Bagian 5

1026 Kata
"Halo, Oma--" Plak! Baru saja bibir Abraham terbuka untuk menyapa Omanya tercinta ketika tangan wanita tua itu melayang ke pipinya dan menamparnya dengan sangat kencang. Suara renyah tamparan keras tentu menggema di dalam rumah besar tersebut. Tidak hanya mengejutkan para pelayan, tapi juga Adnan yang saat ini sedang bersantai menikmati kopinya. Pria paruh baya itu bahkan sudah memejamkan matanya menyesap tetes demi tetes pahitnya americano yang mengalir di tenggorokannya. Tidak ia pedulikan dengan drama yang diciptakan oleh ibunya. Bagi Adnan, hal ini sudah terbiasa. Tidak lagi terkejut dengan gebrakan-gebrakan yang diciptakan oleh putra-putranya sendiri. "Kurang ajar sekali kamu, Abraham! Apa yang sudah kamu lakukan, hah? Menikah tanpa memberitahu keluarga! Lebih parahnya lagi kamu tiba-tiba saja sudah menjadi muslim tanpa rundingan dengan keluarga terlebih dahulu! Apalagi perempuan yang kamu nikahi adalah perempuan dari kasta bawah. Apa kamu punya otak, Abraham? Kamu mempermalukan keluarga besar kita karena ulah kamu sendiri!" Warti adalah wanita kuat yang bahkan tidak memiliki penyakit meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Terkadang Adnan merasa aneh mengapa ibunya yang selalu jahat sejak mereka masih kecil tidak diambil Tuhan lebih dulu. Sementara ayah mereka pria yang baik justru cepat-cepat dipanggil oleh Tuhan. "Santai saja, Oma. Jangan marah-marah seperti itu. Aku belum memperkenalkan istriku secara resmi pada kalian semua." Abraham terlihat santai meskipun pipinya terasa sangat kebas akibat tamparan yang dilayangkan oleh wanita tua ini. Segera Abraham dengan santai merangkul pinggang Sabrina dan mendekatkan diri padanya. "Nah, Oma pernah melihat perempuan cantik di sebelahku ini. Namanya adalah Sabrina Abraham. Oma pernah bertemu dengan dia waktu dia mengantarkan makan siangku. Bagaimana? Dia sangat cantik, dan perawakannya sesuai dengan tipe Oma. Cantik, putih, dan ada darah campuran." Abraham berkata tanpa menghilangkan senyumnya. "Nah, Sabrina, ini adalah omaku. Namanya Oma Warti. Kuno banget, ya, namanya? Sedangkan kamu saja yang dari desa, namanya cantik. Sabrina cantikku." Abraham dengan santai menjawil dagu Sabrina tanpa memedulikan Warti yang saat ini sudah bersiap untuk menelan mereka hidup-hidup. "Kamu menikah dengan wanita yang tidak selevel dengan kita. Abraham, kamu waras? Kamu benar-benar membuat Oma merasa kecewa. Bisa-bisanya kamu--" "Sayang, ayo, aku mau kenalin kamu dengan papa aku. Kalau sama dua kakak aku, kamu sudah kenalan waktu kita akad nikah. Papa aku belum kenalan dengan kamu." Pria itu menyela ucapan omanya kemudian segera menarik Sabrina untuk dikenalkan dengan papanya yang sejak tadi memperhatikan mereka. "Pa, Papa kenalan dulu dengan istri aku. Namanya Sabrina." Abraham tidak lupa untuk mengedipkan matanya. Merasakan cengkraman sedikit di pinggangnya, Sabrina bergerak kemudian mengulurkan tangannya pada Adnan. "Saya Sabrina, Pak." Sabrina memperkenalkan diri, membuat Adnan bangkit dari duduknya. "Saya Adnan. Kamu bisa panggil saya papa karena kamu sudah menjadi menantu di keluarga ini." Adnan berpikiran terbuka. Selama anaknya bahagia, siapapun istri yang akan mereka pilih bukan urusannya dan ia juga tidak mau ikut campur. Adnan tahu rasa sakit saat dipisahkan dengan wanita yang dicintai. Maka ia tidak pernah melarang ketiga putranya mau mengencani siapapun selama anak-anaknya bahagia dan selama perempuan yang mereka pilih adalah perempuan baik-baik. "Kami menikah beberapa hari yang lalu. Baru pulang dari bulan madu, rencananya kami akan tinggal di sini selama 2 minggu mendatang. Setelah itu, aku akan membawa istriku untuk pindah ke rumah baru. Tidak apa-apa 'kan papa?" Abraham tersenyum penuh arti menatap papanya yang langsung mengangguk sebagai respon. Sayangnya Warti justru tidak terima. "Tidak bisa! Abraham, kamu harus tetap tinggal di sini. Meskipun Oma tidak setuju kamu menikah dengan wanita level di bawah kita, tidaknya kamu harus tinggal bersama kami. Bagaimana kalau perempuan yang kamu nikahi ini tidak bisa mengurus kamu?" Warti yang sadar dari rasa kesalnya langsung menghampiri cucunya. Ekspresi wajahnya berubah tajam menatap Sabrina yang sejak tadi hanya menjadi gadis pendiam. "Oma, setuju tidak setuju, sudah menjadi sebuah keputusanku dan kesepakatan bersama jika siapapun yang sudah menikah maka wajib untuk meninggalkan rumah ini." Abraham membalas ucapan Omanya dengan santai. "Hoam! Pa, kalau begitu aku naik ke atas dulu. Kami sangat kelelahan setelah berbulan madu di Bali." "Tunggu dulu, Abraham! Oma tidak percaya kalau kamu sudah menikah dengan wanita ini. Kamu sendiri baru kenalan dengan dia dan tidak mungkin tiba-tiba menikah. Kalian pasti membuat perjanjian kontrak pernikahan 'kan?" Warti menghadang langkah cucunya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Oh? Oma tahu akan hal itu?" Abraham tersenyum. "Benar sekali, kami membuat kontrak pernikahan. Kalau seandainya kami bercerai, aku akan menyerahkan semua hartaku pada istriku ini. Makanya itu, aku dan Sabrina tidak akan pernah bercerai karena aku sayang dengan harta-hartaku. Benar tidak, Sugar?" Abraham menjawil dagu Sabrina, lalu menariknya untuk mengecup pipi gadis itu. Sabrina yang mendapat kecupan tiba-tiba langsung menegang. Tangannya hampir saja mendorong Abraham menjauh darinya, namun pria itu semakin merapatkan tubuh padanya. "B-benar," ujar Sabrina. Perempuan cantik itu mengangguk dengan malu-malu membuat Warti semakin berang. "Apa-apaan kamu! Kenapa kamu membuat kontrak yang merugikan kamu? Kamu tahu, dia datang ke sini tidak punya apa-apa! Bisa-bisanya kamu akan menyerahkan harta kamu seandainya kalian bercerai! Otak kamu sepertinya sudah benar-benar dicuci!" Abraham tersenyum. Pria itu hanya menggelengkan kepalanya lalu menarik istrinya untuk masuk menuju lantai 2 di mana kamarnya berada, meninggalkan Warti yang kembali marah-marah. "Kalau begitu aku harus pergi." Adnan bangkit dari duduknya saat melihat kehadiran Antika--istri baru--yang dinikahinya beberapa tahun lalu atas perjodohan yang dibuat oleh Warti. Adnan menatap sekilas pada Antika sebelum akhirnya pria itu berbalik pergi meninggalkan Warti yang kembali marah-marah. Sementara Antika sendiri sebagai menantu kesayangan tentu saja langsung menenangkan Ibu mertuanya. "Ibu tenang saja, aku pasti akan tetap berada di pihak ibu. Mau bagaimanapun, perempuan udik itu tidak akan bisa lama bertahan di keluarga kita." Antika mengusap lengan ibunya, sambil menatapnya dengan senyum penuh keibuan yang tentu membuat Warti merasa senang. "Terima kasih kamu ada di pihak ibu. Tidak seperti istrinya Andrew yang selalu sok-sokan bersikap netral. Males makanya ibu kalau bertemu dengan dia," ujar Warti. "Ya sudah, Ibu mau kita shopping dulu? Sudah lama kita tidak pernah shopping bareng. Celine sudah rindu dengan ibu karena sudah lama tidak belanja bersama," ujar Antika pada ibu mertuanya. "Ya sudah kalau mau belanja, Ibu siap-siap dulu. Kamu panggil Celine, biar kita shopping bareng." Warti melangkah masuk menuju kamarnya, meninggalkan Antika yang langsung bergegas memanggil putrinya untuk bersiap karena mereka akan berbelanja. Antika sendiri menikah dengan Adnan setelah statusnya menjadi seorang janda beranak satu yakni Celine.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN