Bagian 18. Mengagumi namun gengsi

1092 Kata
Abraham terbangun dari tidur lelapnya di tengah malam, bulan sabit tergantung di langit dan mengirimkan cahaya perak yang lembut ke dalam kamar. Dengan hati-hati, ia menoleh ke samping tempat Sabrina, istrinya, yang tengah terlelap dalam damai mimpi. Abraham menyibak rambut hitam Sabrina yang menutupi wajahnya, membiarkan cahaya bulan memperlihatkan kecantikan alami yang dimiliki Sabrina. Tentu dengan perasaan yang dipenuhi oleh kekaguman, Abraham menatap wajah Sabrina yang tenang dan damai. Kulitnya yang halus terasa seperti sutra di bawah sentuhan jemarinya. Detik demi detik berlalu, namun Abraham tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah istri itu. Dalam kesunyian malam yang hanya ditemani oleh suara desiran angin di luar, Abraham tak henti-hentinya mengungkapkan dalam hati betapa ia merasa beruntung memiliki Sabrina sebagai pendamping hidupnya. Emosi yang mendalam membuat d**a Abraham terasa hangat, sebuah perasaan bahagia yang tak tergambarkan dengan kata-kata. Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat tiba-tiba melamar Sabrina dan menjadikannya istri. Tidak ada kebetulan di dunia ini bagi Abraham karena semuanya memang sudah terencana. Pria itu menyunggingkan senyum miring. Dengan gerakan yang hampir tak terdengar, Abraham perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Sabrina dengan napas tertahan, ia mencuri ciuman singkat di bibir Sabrina, berharap tidak membangunkannya dari tidur yang nyenyak. "Aku mungkin terlihat agak tidak gentlemen karena mencuri kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Namun, belum saatnya kamu tahu semuanya, Sabi." Abraham bergumam pada dirinya sendiri. Tangannya bergerak mengusap wajah lembut istrinya itu dengan gerakan yang tentunya sangat ringan dan halus agar tidak membangunkan Sabrina. Abraham kemudian kembali merebahkan kepalanya di bantal, menatap langit-langit kamar sambil terus memegang tangan Sabrina. Di dalam keheningan malam, ia merenungkan tentang apa yang terjadi pada dirinya beberapa waktu ini. "Aku berjanji akan terus memegang tangan ini sampai kapanpun. Bagaimanapun, aku sudah membuka peluang untuk kita bersama, itu tandanya kamu selamanya akan tetap bersamaku." Abraham tersenyum miring. Pria itu akhirnya memejamkan mata dan ikut larut dalam. Beberapa menit setelah itu Sabrina yang terlelap akhirnya membuka kelopak matanya. Sebelah tangannya bergerak untuk menyentuh bibirnya yang dikecup oleh Abraham. Gadis itu menolehkan kepalanya menatap Abraham yang terlelap di sebelahnya. Setelah itu Sabrina kembali larut dalam mimpi dan menganggap apa yang baru saja terjadi tidak pernah ada. Jarum jam berdenting dan sudah menunjukkan pukul 1 lebih 20 menit dini hari. Ini pertanda jika sudah banyak orang yang terlelap di jam segini. Warti tiba-tiba merasakan haus membuat wanita tua itu mengambil gelas kosong di atas nakas. Helaan napasnya terdengar di dalam kamarnya yang luas saat melihat gelasnya yang kosong. "Kenapa aku bisa lupa untuk mengisi gelas dulu tadi? Kalau begini aku yang repot. Mau memanggil pelayan juga percuma karena kamar mereka jauh dari sini. Argh!" Warti menggerutu dengan kesal. Wanita tua itu akhirnya turun dari tempat tidur membawa gelasnya. Langkahnya langsung tertuju ke arah dapur yang jaraknya cukup jauh dari kamarnya saat ini. Lampu utama tidak dinyalakan dan hanya menyisakan lampu hias atau mengandalkan pencahayaan dari luar. Wanita tua itu menuju dapur dengan perasaan was-was. Entah mengapa ia memiliki firasat tidak enak. Warti berdiri di ambang pintu dapur, tangan kirinya masih memegang gagang pintu, sementara tangan kanannya meraba-raba gelas kosong. Hening seketika, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menembus keheningan malam. Rasa dingin menusuk tulang belulangnya, membuat bulu kuduknya berdiri. "Kenapa aku merasa seperti sedang diawasi?" gumamnya dalam hati, sambil matanya mencari-cari sumber rasa tidak nyaman yang melandanya. Langkah kaki pelan terdengar dari sudut dapur, namun ketika ia memalingkan kepala, tidak ada siapa-siapa di sana. Jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menyelimutinya. Warti mengambil napas dalam, berusaha menenangkan diri, namun ketakutan itu tidak kunjung pergi. Ia berjalan perlahan menuju meja, hendak mengisi gelasnya dengan air. Namun, saat ia memutar mengangkat teko, matanya tertangkap sesuatu di luar jendela dapur yang tidak tertutup oleh hordeng. Bayangan seorang wanita dengan rambut panjang hitam terurai, melintasi jendela dengan cepat, seolah-olah mengawasi. Warti terpaku, napasnya terhenti sejenak. Tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, seakan-akan waktu berhenti. "Siapa itu?" bisiknya dengan suara serak, namun tak ada jawaban. Gelas yang ia pegang terjatuh, pecah berderai di lantai dapur, menambah ketegangan malam itu. Dengan langkah gontai, ia mundur perlahan, ingin segera meninggalkan dapur yang tiba-tiba terasa begitu menyeramkan. Namun, ketika ia berbalik, bayangan itu kembali melintas, kali ini lebih lama, seakan mempermainkan rasa takut yang melumpuhkan Warti. Bibir Warti bergetar hebat, keringat dingin bercucuran membasahi dahinya yang keriput. Matanya yang sembab memandang dengan tatapan kosong ke arah jendela dapur tempat sosok bayangan hitam itu baru saja melintas. Napasnya tersengal, seakan-akan udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi langka. "Ap-apa itu? Itu tadi apa?" gumam Warti dengan suara yang hampir tak terdengar, seakan-akan kata-kata itu terbentur di tenggorokannya yang kering. Saat tangan dingin menyentuh pundaknya, Warti melonjak ke belakang dengan mata terbelalak, seolah-olah melihat hantu. "Siapa kamu? Jangan ganggu aku!" teriaknya dengan suara parau, dipenuhi ketakutan yang mendalam. Namun, yang berdiri di belakangnya adalah sosok familiar yang sering terlihat di rumah besar itu. "Nyonya, ini saya, Rudi. Nyonya kenapa? Ada apa?" Kepala pelayan itu memasang wajah cemas, matanya memeriksa sekeliling untuk mencari sumber ketakutan Nyonya Warti. Dengan napas yang masih tersengal, Warti membalikkan tubuhnya dan menatap Rudi dengan mata yang masih terbuka lebar. "Rudi, tadi ... tadi ada yang melintas di jendela, hitam, besar, seperti ... seperti ...." Warti tidak bisa melanjutkan kata-katanya, mulutnya bergetar dan suaranya tercekat. Rudi segera mengambil langkah mendekat, menopang lengan Warti yang gemetar, mencoba menenangkannya dengan kata-kata penuh kelembutan. "Nyonya, mari kita duduk dan tenang. Mungkin itu hanya bayangan, Nyonya. Rumah ini aman, saya tidak pernah melihat sosok yang Nyonya maksud." Rudi adalah kepala pelayan yang sudah lama bekerja di rumah ini..Tentu pria itu tahu jika rumah ini sangat aman dan nyaman. Jauh dari kata mistis. Seluruh lampu dinyalakan dan beberapa orang langsung muncul karena mendengar suara gaduh dari arah dapur. Bagian, Adam yang baru saja akan memejamkan matanya ikut keluar menghampiri Warti yang saat ini sedang berusaha untuk ditenangkan oleh kepala pelayan bernama Rudi. "Ada apa ini, Rudi? Kenapa dengan ibu saya?" Pak Adnan menatap kekacauan di dapur, kemudian beralih menatap Rudi dan juga ibunya. "Saya juga tidak tahu, Tuan. Tiba-tiba saja Nyonya sudah berteriak. Saya datang, dan nyonya memang sudah seperti ini." Adnan mendekatkan tubuhnya pada sang ibu. "Ibu kenapa?" Pria itu menatap wanita yang sudah melahirkannya itu yang kini sudah tampak ketakutan. "Ibu melihat hantu. Hantu yang sangat menyeramkan." "Hantu?" ujar Abraham yang baru tiba. "Haha, Oma ada-ada saja. dimana ada hantu di dunia ini." Warti mengangkat kepalanya. Ekspresi ketakutannya berubah saat melihat sosok yang berada di belakang Abraham. "Itu kamu, iya! Itu kamu tadi yang menakut-nakuti saya!" Sontak semua pasang mata langsung menoleh ke arah di mana sosok yang ditunjuk oleh Warti berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN