Tiga orang saat ini sedang berada di dalam ruang jenazah di mana ada beberapa jenazah yang belum dibawa oleh keluarga mereka.
Tugas Sabrina dan juga dua orang rekannya membersihkannya. Sebenarnya hanya Sabrina dan juga Firmansyah saja yang akan membersihkan, namun Riyanti menawarkan diri sebagai relawan untuk membersihkan ruang jenazah membantu Sabrina karena tadi Sabrina sempat membantunya membelikan makanan untuk dokter yang bekerja di rumah sakit ini juga.
"Entah kapan aku bisa kaya. Kalau aku kaya, aku tidak akan pernah mau masuk ke dalam ruang jenazah seperti ini jadi tukang bersih-bersih," ucap Riyanti. Wanita itu bersandar pada ranjang rumah sakit dengan seorang mayat di belakangnya. Tidak takut sama sekali, karena hantu sudah menjadi teman Riyanti. Wanita itu lebih takut pada ibu kos yang akan menagih uang bulanan besok sementara gajinya belum juga turun.
"Makanya kita harus berdoa dan berusaha, Mbak. Biar nanti kita bisa dapat pekerjaan yang layak dan kaya raya." Sabrina membalas ucapan Riyanti sambil mengepel lantai. "Kalau cuma banyak mengeluh dan berandai-andai, tidak bisa bergerak. Susah kaya," tambah gadis itu.
"Betul apa yang kamu bilang, Rin. Orang kaya itu karena dia berusaha. Kalau sampai mati dia juga tidak kaya, memang sudah takdirnya. Makanya selama hidup, kita masih bisa berusaha." Firmansyah ikut membalas dengan tangan yang bergerak membersihkan lantai ruangan.
Helaan napas terdengar dari mulut Riyanti yang sudah mulai jenuh dengan kehidupan miskinnya.
Pekerjaan mereka belum juga selesai ketika petugas mengatakan jika akan ada mayat yang masuk lagi ke dalam.
Segera ketiganya cepat-cepat membersihkan ruangan tersebut lalu memilih pergi setelah memastikan semuanya rapi.
Sabrina duduk termenung setelah membersihkan dirinya. Perempuan cantik itu tidak langsung pulang ke kontrakannya, melainkan mampir untuk duduk di bangku taman seraya menatap langit orange yang berada di ketinggian.
Perempuan cantik itu mengingat-ingat tawaran yang diberikan oleh dokter Abraham tadi.
Memintanya untuk menikah dengan dia, dengan alasan ia sudah tidak tahan lagi direcoki oleh Omanya. Belum lagi Abraham dengan terang-terangan mengatakan jika ia ingin membuat Omanya marah karena menikah dengan perempuan yang berada di bawah levelnya.
"Kalau kamu terima ajakan saya menikah, saya akan mempersiapkan semuanya. Saya tunggu jawaban kamu sore ini," ujar Abraham.
Masih segar dalam ingatan Sabrina, senyum memikat pria itu. Sebenarnya, Sabrina juga ingin cepat-cepat menemukan laki-laki yang bisa dijadikan suami. Apa mungkin aku menerima ajakan menikahnya saja? Batin Sabrina bertanya-tanya.
Tak lama ponsel miliknya berdering. Panggilan masuk dari Horan membuatnya mendengus.
"Ada apa kamu menghubungiku?" Sabrina langsung menodong dengan pertanyaan. Nada bicaranya tidak lembut seperti saat dia berhadapan dengan orang-orang sekitarnya.
"Nona Sablina, Nona tidak lupa dengan perjanjian yang sudah disepakati, bukan? Tinggal menunggu waktu 6 bulan lagi, jika Nona masih tidak menemukan suami yang sesuai dengan kriteria, maka harta warisan yang akan diberikan untuk Nona, akan disumbangkan pada seluruh anak kurang beruntung di berbagai belahan dunia."
Suara Horan terdengar sangat berat. Ciri khas suara pria itu serak-serak basah yang membuat Sabrina terkadang merasa jika saat ini ia sedang berbicara dengan monster.
"Nona Sablina, apa Nona mendengar perkataanku?" Suara Horan kembali terdengar ketika tidak ada sahutan dari Sabrina.
"Kamu berbicara denganku? Namaku adalah Sabrina. Bukan Sablina." Sabrina berkata dengan tenang. "Aku akan segera menikah dan kamu harus memastikan jika semua kekayaan Tuan Alberto harus jatuh ke tanganku."
Ekspresinya terlihat sangat tenang dan halus. Namun, Horan yang mendengar suaranya sedikit merinding.
Gadis dengan 1000 wajah memang patut dinobatkan pada Sabrina karena sejak kecil Horan selaku pengacara Tuan Berto, sangat hafal bagaimana sifat dan tabiat gadis itu.
"Baiklah. Aku akan menunggu kabar baikmu enam bulan dari sekarang. Pastikan, jika laki-laki yang menikahimu adalah laki-laki sesuai dengan kriteria yang disebutkan oleh Tuan Berto dan juga tuan Alberto."
"Hmm."
Tanpa menunggu respon dari Horan, Sabrina langsung mematikan sambungan telepon. Ekspresi wajahnya terlihat santai dan natural.
Sabrina kemudian memasang wajah senyum saat melihat kehadiran Riyanti.
"Rina, pulang sekarang? Aku sudah lelah dan pulang nanti aku langsung tidur."
Riyanti dan juga Sabrina memang berada di satu kontrakan yang sama. Mereka sama-sama perantauan namun dari kota yang berbeda.
Sabrina bangkit berdiri sambil tersenyum. "Baiklah, kita pulang sekarang."
Kedua gadis berbeda usia itu kemudian melangkah pergi meninggalkan area Rumah sakit menuju kontrakan rumah mereka yang berada tak jauh dari lokasi mereka bekerja.
"Mbak Riyanti, beneran Mbak tidak punya pacar? Masa iya, Mbak secantik ini tidak ada pacar," ujar Sabrina menatap Riyanti.
"Masa 'sih aku cantik?" Riyanti baru saja meletakkan tasnya di atas meja ketika mereka tiba di kontrakan, lalu memegang pipinya. "Ah, kamu bisa aja buat Mbak besar kepala. Padahal Mbak merasa tidak cantik. Mbak justru tidak punya pacar karena wajah Mbak yang jelek."
"Siapa bilang Mbak jelek? Padahal mbak cantik sekali." Sabrina berkomentar dengan senyum manisnya.
"Kamu sendiri tidak punya pacar? Tapi mustahil sekali kamu tidak punya pacar. Kamu punya wajah yang begitu cantik. Kenapa tidak jadi artis atau selebgram seperti orang-orang saja?"
"Aku? Aku tidak cantik. Aku juga takut dibully. Soalnya waktu kecil aku sering di-bully sama teman-temanku karena mereka bilang aku bule desa." Sabrina menghela napas.
Sejak kecil Sabrina tinggal bersama ibunya di sebuah desa. Perempuan cantik itu bersekolah sampai berusia 15 tahun di desa kelahiran ibunya. Lalu, Sabrina dibawa pergi oleh Horan untuk tinggal di luar negeri selama pendidikan. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia dengan 1 dan 2 tujuan tertentu.
Salah satu tujuan utamanya tentu mendapatkan warisan yang sudah disiapkan oleh kakek buyutnya terdahulu yang diturunkan pada generasi keempat yaitu dirinya.
Alberto hanya memiliki satu orang anak laki-laki yang diberi nama Berto. Lalu, Berto sendiri memiliki satu orang anak laki-laki. Anak laki-laki Berto itu adalah Papa kandung Sabrina yang kebetulan menikah dengan ibunya, seorang wanita keturunan asli Indonesia. Pertemuan pertama mereka saat ibunya Sabrina bekerja di Spanyol sebagai pelayan yang membuat Papa kandung Sabrina yang bernama Patrick Alberto jatuh cinta padanya.
"Kamu akan segera menemukan laki-laki yang tulus dengan kamu. Aku berdoa yang terbaik untuk kita berdua." Riyanti menepuk pundak Sabrina dengan senyum kecil yang menghiasi wajah cantiknya.
Mendengar itu tentu saja Sabrina ikut tertawa. Mungkin sebentar lagi ia akan menemukan jodohnya dan menikah dengan seorang pria bernama Abraham Smith, dengan namanya yang mirip dengan namanya sendiri.
Sabrina bertekad Jika ia pasti bisa untuk membawa Abraham ke hadapan pria tua itu.