Bagian 1. Sabrina Abraham
"Eh, bule kampung! Ke sini kamu."
Langkah kaki Sabrina yang saat ini sedang mendorong peralatan bersih-bersihnya langsung terhenti ketika mendengar suara seseorang yang memanggilnya.
Sabrina Abraham yang saat ini dikenal dengan nama Sabrinawati atau kerap dipanggil Rina, langsung menolehkan kepalanya melihat seorang wanita paruh baya tengah berkacak pinggang sambil melotot padanya.
Sabrina kembali mendorong gerobak mini ke arah wanita yang kini sedang berkacak pinggang di hadapannya.
"Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Sabrina bertanya dengan suara medok miliknya. Perempuan 22 tahun bertubuh mungil itu mendongakkan kepalanya sedikit menatap wanita dengan tubuh besar di hadapannya.
"Kamu bantu bersih-bersih di ruang jenazah. Nanti dibantu sama Firman. Ingat, di sana kamu jangan berbuat m***m. Di situ tempat mayat keluar masuk dan ada hantunya," ujar wanita itu.
"Bersih-bersihnya sekarang apa besok, Bu?" Sabrina menatap polos pada wanita di depannya.
"Besok! Kalau kamu nggak bisa besok, tahun depan bisa!" Suara wanita yang tidak lain adalah Bu Dina meninggi sambil melotot pada Sabrina.
Apakah perempuan di hadapannya ini bodoh, sampai-sampai tidak tahu jika kebutuhan untuk membersihkan ruang jenazah adalah hari ini bukan besok ataupun lusa, pikir Bu Dina kesal.
"Iya, Bu. Saya akan bersihkan hari ini dengan Firman." Sabrina menundukkan kepalanya sambil memegang peralatan bersih-bersih yang dibawanya sejak tadi.
Bu Dina mendengus. Sebagai kepala kebersihan tentunya sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memastikan jika kondisi di rumah sakit sangat bersih. Jika ada komplain dari pasien ataupun keluarga pasien, tentu ia akan mendapat teguran. Maka dari itu Bu Dina selalu keras pada bawahannya agar mereka bisa menghargai pekerjaan mereka.
"Ssst, Rin."
Sabrina yang akan melangkah pergi menuju ruang jenazah menghentikan langkahnya saat mendengar suara seseorang memanggilnya. Gadis itu menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya saat melihat teman satu profesinya yang berada tak jauh darinya.
"Kenapa, Mbak Riyanti? Mbak mau ajak aku makan siang? Aduh, kayaknya aku ndak bisa. Soalnya aku harus bersih-bersih ruang jenazah." Sabrina langsung menolak, sambil menggelengkan kepalanya dengan wajah menyesal.
"Kamu ini makan terus yang kamu bilang. Aku tidak ada niat untuk ajak kamu makan siang. Aku mau minta tolong sama kamu, boleh?"
Perempuan bernama Riyanti itu memegang perutnya sambil bergerak gelisah di tempat, membuat Sabrina mengerut keningnya.
"Kenapa toh Mbak? Mbak Riyanti kenapa seperti cacing kepanasan gitu?" Sabrina bertanya dengan nada heran.
"Aku minta tolong sama kamu, belikan makan siang buat dokter Abraham. Perut aku sakit banget. Aku tidak bisa pergi mencari makan siang untuk dokter Abraham. Kamu tahu sendiri kalau dokter Abraham itu cerewet. Takutnya aku telat, terus aku bakalan dimarahi." Riyanti berkata panjang lebar menatap Sabrina dengan melas. "Tolong ya, bisa tidak kamu jalan? Ruang jenazahnya bisa nanti-nanti, kok. Lagian juga jenazah di dalam sana tidak akan kabur, kok."
"Mau tidak kamu menolongku?" Riyanti sekali lagi memasang wajah melas. "Janji deh, nanti aku bakalan bantu kamu buat bersih-bersih ruang jenazah. Bagaimana?"
Tidak tega melihat wajah melas Riyanti, akhirnya Sabrina setuju.
Gadis itu meletakkan alat-alatnya terlebih dahulu ke ruang jenazah baru kemudian pergi mencari makanan yang sudah disebutkan oleh Riyanti untuk dibeli di restoran tak jauh dari rumah sakit.
Masih mengenakan seragam office girl, perempuan cantik itu menyeberang jalan mencari restoran yang disebutkan.
Wajahnya yang seperti bule tentu menarik perhatian para pejalan kaki karena tidak menyangka bisa melihat bule di tengah keramaian Ibukota dengan seragam office girl.
"Eh, Mbak, Nganu, aku diminta sama dokter Abraham untuk beli makanan di sini. Ini menunya tolong dibungkus karena nanti aku yang bakalan bawa ke rumah sakit lagi."
Kasir yang menunggu di balik meja sempat tertegun melihat kehadiran Sabrina yang kulitnya sangat putih dengan rambut hitam. Ekspresi wajah kagumnya berubah saat mendengar suara medok milik Sabrina.
"Lha, aku kira tadi bule beneran. Tidak tahunya, casing-nya aja yang bule," ujar kasir tersebut.
"Memang banyak yang bilang kalau saya ini bule cantik, Mbak. Eh, ada pula yang bilang saya bule kampung. Macam-macam orang bilang tentang saya," ujar Sabrina. Tidak merasa sakit hati sama sekali mendengar celetukan dari kasir yang sedang bertugas.
"Aduh, Mbak. Aku tidak bermaksud untuk menyinggung. Maaf sekali lagi ya?" Tersadar dengan apa yang sudah dilakukannya, kasir langsung menggeleng kepalanya dan meminta maaf dengan tulus.
"Ndak apa-apa toh. Namanya juga tidak kenal langsung, wajar aja." Sabrina tersenyum. Gadis itu kemudian segera duduk menunggu pesanan datang yang sudah disiapkan oleh pihak restoran.
Sabrina duduk di tempat yang biasa digunakan untuk menunggu pesanan take away.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan dengan satu bed yang biasa digunakan untuk memeriksa pasien, seorang wanita tua kini tengah melotot pada cucunya.
"Abraham, kalau tidak sekarang, kapan lagi kamu akan menikah? Sudah benar kamu menikah dengan Joanna, dia cantik dan wanita berkelas. Oma yakin, kamu pasti akan merasa bangga dan bahagia punya istri dari kelas atas," kata wanita tua itu pada cucunya.
"Kelas atas mana, Oma? Atas langit atau atas genteng?" Abraham santai membalas ucapan oma-nya.
Wanita tua di hadapannya ini sangat repot untuk menemukan jodohnya. Padahal ia masih ingin bersantai menikmati masa lajangnya.
"Oma serius!" Wanita tua yang biasa dipanggil Oma Warti langsung menggebrak meja, membuat Abraham terperanjat dari tempat duduknya.
Pria 32 tahun itu mengusap dadanya yang berdebar kencang
"Oma apa-apaan 'sih? Sudah aku katakan kalau aku tidak ingin menikah buru-buru." Abraham akhirnya fokus menatap wanita tua di hadapannya.
"Kamu sudah 32 tahun. Kamu bayangkan, 13 tahun lagi kamu sudah berumur 50 tahun, sudah tua, dan lewat dari 50 tahun itu kamu pasti sudah sakit-sakitan. Makanya kamu harus segera menikah. Memangnya kamu mau menikah sudah tua, terus anak-anakmu nanti dibilang cucumu?" Oma Warti sekali lagi melotot pada Abraham.
"Oma, aku sedang tidak memikirkan untuk pernikahan. Aku akan menikah, kalau aku sudah memutuskannya. Ini tidak bisa direncanakan. Jadi, buang saja Joanna itu ke laut karena aku tidak tertarik dengan wanita berdada besar itu."
"Abraham!"
Wanita tua itu berteriak kesal dengan cucunya yang sembarangan mengatakan hal vulgar di hadapannya tentang seorang wanita.
Tak lama kemudian, Abraham menghubungi office girl yang dimintanya untuk membeli makan siang.
"Halo! Di mana kamu ini? Saya sudah 1 menit lebih menunggu makan siang tapi belum datang-datang juga." Abraham langsung bertanya setelah panggilan diangkat.
Nada suaranya sengaja ia tinggikan untuk meredam suara omelan Omanya.
"Maaf, Pak, saya lagi di kamar mandi sekarang. Perut saya sakit. Teman saya yang saya suruh buat beli makanan buat bapak. Jadi, tunggu 1 menit setengah lagi."
Abraham segera berdiri. "Kamu bilang apa tadi? Di mana kamu sekarang?"
"Ada di toilet, Pak. Lagi buang air besar." Suara Riyanti diiringi suara batuk dan juga satu suara lainnya yang membuat Abraham membelalakkan matanya.
"Riyanti! Kamu kentut?"
Beruntung ruangan tempat di mana Abraham saat ini berada adalah ruangan kedap suara hingga meskipun suaranya melengking, tidak cukup sampai keluar ruangan. Paling-paling Oma Warti yang saat ini sedang mengusap dadanya karena mendengar suara teriakan cucunya yang melebihinya.