harus bilang apa ya ke Mas Adi? Tapi kedua orang tuaku langsung terlihat sibuk menghubungi anggota keluarga kami yang lain. Duh, kenapa jadi begini sih? Akhirnya aku mengumpulkan keberanian dan mengirim pesan ke Mas Adi. Me : Mas, mengenai silaturahmi itu, keluargaku malah menyuruh langsung lamaran. Gimana ya? Terkirim. Selagi Emak dan Bapak sibuk telponan, aku sendiri masih gelisah menunggu jawaban dari Mas Adi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN