Kisah 4

1050 Kata
Duh gimana ya, kok belum dibaca juga? Apa aku hapus saja? Tanganku hendak menghapus pesan yang aku kirim ke Mas Adi, sayangnya berbarengan dengan itu, warna centang pesan itu sudah berubah menjadi biru. Huft, pasrah saja gimana nanti. Tidak menunggu waktu lama, ponselku bergetar. Mas Adi membalas! Agak berdebar juga sih. Tapi aku sudah pasrah. Lagian aku juga hanya nyoba-nyoba. Kalaupun nanti kami bukan jodoh, ya tidak mengapa. Mas Adi : Oh gak masalah. Lagi pula kamu sudah lulus sekolah kan? Deg! Aku kaget. Dia gak masalah? Lha, bukannya kami baru kenal belum satu bulan? Me : Mas, emang gak masalah gitu? Ya takutnya Mas nanti nyesel pas udah nikah. (Terkirim) Mas Adi lama gak jawab. Haha, jadi berasa sedang uji nyali. Gimana ya iseng-iseng berhadiah kali. Mataku melebar saat satu pesan masuk lagi. Mas Adi jawab! Mas Adi : Kenapa harus menyesal? Saya sudah cocok sama kamu. Bukankah semua hal tentang kamu sudah lengkap di biodata yang kamu kirim? Aku tersenyum geli, iya juga sih. Me : Ya. Selepas itu aku gak menghubunginya lagi. Terserahlah mau gimana. Aku tidak peduli. Saat ini aku hanya berharap rasa sakit karena patah hati sama Heri bisa segera pulih. *** "Mel, kok calon kamu belum juga datang? Udah jam sembilan ini." Emak tampak gelisah sejak tadi. Beberapa keluarga turut diundang dalam acara ini. Bapak sendiri terlihat sedang merokok dengan tembakaunya di depan. Ada Mang Odik yang duduk bersama Bapak. Beliau diundang untuk menerima tamu saat proses lamaran. "Kan janjinya juga jam sembilan, Mak. Telat dikit mungkin karena macet." Aku menjawab dengan meringis. Gimana ya, aku juga agak cemas sih. Bukan takut gak jadi, tapi aku takut bikin malu Emak sama Bapak. Apalagi banyak keluarga yang hadir hari ini. "Macet gimana? Jarak rumahnya kan gak jauh? Kayak di Jakarta aja, acara macet-macetan." Emak tampak tak terima dengan alasanku. "Bentar lagi kayaknya, Mak." Bang Damar ikut menenangkan Emak. Tin tin! "Nah, kayaknya itu deh!" Rohil yang dari tadi anteng main ponsel langsung berdiri dan berlari ke depan. "Ya itu dia, sudah datang. Ayo, semua bersiap!" Bapak memberi instruksi. Semua keluarga besarku berdiri dan menyambut kedatangan keluarga Mas Adi. Ada sekitar sepuluh orang yang datang. Selesai beramah tamah, acara pun dimulai. Aku sendiri duduk berdampingan dengan Rosie. Sesekali si Rosie melihat ke arah Mas Adi. "Mel, Mas Adi lihatin kamu terus tuh! Hihi!" Rosie menyenggol lenganku. "Ish, diamlah! Aku malu, Ros!" Aku tidak berani menatap Mas Adi yang katanya sedang melihat ke arahku. Malu lah! Acara dilanjutkan dengan makan bersama. Sekitar pukul dua belas siang, keluarga Mas Adi akhirnya pamit pulang. "Amel!" Seseorang memanggil saat aku hendak ke dapur. Tadi baru makan sedikit. Malu lah kalau kelihatan makannya banyak, haha. "Lho, Mas? Belum pulang?" Aku kaget ternyata Mas Adi belum pulang. Pria itu tersenyum ke arahku. "Belum. Hanya ingin memastikan cincinnya cukup atau tidak?" tanyanya. Aku tersenyum kikuk. Aih, cincinnya tadi belum aku pakai. "Um, cukup kayaknya, Mas." Pria itu mengerutkan keningnya, "Kok gak yakin? Kamu belum pakai ya?" Tatapan pria itu mengarah ke tanganku. Ups, ketahuan deh! Aku mencoba untuk tersenyum tenang. "Ah ini. Tadi aku pakai sih, Mas. Tapi aku lepas dulu soalnya mau bantu Emak mencuci piring dulu." Pria itu tersenyum, "Oh begitu. Kamu cukup apik juga ya? Takut cincinnya lepas ya?" Aku tersenyum garing. "Ah, begitulah." "Mel, kenapa berdiri di situ? Ajakin Mas Adi duduk dong!" Emak datang dengan senyum hangatnya. Hari ini baik Emak ataupun Bapak terlihat sangat bahagia. "Ah, iya, Mak. Mas duduk di kursi aja ya?" "Ah, tidak usah. Aku hanya mau tahu daerah sekitar sini. Apa boleh?" tanyanya. "Maksudnya?" "Um, itu. Kamu mau antar aku keliling kampung ini kan? Tadi di jalan sempat melihat banyak pesawahan yang indah di sini." Sebelum menjawab, aku melirik ke arah Emak. Ya jujur saja, aku dibesarkan di pesantren selama 3 tahun. Jalan bersama pria terbilang cukup tabu bagiku. "Jaga anak Emak ya, Adi?" Akhirnya Emak memberikan izin. "Oh tentu saja, Mak. Amel adalah calon istri saya. Tentu saja akan saya jaga dengan baik." "Balikin utuh ya, Adi? Jangan ada cacat sedikit pun!" Bapak ikut nimbrung dengan nada bercanda. "Wah, tentu saja, Pak. Jangan khawatir." Sebenarnya aku agak risih juga sih. Gimana ya? Sebenarnya aku belum ada rasa sama pria ini. Tapi berhubung sekarang sudah terlanjur jadi aku harus pura-pura nyaman dan mau sama dia. Terlebih orang tuaku tampaknya sudah sangat percaya sama Mas Adi. "Ya udah, aku pergi dulu ya, Mak, Pak!" Aku mencium punggung tangan Bapak dan Emak. "Awas jangan pacaran ya!" Rohil ikut nimbrung. "Anak kecil dilarang ikut campur!" ucapku. Gadis kecil itu hanya cengengesan. Mas Adi mengajakku naik ke mobilnya. Tadinya aku berniat duduk di belakang, tapi Mas Adi malah menyuruhku duduk di depan. Ini pertama kalinya kami jalan hanya berdua. Sebelumnya pasti ada yang menemani. "Kamu beneran cocok kan sama aku?" Mas Adi membuka percakapan. "Ya, bismillah aja, Mas." "Oh ya, kamu pernah pacaran gak sebelumnya?" tanya Mas Adi lagi. Aku menggeleng, "Tidak." Kami diam lagi. Aku lihat Mas Adi tersenyum tipis. "Sepertinya aku pria beruntung hari ini." ucap pria itu. "Semoga saja." jawabku. Mobil melaju perlahan memasuki area persawahan. Selanjutnya adalah kebun teh yang sangat luas. Tengah hari begini jalan sepi. Beberapa petani juga nampak berteduh di gazebo seadanya. Mobil Mas Adi berhenti di pinggir jalan. "Aku mungkin bukan pria yang faham agama. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan kamu, Amelia." "Iya, Mas. Saya juga bukan gadis sempurna. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan." Kami saling diam lagi. "Kamu tahu, Mel? Sepertinya kamu adalah jawaban dari doaku. Aku berdoa agar dapat istri yang cantik, pintar dan baik. Kamu adalah jabawannya." Aku tersenyum kaku. Duh, kok malah menggombal begini sih? "Ekhm, Mas jangan berlebihan." "Iya, Mel. Bahkan aku senang saat mendengar kalau kamu belum pernah pacaran sebelumnya. Ini artinya aku yang pertama buat kamu kan?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk. Kalau hubungan memang yang pertama. Tapi masalah hati, yang pertama masih tetap Heri. Bagaimana kabar pria itu ya? Dia pasti sedang berbulan madu dengan istrinya. Heri, kenapa aku harus jatuh cinta pada pria yang mustahil jadi milikku? Deg! Aku kaget saat tiba-tiba ada tangan lain yang memegang jemariku. Pandanganku yang semula tertuju pada hamparan kebun teh di luar sana, beralih ke samping. "Amelia, bolehkah?" Suara serak milik pria yang beberapa jam lalu melamarku membuat aku terkejut. Dia minta izin untuk apa? Kenapa tatapannya mengarah ke bibirku?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN