Oma Warti tampak tersenyum bahagia berdiri di depan sebuah gereja di mana tempat berlangsungnya sang cucu yang akan segera menikah hari ini.
Meskipun ia sempat jengkel dengan sikap cucunya yang mengatakan ingin menikah minggu depan, namun ternyata minggu depan yang dimaksud oleh Abraham adalah 2 minggu mendatang.
Terlalu excited, membuat wanita itu tidak bisa berpikir jernih tentang kalimat yang dilontarkan oleh cucunya sendiri.
Maka dari itu, setelah membuat perencanaan yang cukup matang, akhirnya Abraham menikah juga hari ini dengan wanita yang sudah digadang-gadang olehnya akan menikah dengan Abraham.
Oma Warti terus tersenyum. Tidak banyak tamu undangan yang hadir karena atas permintaan Abraham, mereka hanya mengundang sanak saudara dekat saja.
"Bu, apa Abraham sudah datang? Sampai sekarang dia belum terlihat juga. Sementara keluarga kita sudah menunggu di dalam."
Patricia, istri dari Andrew Smith melangkah keluar menghampiri Ibu mertuanya yang terlihat senyum-senyum sendiri di depan gereja.
"Ini ibu juga sudah berusaha untuk menghubungi Abraham. Dia tidak mengangkat telepon Ibu," sahut Oma Warti.
Setelah sadar, Oma Warti kembali berusaha untuk menghubungi nomor Abraham dan kali ini akhirnya diangkat oleh pria itu.
"Iya, Oma? Ada apa menghubungiku?"
Tiba-tiba saja telepon diangkat oleh Abraham, membuat Oma Warti segera menegakkan tubuhnya.
"Ham, kamu ada di mana sebenarnya? Oma dan seluruh keluarga sudah menunggu kamu. Ini keluarga Joanna juga sudah menunggu kamu. Kamu tidak lupa kalau hari ini kamu menikah 'kan?" Suara Oma terdengar menyahut, membuat Abraham termenung sejenak.
"Sorry, Oma dan keluarga Joanna sudah menunggu? Untuk apa kalian menungguku?" Abraham bertanya dengan nada santainya.
"Abraham, kamu jangan main-main dengan Oma. Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikah? Ini Oma sudah mempersiapkan segalanya, kamu tinggal datang saja dan semua sudah Oma bereskan segala hal-hal kecil. Kamu selama ini oma suruh ini dan itu kamu tidak mau. Makanya itu Oma yang urus semuanya." Warti berkata panjang lebar. "Di mana kamu sekarang?"
"Hmm? Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Terdengar Abraham berdeham sejenak. "Omaku sayang, aku memang bilang kalau aku akan menikah. Yeah, aku memang menikah dan pernikahanku sudah digelar tiga hari yang lalu. Saat ini aku sedang bulan madu dengan istriku." Abraham berkata dengan santai, sementara tubuhnya bersandar pada tempat tidur sambil menikmati deburan ombak yang masuk indera pendengarannya.
Sementara sosok wanita lainnya kini sedang berdiri di balkon kamar menikmati pemandangan indah langit yang begitu cerah.
"Apa maksud kamu, Abraham?" Suara Warti meningkat naik membuat Patricia segera mendekat pada ibu mertuanya itu.
"Aku sudah melangsungkan akad nikah dengan seorang wanita yang pernah oma temui beberapa waktu lalu. Aku menikah di sebuah masjid yang tidak jauh dari komplek perumahan kita. Ah, sesuai dengan kesepakatan, berhubung aku sudah menikah, maka aku akan keluar dari rumah itu."
Warti memegang dadanya shock. Ekspresi wajahnya berubah tidak percaya, sebelum akhirnya ia mulai berpikir dan mulai terkekeh.
"Kamu jangan bercanda. Bagaimana bisa kamu menikah di masjid, sementara kamu bukan muslim!"
Patricia mengerut keningnya. Sepertinya ada yang aneh, batin wanita itu berkomentar.
"Oma tidak tahu? Beberapa bulan yang lalu, saat aku bilang ada kerjaan di luar kota, tepatnya di Jawa, sebenarnya aku sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang mualaf. Aku belajar ilmu di sana bersama kyai Ansor dan kyai-kyai lainnya. Hehe, Oma tidak perlu mengucapkan selamat padaku, soalnya aku memang sudah berkeinginan sejak lama untuk menjadi seorang mualaf. Ini bukan paksaan dari siapapun, murni dari hatiku. Jadi, Oma, aku sekarang sudah menjadi seorang suami dari perempuan lain, bukan perempuan pilihan Oma."
