Beberapa hari yang lalu.
Sabrina sudah memikirkan berulang kali untuk menerima tawaran pernikahan yang diajukan oleh Abraham padanya.
Maka dari itu mereka mempersiapkan pernikahan mereka dengan Sabrina yang harus mempersiapkannya bersama Abraham di sela-sela waktu sibuk mereka.
Pernikahan Abraham dan Sabrina tentu akan tetap menjadi rahasia karena Sabrina masih ingin bekerja sebagai cleaning service di rumah sakit.
Tidak ingin melihat Riyanti kebingungan karena dirinya tak ada di kontrakan, maka Sabrina memutuskan untuk memberitahu Riyanti tentang rencana pernikahannya bersama dokter Abraham.
"Kamu serius, tidak sedang bercanda 'kan? Apa kamu hanya bergurau saja?" Riyanti menganga lebar menatap tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Sabrina.
Baru saja dari mulut perempuan cantik di hadapannya yang memberitahu akan menikah dalam waktu dekat dengan dokter Abraham.
"Benar sekali, aku memang ada rencana untuk menikah dengan dokter Abraham dalam waktu beberapa hari ini. Makanya aku minta Mbak Riyanti untuk datang karena aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di kota ini. Hanya Mbak Riyanti orang yang aku kenal dekat."
Kelopak mata Sabrina berkedip polos menatap Riyanti yang masih menganga. Maksudnya, menikah itu harus melewati beberapa proses. Proses paling utama adalah melewati perkenalan lebih dulu baru pendekatan, baru kemudian melewati proses yang namanya pacaran dan putus nyambung. Terakhir, ada yang namanya proses untuk mempersiapkan pernikahan.
Hanya saja, dari banyaknya proses yang sudah dijabarkan oleh pikiran Riyanti, tidak ada satupun yang dilewati oleh Sabrina.
"Kamu yakin kalau yang mengajak kamu menikah itu dokter Abraham? Apa ada dokter lain atau kamu sedang tidak berhalusinasi? Apa bisa jadi itu adalah arwah dari mantan dokter di sana?" Riyanti berbicara panjang lebar berusaha untuk meyakinkan dirinya jika apa yang dikatakan oleh Sabrina adalah sebuah kebenaran.
"Aku yakin, kok, Mbak. Nanti juga Dokter Abraham bakalan datang ke sini. Kami akan mengurus surat-surat terlebih dahulu, baru kemudian mau mencari kebaya dan cincin pernikahan," jawab Sabrina. "Mbak, aku minta tolong mbak buat temani aku, ya? Soalnya aku tidak enak kalau hanya jalan berdua dengan dokter Abraham."
"Hah?"
Riyanti masih tercengang ketika mendengar suara ketukan pintu. Sabrina yang mendengarnya langsung bangkit berdiri, lalu membuka pintu dan memperlihatkan Abraham yang saat ini mengenakan baju kaos yang dilapisi dengan sweater.
Tampilannya berbeda sekali dengan tampilan biasa saat bekerja hingga membuat Sabrina beberapa detik tercengang sebelum akhirnya gadis itu membuka pintu sedikit lebar untuk Abraham.
"Riyanti sudah bersiap?" Abraham bertanya pada Sabrina dan menatap gadis yang saat ini mengenakan rok panjang dengan baju kaos panjang serta jangan lupakan rambut yang dikepang.
Tampilan sederhana Sabrina tidak bisa menutupi wajah yang cantik dengan kulit yang putih bersih.
Abraham menatap Sabrina dengan senyum penuh arti.
"Saya baru saja kasih tahu sama Mbak Riyanti. Sekarang Mbak Riyanti masih bengong."
Sabrina mempersilakan Abraham masuk membuat pria itu ikut masuk dan menatap Riyanti yang kini sudah berdiri dengan ekspresi shock yang ditampilkan oleh perempuan muda itu.
"Ini beneran dokter Abraham?" Riyanti bertanya.
Abraham yang ditanya mengganggukan kepalanya. "Kamu kira saya hantu di rumah sakit yang menyamar jadi dokter Abraham tampan menawan?"
"Ah, kalau ini saya percaya, dokter Abraham adalah manusia." Riyanti bergumam menatap sanksi dokter Abraham.
Dokter Abraham memang memiliki wajah tampan rupawan. Namun, kadang paling menjengkelkan ketika saat pria itu bersikap begitu narsis.
"Kamu sudah dibilang sama Sabrina, kalau pernikahan kami ini dirahasiakan 'kan? Jadi, saya minta tolong sama kamu untuk merahasiakan pernikahan kami untuk sementara waktu dari orang-orang maupun rekan kerja kita." Abraham mengambil posisi duduk di salah satu sofa yang sudah buluk dengan kaki kanan yang diletakkan di atas kaki kiri.
Sabrina dan Riyanti duduk menatap Abraham.
"Kenapa harus dirahasiakan segala, Dok? Apa dokter malu karena menikah dengan Sabrina yang statusnya cuma sebagai cleaning service?" Riyanti bertanya secara terang-terangan. Tidak rela kalau sahabatnya tidak diakui sebagai istri oleh dokter Abraham.
Sebelah alis pria itu terangkat menatap Riyanti. "Kalau begitu kamu tanyakan sendiri pada Sabrina kenapa dia mau merahasiakan pernikahan kami."
Langsung saja Riyanti menolehkan kepalanya menatap Sabrina dengan tatapan tak percaya.
"Jangan bilang kalau kamu yang mencetuskan ide untuk merahasiakan pernikahan kalian? Kenapa mau merahasiakannya? Bukannya lebih baik kalau pernikahan kalian diumumkan biar banyak orang yang tahu kalau kalian berdua sama-sama sudah tidak single lagi?"
Sabrina yang ditatap meringis malu. "Sebenarnya aku yang ingin merahasiakan pernikahan ini. Aku belum lama bekerja di rumah sakit. Aku masih ingin bekerja di sana. Kalau orang-orang tahu kalau aku berstatus sebagai istri Pak Dokter Abraham, pasti mereka bakalan sungkan padaku. Aku tidak ingin hal itu terjadi," jawab Sabrina memberi alasan.
"Kenapa harus bekerja? Kamu memangnya tidak tahu kalau dokter Abraham adalah pria kaya? Dia berasal dari keluarga kaya raya dan punya banyak uang. Tidak perlu kamu bekerja lagi," kata Riyanti.
"Masalahnya aku ingin bekerja. Aku masih ingin menikmati hari-hari sebagai pekerja."
Akhirnya Riyanti setuju untuk merahasiakan pernikahan Abraham dan juga Sabrina.
Mereka kemudian mulai mengurus hal-hal yang diperlukan untuk akad nikah termasuk meminta wali hakim juga saksi.
Tidak lupa untuk membeli cincin pernikahan yang memang harusnya sudah ada.
Akad nikah dilangsungkan di sebuah masjid yang berada tak jauh dari komplek perumahan tempat di mana keluarga Abraham tinggal.
"Mas Abraham yakin tidak mau memberitahu Papanya Mas Abraham dan juga Oma?"
Askara menatap pada Kakak sepupunya yang tadi pagi sempat menghubunginya meminta untuk datang ke masjid. Askara juga terlihat aneh apalagi melihat kakak sepupunya ada di sini.
"Kenapa harus memberitahu mereka? Tidak perlu memberitahu mereka karena aku percaya pada kalian bertiga untuk menghadiri akad nikahku. Aku juga sudah meminta izin pada pengurus masjid untuk mengizinkan kalian masuk dan melihat aku melangsungkan akad nikah." Abraham merapikan rambutnya dengan wajah tenang dan santai.
Jangan tanyakan Adam dan Aaron karena mereka memang sudah biasa dengan segala gebrakan yang dilakukan oleh Abraham.
Adik mereka memang seperti itu dan mereka pun berpikiran terbuka untuk tidak melarang apa yang sudah menjadi keputusan adik mereka.
Adam merangkul pundak Abraham. "Aku mendukung apapun yang sudah menjadi keputusanmu. Cari kebahagiaanmu sendiri, jangan hiraukan apa pemikiran dan perkataan orang lain. Bahagia itu diciptakan oleh dirimu sendiri, bukan tergantung pendapat orang lain."
Abraham menepuk pelan tangan Adam sambil tersenyum manis. "Thank you, Adam. Aku beruntung memiliki kakak laki-laki yang begitu pengertian seperti kalian berdua."
Aaron juga merangkul pundak Abraham. "Kamu adalah adik kami. Apa yang menjadi keputusan kamu, kami selalu mendukung kamu. Tetap menjadi adik laki-laki kami dan jagalah sopan santun untuk memanggil kami kakak." Aaron dengan gemas menarik pipi Abraham hingga membuat si empunya meringis.
"Kamu seperti perempuan saja yang hobi menarik pipi." Abraham mengusap pipinya yang menjadi korban keganasan Aaron. "Ya sudah kalau begitu, kita masuk ke dalam. Sudah ada banyak orang yang menunggu kita di dalam."
Mereka berempat kemudian melangkah masuk dengan Aska yang melangkah di belakang bersama Adam.
"Aku bahkan tidak tahu kalau Mas Abraham sudah menjadi mualaf. Kapan itu terjadi?" Aska masih penasaran dan bertanya pada Adam yang melangkah di sebelahnya.
"Beberapa bulan yang lalu saat Abraham bilang kalau dia memiliki proyek besar di Jawa. Kami tahu, karena sebelumnya dia sudah mengatakan itu pada kami." Adam menjawab dengan santai.
"Jadi proyek besar yang di maksud sama Mas Abraham itu belajar tentang Islam sekaligus menjadi mualaf?" Aska berbisik pada Adam takut suara mereka mengganggu yang lain.
"Itu adalah proyek besar yang memang dikerjakan oleh Abraham. Tidak tahu mengapa dia bisa mendapatkan hidayah." Adam mengangkat bahunya kemudian mereka segera duduk dengan banyak orang yang memakai pakaian serba putih sudah duduk mengelilingi sebuah meja.
Tak lama kemudian terlihat Sabrina yang mengenakan kebaya berwarna putih dengan rambut yang disanggul dituntun oleh beberapa wanita mengenakan hijab juga Riyanti yang mengenakan kebaya berwarna biru.
Abraham terpesona dengan penampilan Sabrina. Sabrina memang memiliki wajah seperti orang Barat pada umumnya, begitu juga dengan warna kulitnya yang putih pucat. Hanya saja gadis itu dikaruniai rambut berwarna hitam.
"Cantik sekali." Abraham berkomentar sambil berbisik di dekat Sabrina.
"Terima kasih." Sabrina menundukkan kepalanya tanpa berani untuk membalas tatapan Abraham.
Akad nikah dilangsungkan dengan penuh khidmat dihadiri oleh orang-orang terdekat Abraham dan juga Sabrina. Juga para saksi yang berada di dekat area masjid hadir.
Semuanya berjalan dengan lancar sampai akhirnya Sabrina sah menjadi istri Abraham.
Setelah akad nikah, mereka mendengar segala wejangan yang dilakukan oleh ustad dan juga Pak penghulu yang menikahkan mereka.
Baru kemudian Sabrina mengganti pakaiannya dan mengenakan dress biasa untuk acara makan-makan di sebuah restoran yang sudah di reservasi oleh Abraham.
Hanya ada mereka saja yakni Abraham bersama kedua kakak laki-laki dan satu orang sepupunya. Juga Sabrina dan Riyanti.
"Ini Kakak ada kado untuk kalian berdua. Kalian berdua bisa langsung pergi hari ini." Tiba-tiba saja Aaron menyerahkan sebuah tiket pada Abraham yang langsung menatapnya.
"Terima kasih kakak-kakakku tercinta. Ingatlah untuk mempersiapkan satu buah rumah untuk kami berdua sebagai hadiah kalian. Kalau cuma hadiah bulan madu, ini sangat kecil," kata Abraham tidak tahu malu.
"Kalau untuk hadiah rumah, kami sudah mempersiapkan untuk kamu. Nanti kalau sudah selesai renovasi, kami akan memberikannya pada kalian," timpal Adam.
Jangan tanyakan keberadaan Riyanti yang saat ini sudah menganga lebar mendengar obrolan santai tentang pemberian rumah oleh kedua kakak lelaki dokter Abraham.
"Kalau dulu saya di kampung biasanya hadiah paling besar 100 ribu. Ini hadiah rumah, luar biasa," komentar Riyanti.
"Makanya kalau kamu mau dapat hadiah rumah, minimal kamu harus punya suami yang kaya raya seperti saya. Lihatlah, kakak saya memberikan saya hadiah rumah." Abraham berkata dengan pamer.
"Gimana mau dapat laki-laki kaya, sedangkan saya cuma cleaning service aja."
"Sabrina saja bisa mendapatkan saya, sedangkan dia cuma cleaning service seperti kamu. Jodoh tidak ada yang tahu," kata Abraham bersikap dewasa.
"Sabrina punya privilege tampilan. Saya? Punya apa saya." Riyanti mengangkat bahunya.
"Kamu punya bau kentut yang luar biasa." Abraham menatap Riyanti. "Jangan pura-pura bodoh kamu. Saya tahu waktu kita lagi briefing di dekat ruang aula beberapa hari yang lalu, yang kentut itu kamu 'kan?"
Riyanti nyaris tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Abraham. Terutama saat ini semua pasang mata yang berada di dalam ruangan ini kini sudah menatap ke arahnya.