Regan membayangkan getaran jemari Venus yang sempat dilihatnya tadi. Itu bukan hanya sekedar takut atau panik menghadapi situasi biasa, Venus terlihat sakit. Bahkan obat yang dikonsumsinya? Itu bukan obat biasa yang bisa dijumpai di apotek biasa. Itu obat khusus.
Regan harus mencari tahu apa yang terjadi pada wanita itu setelah bercerai dengannya, sebab selang beberapa bulan setelah mereka resmi berpisah Regan justru memutuskan untuk pindah ke luar Negri.
Sebut saja Regan melarikan diri, sebab ia sangat menyesali perbuatannya dan lebih memilih meninggalkan segalanya, termasuk Venus.
Kepergiannya dengan tujuan supaya bisa melupakan Venus, tapi ternyata tidak. Regan tidak bisa melupakan Venus, ia tidak pernah melupakan Venus.
Regan tahu itu setelah ia menyerah menjalani hubungan dengan Fanya mantan kekasihnya dulu, dan Regan tidak pernah benar-benar bisa melupakan Venus.
Esok paginya, Regan sengaja datang ke apartemen milik Venus untuk memastikan kondisinya. Pagi sekali ia sudah berada di lobi dengan secangkir kopi di tangannya.
Tepat pukul tujuh pagi, Venus terlihat keluar menuju area parkir dimana mobilnya berada. Wanita itu terlihat baik-baik saja, padahal kemarin dia begitu panik dan ketakutan.
"Vee," Regan menghampiri Venus dan wanita itu langsung menoleh ke arahnya.
Keningnya mengerut seolah mengisyaratkan ia tidak senang melihat keberadaannya.
"Vee, kamu baik-baik saja?" Regan memang ingin memastikan keadaannya, jujur saja ia begitu khawatir dengan kondisi Venus.
"Baik." Jawabnya singkat, seperti biasanya.
"Aku ingin memastikan kondisimu. Aku khawatir."
"Kondisiku baik, kamu tidak perlu khawatir." Venus hendak masuk kedalam mobilnya, tapi Regan kembali menahan pintu dengan cepat.
"Vee," tahannya.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkan ku dan maaf aku sudah merepotkanmu kemarin." Venus menatap tegas ke arah Regan.
"Kita bisa berangkat bersama, Vee."
"Kita memiliki tujuan yang berbeda, tidak bisa satu mobil bersama. Maaf," Venus mendorong pelan tangan Regan agar melepaskan cengkraman pada pintu mobilnya.
"Aku harus berangkat terlebih dulu." Lanjutnya. Akhirnya Venus berhasil melepaskan tangan Regan dan menutup pintu mobilnya dan tanpa menunggu lama ia segera bergegas pergi menuju kantor. Sebelum benar-benar pergi, Venus sempat melirik ke arah kaca spion dan melihat Regan masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian Venus. Kenapa lelaki itu sudah mengacau sejak pagi?
"Terima kasih." Venus meraih gelas kertas berisi kopi yang disodorkan Mega. "Aku butuh ini, ngantuk banget."
Mega meringis. "Aku juga ngantuk banget, tapi aku butuh pemandangan indah untuk mengusir ngantuk."
"Pemandangan indah? Liburan maksudmu?" Venus menegakkan punggungnya yang terasa pegal.
"Nggak harus liburan cukup lihat cowok bening aja, misalnya Pak Regan gitu," Mega menunjuk dengan dagunya ke arah lain diikuti oleh Venus dan menemukan Regan tengah berjalan beriringan bersama Pak Fadli dan Bu Santi. Regan sempat melirik ke arah Venus dan tersenyum samar, tapi Venus langsung menundukan kepalanya seolah tidak melihatnya.
"Pekerjaan kamu sudah selesai?" Venus mengalihkan perhatian Mega yang masih saja menatap ke arah Regan hingga sosok lelaki itu menghilang di balik pintu ruang kerjanya.
"Sudah. Eh, Mbak Vee tau nggak Pak Regan itu duda. Duda emang lebih menggoda ya?" Mega tidak menunggu jawaban Venus karena ia kembali melanjutkan. "Sudah punya pacar belum ya? Kayaknya belum,"
"Nggak mungkin cowok ganteng nganggur, kan?" Balas Venus. Awalnya ia tidak ingin menanggapi, tapi sepertinya harapan Mega harus segera dipadamkan, sebab bisa saja Mega berharap lebih pada sosok Regan. Kasihan Mega.
Status duda yang disandang Regan saat ini tidak menyurutkan keinginan pada wanita untuk mendekatinya. Paras tampan, mapan dan memiliki segalanya merupakan paket lengkap untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Termasuk Venus, tapi itu dulu. Saat ini ia tidak akan mudah terpedaya oleh pesona lelaki bernama Regan Mahendra.
"Perempuan seperti apa yang bisa menarik perhatiannya?"
Fanya, batin Venus. Hanya Fanya yang bisa menarik perhatian Regan. Mega tidak mengenal sosok wanita itu, begitu juga dengan Venus. Ia hanya mengenalnya secara singkat, tidak secara pribadi ataupun memiliki hubungan pertemanan.
"Desain yang kamu buat sudah selesai? Aku mau lihat." Venus mengalihkan pembicaraan dengan sengaja.
"Sudah. Tunggu sebentar, biar aku bawakan." Mega kembali ke meja kerjanya untuk mengambil desain yang dikerjakannya beberapa waktu lalu.
"Pak Fadli sudah oke, tinggal Pak Regan yang belum. Mungkin setelah jam makan siang, aku akan memberikan ini padanya."
Venus menganggukan kepalanya.
"Desainnya sudah mendekati sempurna semoga nggak ada perubahan lagi. Capek banget ngerjain berulang." Keluh Mega.
"Tapi lelaki sempurna selalu ingin yang terbaik untuk dirinya, apalagi untuk urusan tempat tinggal, pastinya Pak Regan mau yang terbaik karena akan ditempatinya bersama keluarga kecilnya nanti."
"Tampang ganteng nggak menjamin apa-apa,"
"Ya ampun! Akhirnya Mbak Vee mengakui juga kalau Pak Regan ganteng." Mega memotong ucapan Venus dan langsung memasang wajah terkejut yang dibuat-buat.
"Udah sana, balik ke meja kerjamu." Usir Venus, sementara Mega hanya terkikik geli. Venus bukan hanya mengakui ketampanan Regan, tapi segalanya yang ada dalam diri lelaki itu. Bagaimana ia memperlakukannya dengan baik, saat mencium, menyentuh bahkan saat keduanya mencari kepuasan di atas ranjang. Semua itu begitu memabukkan.
"Ya ampun!" Venus memukul keningnya sendiri karena berani-beraninya membayangkan kejadian beberapa tahun lalu.
Mungkin saja saat itu Regan bukan menikmati penyatuan mereka, tapi justru menikmati wajah Venus yang terlihat begitu menjijikkan karena terjebak dengan mudah dalam permainannya.
"Aku bingung sama kamu Vee, kenapa betah di ruangan sesak dan berantakan seperti ini?" Bu Santi datang tanpa permisi bahkan langsung memungut plastik bekas permen yang beberaoa jatuh ke lantai. Tidak sengaja karena Venus belum sempat membersihkannya.
"Jatuh sendiri, Bu." Venus meringis pelan.
"Lama-lama meja kerjamu ini bisa jadi sarang kecoa!" Masih dengan omelan khasnya, Bu Santi memunguti plastik kecil yang berceceran di lantai.
"Suruh Mang Ujang bersihkan ruang kerjamu kalau tidak sempat. Jangan biarkan kotor seperti ini, kamu mau punya suami brewokan?"
Venus tersenyum. "Brewokan asal baik dan bukan pembohong Bu,"
"Bisa aja jawab kamu ya! Udah bersihinnya nanti aja, sekarang kita ke lokasi proyek. Ada sedikit masalah disana. Saya tunggu di parkiran, buruan!" Bu Santi memasukan sampah di tangannya kedalam bak sampah, beruntung hanya sampah kering berupa kertas dan bungkus permen. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengambil tissue basah dari atas meja kerja Venus untuk membersihkan tangannya.
Setelah kepergian Bu Santi beberapa menit, barulah Venus segera menuju area parkir. Ia mencari Bu Santi atau Pak Fadli, tapi keduanya tidak ada.
"Kemana mereka?" Gumam Venus pelan, saat ia hendak mengambil ponsel dari dalam tas kecil miliknya, tiba-tiba saja sebuah mobil mendekat.
"Kamu ikut saya, Pak Fadli dan yang lain sudah duluan." Kaca mobil terbuka dan Regan muncul dari balik jendela mobil.
"Saya bisa pakai mobil sendiri." Tolaknya dengan sopan.
"Nggak ada waktu lagi Vee, jalanan macet jam segini pasti akan terlambat sampai kesana."
Venus masih memikirkan ajakan Regan.
"Ayo, yang lain udah di jalan!" Ajaknya lagi.
Baiklah, hanya sebentar saja. Hanya sampai lokasi proyek. Tidak lama.
Venus meyakinkan diri sebelum akhirnya ia masuk kedalam mobil Regan.