Bagian 7: Perjanjian yang TIDAK merugikan

1358 Kata
Sabrina merebahkan tubuhnya di atas sofa. Tidak mungkin dirinya akan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang sama dengan Abraham. Bukan karena dirinya tidak mau ataupun merasa canggung. Hanya saja takut jika Abraham tidak nyaman dengan kehadirannya. Apalagi mereka tidak saling mengenal. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan sosok Abraham yang mengenakan kemeja berwarna hitam. Pria itu melangkah masuk dengan membawa sebuah map dan duduk di sofa berhadapan dengan Sabrina, yang membuat gadis itu segera mendudukkan dirinya. "Kamu tahu, sebenarnya aku bisa saja mendapatkan perempuan manapun yang bisa aku nikahi. Aku tidak melakukannya bukan karena aku tidak laku. Hanya saja aku lebih suka membuat Omaku marah dengan pilihanku." Abraham terkekeh. "Aku adalah pria dewasa berusia 32 tahun. Bukan waktunya untuk bermain-main. I know, kita baru kenalan. Memang sangat aneh jika kita tiba-tiba sudah menikah, tapi takdir tidak ada yang tahu bukan?" Sabrina menganggukkan kepalanya sebagai respon. Lagi pula meskipun Abraham tidak bergerak, maka dirinya yang lebih dulu bergerak untuk mendekati pria ini dengan berbagai macam cara. "Usiaku saat ini sudah 32 tahun. Itu artinya aku masih memiliki kesempatan hidup 68 tahun lagi." "Kalau Pak Dokter meninggal bulan depan bagaimana?" Abraham yang sedang duduk tegak langsung meletakkan kedua sikunya di atas paha sambil menatap tajam pada Sabrina. Pertanyaan bernada polos dengan wajah yang polos tentu membuat Abraham ingin sekali meremas wajah gadis di hadapannya ini. "Apa kamu mendoakanku mati bulan depan?" "Eh? Bukan seperti itu." Sabrina tergagap sambil melambaikan tangannya. Gadis itu tersenyum canggung, membuat Abraham terkekeh dan meletakkan map di hadapan Sabrina. "Ini adalah surat perjanjian pernikahan kita. Aku membaca poin-poinnya saja." Abraham berdeham. "Pertama, kita bisa melakukan hubungan suami istri jika di antara kita saling menyukai satu sama lain. Kedua, tidak ada orang ketiga di antara kita selama kita masih menjadi pasangan suami istri. Ketiga, istri harus patuh dan menuruti apa perkataan suami. Ke empat, kebutuhan istri akan disiapkan oleh suami begitu pula sebaliknya. Jadi, apa yang kamu butuhkan kamu bisa katakan langsung padaku." Sabrina ikut membaca poin-poin yang dibacakan oleh Abraham. Perempuan cantik itu menganggukkan kepalanya. "Jika salah satu di antara kita menggugat cerai suatu hari nanti, yang menggugat akan memberikan kompensasi. Misalnya, jika aku yang menggugat, maka seluruh harta kekayaan atas namaku akan diberikan padamu." Abraham memiringkan kepalanya ke samping. "Bukankah ini baik untukmu? Setidaknya, meskipun kamu berstatus sebagai janda, kamu memiliki kekayaan berlimpah. Kalau dipikir dengan logika, ini jelas sangat merugikan aku. Aku pria tampan, mapan, dan punya pekerjaan bagus. Sementara kamu hanya seorang cleaning service, dengan wajah yang cantik. Lebihnya, tidak ada kelebihan yang bisa dibanggakan darimu." Pria itu berbicara dengan terang-terangan. Tak peduli jika Sabrina bisa saja sakit hati dengan ucapannya. "Lalu, bagaimana jika aku yang menggugat lebih dulu?" Abraham menganggukan kepalanya. "Konpensasinya sangat ringan. Tidak akan merugikan kamu dan tidak akan menyulitkan kamu jika kamu yang menggugat perceraian lebih awal." "Apa itu kompensasinya?" Kepala Sabrina miring ke samping menatap Abraham. Manik mata mereka berdua bertemu membuat Abraham tersenyum miring. "Aku hanya ingin kamu melahirkan 21 bayi untukku sebagai kompensasi perceraian. Tugasmu hanya melahirkan, tidak begitu sulit karena aku yang akan menyediakan jasa babysitter." Wajah polos Sabrina langsung berubah shock dengan mulut menganga lebar saat mendengar persyaratan kompensasi bagi dirinya yang menggugat cerai Abraham terlebih dahulu. "Ini sangat merugikanku. Orang normal mana yang bisa melahirkan 21 bayi kembar. Ini sama saja membahayakan nyawaku." Sabrina menggelengkan kepalanya dengan panik. 21 bayi jelas itu adalah manusia semua, orang normal tidak akan bisa melahirkan dalam jumlah sebanyak itu. "Kalau itu kamu tenang saja. Teknologi sudah semakin canggih, kamu bisa sekali melahirkan dua atau tiga bayi. Lima bayi juga tidak masalah, selama dokter yang menangani kamu adalah dokter ahli di bidangnya." Abraham membalas dengan santai. "Aku bahkan memiliki seorang teman di China yang memiliki 24 orang anak. 21 anak itu adalah diskon yang aku berikan untukmu. Sebenarnya aku ingin 30, hanya saja, aku kasihan pada tubuhmu." Abraham menatap prihatin pada Sabrina. Dalam hati Sabrina mulai mempertanyakan kewarasan Abraham. Melahirkan 21 manusia saja itu jelas agak mustahil baginya. Diskon katanya? Apakah ini jual beli barang atau bagaimana? Batin Sabrina bertanya-tanya. "Bagaimana? Kamu setuju saja. Meskipun kamu menikah denganku, kamu juga tidak