Abraham mematikan sambungan telepon, lalu bangkit berdiri menghampiri perempuan yang baru saja dinikahinya beberapa hari lalu.
"Tatap kamera dan senyum."
Perempuan yang tidak lain adalah Sabrina tersentak kaget, wanita itu langsung menoleh ke arah kamera yang diarahkan padanya dengan Abraham yang berdiri di sebelahnya. Sabrina tersenyum, sementara Abraham meletakkan dagunya di atas bahu perempuan muda itu.
Jepretan kamera berhasil diambil. Abraham menegakkan tubuhnya kemudian bersandar pada pinggiran balkon, lalu mengirimkan pesan gambar yang baru saja diambilnya pada Omanya.
Panggilan dari Omanya langsung ia reject, sebelum akhirnya ia berhasil mengirim gambar tersebut.
"Pak Dokter mau kirim gambar ke siapa?" Sabrina bertanya dengan nada polosnya, membuat Abraham segera mengangkat kepala menatap perempuan muda di hadapannya.
"Saya kirim gambar dengan nenek saya. Tidak apa-apa 'kan? Nanti nenek saya pasti akan posting di akun sosial media miliknya dengan caption 'cucu menantu kesayangan' di sosmed miliknya." Abraham membalas ucapan Sabrina dengan santai.
Sementara perempuan muda itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tiga hari yang lalu mereka sah menjadi pasangan suami istri. Pernikahan mereka hanya dihadiri oleh penghulu, saksi, dan juga wali hakim.
Sementara dari pihak Abraham hanya memanggil kedua Kakak laki-laki pria itu juga sepupu laki-lakinya.
Riyanti pun turut menghadiri akad nikah Abraham yang membuat Riyanti shock setengah mati saat tahu mendadak Sabrina menikah dengan salah satu dokter paling tampan di rumah sakit tempat mereka bekerja.
Pria itu tersenyum miring. Lalu memilih untuk masuk ke dalam dan tidur.
Tidak lupa Abraham juga mengirim foto saat dilakukan akad nikah pada Omanya tercinta.
Kontrak pernikahan mereka akan dibicarakan nanti setelah pulang dari Bali.
Sementara di sisi lain.
Setelah melihat gambar yang dikirim oleh Abraham, cucunya sendiri, mendadak Oma Warti jatuh tak sadarkan diri dengan gambar Abraham dan Sabrina yang terlihat jelas.
Hal ini tentu menghebohkan anggota keluarga mereka yang langsung membawa Warti ke rumah sakit.
Kehebohan semakin terjadi saat mereka mengetahui fakta Jika ternyata Abraham sudah melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan yang tidak mereka kenali.
Joanna yang sudah mengenakan gaun pengantin berteriak dengan marah. Menangisi nasibnya yang ternyata dipermainkan oleh Abraham.
"Aku tidak terima! Aku tidak terima dipermainkan seperti ini! Apa salahku sampai harus seperti ini? Pokoknya Abraham harus menikahiku! Jika dia tidak mau menikahiku, aku akan melaporkan masalah ini ke kantor polisi!" Joanna berteriak di depan ruang rawat tempat di mana Warti berada.
Sementara Warti yang masih dalam posisi pura-pura pingsan hanya bisa menahan diri. Sebenarnya dirinya juga ingin sekali memaki cucunya itu. Namun, di sini masih banyak anggota keluarga dari pihak Joanna yang membuatnya harus menahan diri.
"Kamu tidak bisa melaporkan hal ini ke kantor polisi, Joanna. Sebab yang mengurus dan mengatur semua ini adalah kamu dan juga Ibu saya. Jadi, kalau kamu melapor ke polisi saya rasa akan percuma." Andrew, suami Patricia sekaligus putra nomor 2 Warti akhirnya angkat bicara.
Dirinya juga tidak menyukai sikap ibunya yang selalu memaksakan anak dan cucunya untuk mengikuti kemauannya.
Joanna masih menangis dan berteriak. Orang tua Joanna juga marah-marah sampai akhirnya mereka diusir oleh satpam.
Andrew dan Patricia masuk ke dalam. Pria itu menatap ibunya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Ibu bangun. Tidak usah pura-pura pingsan. Aku tahu ibu tidak pingsan sama sekali." Andrew berbicara dengan nada dingin pada ibunya. "Ibu lihat apa yang sudah ibu lakukan? Terlalu bersemangat, sampai-sampai ibu melakukan banyak hal yang akhirnya mempermalukan ibu sendiri."
Segera Warti membuka kelopak matanya. Wanita tua itu bukannya merasa bersalah tapi justru memaki putranya sendiri karena dianggap tidak bisa mendidik keponakannya sendiri hingga membuat ia malu.