Abraham Smith, 32 tahun, berprofesi sebagai dokter. Abraham tercatat sebagai pria muda dengan kekayaan fantastis. Bagaimana tidak, dia terlahir dari keluarga kaya raya, dengan perusahaan yang memiliki banyak cabang.
Tidak hanya itu saja, Abraham juga bermain saham yang membuat kekayaannya semakin meningkat.
Pria 32 tahun itu sudah didesak oleh Omanya untuk segera menikah sementara dirinya sendiri tidak ada niat untuk menikah. Baginya, wanita hanyalah momok menakutkan yang penuh dengan drama.
Abraham bisa mengatakan hal demikian karena ia sudah terlalu malas untuk bertemu dengan banyak jenis perempuan yang salah sehingga memutuskan untuk tidak menikah saja.
Sayangnya, wanita tua yang mulutnya ingin sekali disumpal pakai tisu ini terus mendesak agar ia segera menikah.
"Terus kalau aku sudah menikah, Oma bakalan minta cicit 'kan? Setelah minta cicit pertama, bakalan minta lagi cicit kedua? Oma, Oma bisa memaksa Adam atau Aaron. Kenapa harus terus mendesakku?"
Abraham memijat pelipisnya. Benar-benar tidak terima wanita tua ini selalu saja mendesaknya untuk menikah. Sementara kedua Kakak kembarnya yang berusia 34 tahun belum ada kepikiran untuk menikah sama sekali.
"Oma tidak berani kalau bilang sama Aaron dan Adam secara langsung. Oma mau kamu yang menikah." Paksaan Oma Warti masih terdengar dari nada bicara wanita tua itu.
Sayang sekali, Abraham tidak peduli.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu, membuatnya segera berteriak mempersilakan sang pengetuk untuk masuk. Lega rasanya ia bisa mendapatkan tamu di saat omanya ada di sini. Jika tidak, bisa stres berkepanjangan mendengar segala macam ocehan Omanya yang memang tiada habis.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita dengan tampang bule masuk ke dalam membawa sebuah paper bag.
"Permisi, Pak dokter. Saya disuruh sama Mbak Riyanti buat antarkan makanan ini ke Pak dokter."
Perempuan muda yang tidak lain adalah Sabrina melangkah masuk kemudian berdiri di depan meja dokter Abraham.
Sementara dokter Abraham tercengang karena baru pertama kali melihat perempuan dengan pakaian office girl bertampang bule seperti di hadapannya ini.
"Kamu pekerja di rumah sakit ini?"
"Iya, Pak dokter. Saya bukan pasien di sini." Sabrina menjawab dengan nada polosnya.
Oma Warti segera berdiri. "Ya ampun, medok sekali nada bicara kamu. Kamu bule dari desa? Kirain bule dari luar negeri," komentar Oma Warti.
Wanita tua itu dulu entah bagaimana bisa mendapatkan jodoh seorang pria berkebangsaan Inggris yang sudah menjadi suaminya. Kemudian, melahirkan dua orang anak laki-laki dan salah satunya adalah Papanya Abraham.
Adnan Smith, pria itu menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Cina dan bercerai setelah berhasil memberikan 3 orang anak laki-laki padanya.
Sabrina tersenyum menatap wanita tua itu. Tidak membalas kalimatnya karena memang harus membalas dengan apa, ia juga tidak mengerti.
"Kamu OG baru? Sepertinya Saya baru melihat kamu." Abraham mengambil paper bag di hadapannya sambil menatap Sabrina.
Pertama kali wanita itu masuk ke dalam ruangannya, sejujurnya Abraham sedikit terpesona. Jantungnya berdebar agak kencang, namun hanya beberapa detik saja. Abraham juga tidak mengerti mengapa reaksi tubuhnya seperti itu.
"Iya, Pak Dokter. Saya baru 2 bulan bekerja. Itupun ditugaskan di bagian belakang," sahut Sabrina.
"Abraham, Kamu tidak usah berbicara dengan dia. Level kamu bakalan turun kalau kamu berbicara dengan dia. Tidak penting sama sekali," ujar Oma Warti pada cucunya.
Orang-orang kampung dan norak adalah hal yang paling dibenci oleh Oma Warti. Pasalnya, dulu ia juga berasal dari desa dan membuatnya enggan untuk mengingat. Beruntung kehidupannya sekarang sudah baik-baik saja karena menikahi pria kaya yang dulu sangat mencintainya.
"Oma tidak boleh berbicara seperti itu. Jangan membeda-bedakan kasta hanya karena dia adalah seorang office girl." Abraham memberi peringatan pada Omanya. Namun wanita itu hanya mendecih sinis dengan wajah angkuh yang membuat Abraham akhirnya menemukan sebuah ide brilian di dalam pikirannya.
"Ah, bukankah Oma ingin aku segera menikah? Kalau begitu, minggu depan aku akan menikah." Abraham tiba-tiba berbicara membuat Oma Warti segera menatapnya tak percaya.
"Bagaimana kamu bisa menikah sementara kamu sendiri tidak punya pacar. Apa kamu berniat untuk menerima perjodohan dengan Joanna? Kalau seperti itu, Oma pasti akan senang. Joanna berasal dari keluarga kaya raya, dia juga seorang model dan publik figure. Kamu tidak akan malu dan menyesal ketika menikah dengan dia." Nada suara Oma Warti terdengar bersemangat.
"Oma tunggu saja. Minggu depan aku sudah berstatus sebagai seorang suami."
Abraham tersenyum penuh arti.
"Baiklah kalau begitu. Oma akan mempersiapkan pernikahan kamu mulai dari sekarang. Oma akan memberitahu keluarga Joanna dulu. Tidak perlu pakai acara lamaran, langsung menikah saja."
Menurutnya terlalu lama kalau harus membahas soal lamaran mengingat cucunya tiba-tiba saja mau menikah minggu ini. Jika harus mempersiapkan segala sesuatunya, takut Abraham akan berubah pikiran.
"Kalau begitu Oma harus pergi dan memberitahu Joanna. Oma akan memastikan kamu akan menikah minggu ini. Juga akan memastikan kamu pasti akan bahagia dengan pernikahan kamu."
Abraham hanya menganggukkan kepalanya. Oma Warti lalu berbalik pergi setelah melemparkan tatapan sinisnya pada Sabrina yang sejak tadi diam saja karena belum diizinkan untuk pergi.
"Kamu duduk dulu," ujar Abraham pada Sabrina.
Abraham tidak jadi membuka paper bag berisi makanan. Pria itu lebih fokus menatap wajah cantik Sabrina. Belum lagi kulitnya yang sangat putih dengan rambut panjang.
"Siapa nama kamu?"
"Saya? Kalau saya biasa dipanggil teman-teman di sini Rina." Sabrina menjawab.
"Nama panjang kamu?"
"Sabrina Abraham."
"Tidak sopan." Abraham memasang wajah tegasnya. "Kamu harus memanggil saya dengan sebutan 'Pak, Mas, atau Dokter' dan tidak boleh langsung panggil nama. Mau bagaimanapun, kelihatannya saya yang jauh lebih tua dari kamu."
Sabrina mengernyit. "Kapan memangnya saya manggil pak dokter dengan sebutan nama aja? Perasaan dari tadi saya panggilnya Pak dokter." Sabrina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, terlihat kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh dokter di hadapannya.
"Tadi kamu sebutnya, Sabrina, Abraham. Itu tandanya kamu menyebutkan nama kamu, terus menyebutkan nama saya. Padahal baru keluar dari mulut kamu, kenapa tidak ingat? Kamu masih muda, kok bisa kena penyakit pikun?" Abraham berceloteh panjang lebar menatap Sabrina yang masih menampilkan wajah polosnya.
"Tadi Pak Dokter menanyakan nama saya. Terus saya jawab kalau nama saya adalah Sabrina Abraham. Nama belakang saya memang mirip dengan nama pak dokter."
Segera Abraham merapatkan tubuhnya pada meja dan menatap lekat wajah Sabrina.
"Berarti nama belakang ayah kamu juga Abraham?"
Sabrina menggelengkan kepalanya. "Itu nama mantan pacar nenek saya yang dikasih ke nama belakang saya, Pak Dokter."
Mulut Abraham menganga lebar mendengar alasan mengapa ada nama Abraham di belakang nama Sabrina.
Tanpa sadar pria itu bertepuk tangan. "Bagus. Nenek kamu tidak berjodoh dengan pria bernama Abraham, tapi kamu yang akan berjodoh dengan pria yang bernama Abraham."
"Masalahnya, saya belum menemukan jodoh, Pak Dokter."
"Lho? Kata siapa kamu belum menemukan?" Abraham bangkit dari duduknya lalu menghampiri tempat di mana Sabrina duduk. "Saya adalah jodoh kamu. Minggu depan kita akan menikah."