rugi. Aku memiliki kekayaan yang berlimpah, belum lagi warisan yang akan diberikan oleh Oma dan juga papaku, wajahku juga sangat tampan sehingga banyak perempuan terpesona. Bahkan, laki-laki pun menyukaiku. Jadi, tidak akan sial bagimu menikah dengan aku. Aku juga akan setia dan berjanji tidak akan pernah menghadirkan perempuan lain di dalam rumah tangga kita." Ayolah, menikah saja ini sudah agak disesali oleh Abraham karena menurutnya perempuan adalah momok paling menakutkan yang banyak maunya. Namun, setelah mengenal Sabrina selama beberapa hari ini tentunya ia tahu jika Sabrina jelas bukan perempuan yang kebanyakan dikenal oleh Abraham. "Kenapa kamu diam? Tidak usah banyak pikir seperti itu. Menikah denganku santai saja. Kamu layani aku di ranjang iya, tidak juga tidak masalah." Abraham menatap Sabrina dengan tatapan tak terbaca. Sementara Sabrina sendiri fokus menatap pada poin-poin yang tercatat di dalam berkas yang diberikan oleh Abraham padanya. Tidak ada hal yang merugikan dirinya maupun Abraham selama mereka berstatus sebagai pasangan suami istri. "Aku tidak menyetujui tentang kontrak pernikahan yang membahas soal perceraian dan batas waktu. Aku terlalu malas untuk terlibat drama. Terutama ketika nanti kamu jatuh cinta padaku dan memohon-mohon padaku untuk tidak diceraikan, ah, membayangkannya saja aku tidak tega." Seperti biasa, Abraham dengan sifat penuh percaya diri membuat Sabrina menatap ke arahnya. Apakah lelaki penuh percaya diri seperti Abraham ini benar-benar cocok untuk dijadikan suami? Batin Sabrina mulai mempertimbangkan keputusannya yang memang agak terburu-buru. Sabrina menggeleng pelan kepalanya lalu membaca setiap bait tulisan yang diketik dengan tinta merah tersebut. Lalu, setelah dirasa tidak ada yang dirugikan, perempuan cantik itu akhirnya membubuhi tanda tangannya. Baru kemudian Abraham membubuhi tanda tangan di sebelahnya. "Kita harus bersatu untuk membuat oma darah tinggi." Abraham merapikan berkas di atas meja kemudian dimasukkan ke dalam map. Pria itu bangkit berdiri membuka lemari yang berada di dalam Walking kloset miliknya kemudian menunduk sedikit untuk menyimpan berkas-berkas penting yang baru ditandatangani di dalam brankas. "Maksud Pak dokter apa?" Sabrina bertanya dengan kebingungan. "Maksudku simpel saja, aku suka membuat Oma aku darah tinggi." Abraham kembali ke tempat duduknya dan menatap Sabrina. "Ngomong-ngomong, kita sekarang udah jadi pasangan suami istri. Jadi, kamu tidak perlu memanggilku dengan sebutan Pak dokter. Panggil aku Mas Abraham, biar kita kelihatan seperti manusia." "Memangnya sekarang kita terlihat seperti apa?" Sabrina mengerut keningnya kebingungan. "Sekarang ini aku seperti bidadara yang menikahi Upik abu." Abraham menjawab dengan santai. "Aku sangat mengantuk. Kamu tidak ingin tidur?" "Aku tidur di sofa saja." "Oh, terserah kalau kamu memang mau tidur di sofa. Kalau mau pindah ke tempat tidurku, juga tidak masalah. Aku tidak akan menyentuhmu lebih dari apapun, Jika kamu tidak mengizinkannya." Abraham mengedipkan matanya pada Sabrina kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat tidur sambil membuka kancing kemeja yang dikenakannya. Sedangkan Sabrina langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Lampu utama di dalam kamar langsung dimatikan. Hanya menyisakan lampu kecil untuk menjadi penerang remang di dalam kamar tersebut. Sabrina memejamkan matanya. Ini hari pertama dirinya tinggal di kediaman keluarga Abraham. Lusa dia bisa masuk ke bekerja setelah izin dengan alasan jika ia pulang kampung. Sabrina akhirnya terlelap dalam tidurnya. Begitu juga dengan Abraham yang langsung tertidur lelap. Pukul 02.00 dini hari, Abraham terbangun dari tidurnya kemudian melangkah mendekati sofa. Masih dengan kantuk yang dirasa, pria itu mengangkat tubuh Sabrina kemudian dipindahkan ke tempat tidurnya. Abraham merebahkan tubuhnya di samping Sabrina dan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Abraham melakukan hal ini dibawah alam sadarnya. Sabrina juga yang merasa kelelahan tidak sadar jika dia sudah berpindah posisi. Tak lama pintu terbuka rupanya Abraham lupa mengunci pintu kamarnya. Sosok wanita dengan rambut yang sudah memutih melangkah masuk kemudian memperhatikan sekeliling kamar Abraham untuk memastikan apa yang ada di dalam pikirannya. Sayangnya, wanita itu hanya bisa mendengus dan kecewa karena melihat Abraham yang tertidur dengan posisi memeluk perempuan yang tidak direstuinya untuk menjadi istri dari Abraham sendiri. "Bagaimanapun caranya aku harus memisahkan mereka." Perempuan berambut putih itu berkomentar dengan menatap tajam dua sosok yang saat ini berada di atas tempat tidur. Sosok itu kemudian keluar dari kamar dengan perasaan kesal dan juga benci karena apa yang dipikirkannya tidak sesuai dengan apa yang dilihat oleh matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN