Bagian 17. Bertemu Askara

1035 Kata
Sabrina duduk dengan tenang di dalam mobil yang saat ini sedang melaju menuju arah komplek tempat perumahan keluarga Smith. "Apa pekerjaanmu selain sebagai cleaning service, kamu juga bekerja sebagai tukang mengamen di jalanan? Tapi aku tidak melihat keberadaan alat musik yang biasa dimainkan oleh pengamen jalan," ujar pria di sebelah Sabrina. Jangan tanyakan Sabrina karena gadis itu hanya duduk dengan tenang menatap pada pemandangan di hadapannya. "Teman kamu itu yakin tidak mau diantar? Takutnya nanti dia tersesat atau merasa iri sama kamu karena naik mobil bagus," ujarnya lagi setelah tak mendapat respon dari Sabrina. "Sabrina, kamu dengar tidak apa yang aku katakan?" "Dengar, kok, Mas," sahut gadis itu. "Aku tadi habis makan di warung makan dengan temanku tadi yang namanya Mbak Riyanti." "Aku tidak menanyakan nama dia. Tidak penting juga bagiku," timpalnya acuh. "Bukannya tadi Mas Aska bertanya?" "Kapan aku bertanya tentang nama gadis itu?" Sabrina memilih bungkam daripada harus berdebat dengan Aska yang memang sepertinya sedang PMS hari ini mengingat apapun yang keluar dari mulutnya agak salah di mata pria itu. "Kenapa kak Abra masih mengijinkan kamu untuk bekerja? Kalau aku sudah punya istri, aku tidak akan izinkan dia bekerja." Aska berkata dengan entengnya. "Kamu pasti tidak dinafkahi oleh kak Abra?" "Bukan seperti itu. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku dengan bekerja saja. Mau bekerja kantoran juga tidak bisa soalnya aku tidak memiliki ijazah. Pengennya lanjut sekolah tapi tidak punya biaya." Sabrina berkata dengan tenang dan santai sambil melirik ke arah Aska. "Kalau kamu mau sekolah tinggal bilang Kak Abra. Keluarga kami memiliki sekolahan. Kamu bisa masuk dan menjadi murid baru di sekolah itu. Tenang saja, kamu bisa masuk lewat jalur orang dalam. Apalagi kamu istrinya Kak Abra." "Aku masuk sekolah SMA lagi? Apa tidak aneh karena aku sudah tua dan masih masuk sekolah SMA?" Sabrina terkekeh dan merasa jika apa yang dikatakan oleh Aska memang agak lucu. "Kenapa kamu tertawa? Apa yang tidak bisa dilakukan oleh yang punya yayasan sekolah?" Aska mendengus. "Wajah kamu juga tidak terlalu tua-tua amat. Kalau kamu masuk sekolah, orang juga tidak akan ada yang mengira kalau usia kamu sudah 22 tahun. Selain kulit kamu yang terlalu putih, wajah kamu agak baby face. Tidak ada yang menyangka kalau kamu berusia 22 tahun." "Begitu? Aku hanya takut tidak bisa menerima pelajaran, mengingat aku dulu hanya lulusan SMP. Itupun ijazah milikku tinggal di rumah bibiku yang terbakar hangus." "Sudah kukatakan, kamu bisa masuk lewat Kak Abra." Tepat pada saat selesai mengucapkan kalimat tersebut, mobil yang dikendarai oleh Aska akhirnya tiba di halaman depan kediaman Smith. Keduanya langsung turun dari mobil dan tepat pada saat itu juga mobil yang dikendarai oleh Abraham tiba di sebelah mobil Aska. Pria itu spontan mengerut keningnya ketika melihat keberadaan sepupunya bersama istrinya turun dari mobil yang sama. Abraham menghampiri Sabrina dan berdiri di sebelah gadis itu. "Kenapa kalian bisa pulang bersama? Satu mobil lagi," ujar Abraham menatap Aska. Jangan lupakan tatapan tajamnya yang dilayangkan pada sepupunya yang saat ini sedang cengengesan bukan justru menjawab pertanyaannya. "Tadi aku tidak sengaja mengangkut istri Kakak di jalanan saat sedang mengamen." Jawaban melantur Aska membuat Abraham semakin mempertajam tatapannya. "Oke, aku katakan kalau aku tidak sengaja bertemu dengan Sabrina di jalan saat dia akan pulang. Sekalian saja aku tawarkan dia untuk pulang bersama. Tidak salah bukan?" Aska akhirnya mengangkat kedua tangannya. "Boleh aku masuk?" Abraham menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi. Segera Aska melarikan diri dari hadapan Kakak sepupunya itu. Sabrina yang baru saja akan ikut melangkah masuk tiba-tiba merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak saat lengan Abraham kini sudah melingkar di pinggangnya. Sabrina mengerut keningnya. Gadis itu segera mendongakkan kepala menatap Abraham. "Ada apa, Mas?" "Kenapa bisa pulang dengan Aska?" Kali ini pertanyaan diajukan pada Sabrina bukan pada Aska lagi. "Tadi Mas Aska sudah jawab. Aku memang tadi tidak sengaja bertemu dengan Mas Aska saat sedang menunggu taksi." Sabrina menjawab dengan tenang. "Kenapa memangnya, Mas?" "Tidak ada. Hanya saja lain kali, kamu harus berhati-hati. Aska adalah Playboy yang bisa meluluhkan hati semua gadis yang dekat dengannya. Lalu setelah itu dia akan meninggalkan gadis-gadis itu. Aku hanya tidak ingin kalau sampai hal ini terjadi sama kamu. Bukan apa-apa, aku kasihan sama kamu yang masih polos tapi bisa termakan bujuk rayu setan seperti Aska." Abraham melepaskan lengannya dari pinggang Sabrina kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam, meninggalkan Sabrina yang tercengang mendengar jawaban yang dilontarkan oleh suaminya itu. "Aneh sekali," gumam Sabrina bingung. Mengangkat bahunya, gadis itu kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dan menemukan Aska saat ini sudah duduk di ruang tamu bersama Warti yang sudah kembali. Ekspresi wajah Warti langsung berubah tajam ketika tatapan matanya bertemu pandang dengan Sabrina. Masih segar dalam ingatannya bagaimana cucu dan anak laki-lakinya yang berdebat dan membela Sabrina daripada dirinya. "Bau sekali. Ini benar-benar bau busuk yang sangat menyengat," ujar Warti secara tiba-tiba. "Bau apa memangnya Oma? Soalnya dari tadi aku masuk dan duduk di sini, tidak ada bau apa-apa sama sekali." Aska mencium bau tubuhnya dan aroma parfum masih melekat pada pakaian yang dikenakan olehnya. Tidak ada bau aneh sama sekali. Begitu juga dengan ruangan yang tampak segar tidak tercium bau busuk yang dimaksud oleh oma Warti. "Masa sih kamu tidak mencium baunya? Oma padahal sudah mencium baunya dari jarak jauh. Bau bangkai," tutur Oma Warti. "Mungkin itu bau tubuh oma yang sebentar lagi akan menghadap pada sang pencipta. Benar begitu, Oma?" Abraham tertawa menatap pada wanita tua di hadapannya. "Oma harus rajin-rajin mandi dan bersih-bersih. Tidak tahu kapan Oma dipanggil sama yang kuasa, tapi lebih baiknya lagi jika Oma pergi dalam kondisi wangi," tambah pria itu. Ekspresi wajah Warti berubah tajam menatap kesal dengan apa yang diucapkan oleh Abraham. "Kamu jangan terlalu kurang ajar dengan Oma kamu sendiri, Abra. Tidak sopan sama sekali kamu ini," tegur wanita tua itu. "Siapa yang bilang aku tidak sopan? Aku tidak mengatakan kalimat yang menyinggung siapapun. Jadi, jangan terlalu denial." Abraham tersenyum. Pria itu kemudian bergerak merangkul pinggang istrinya. "Ayo, kita masuk ke dalam. Kita harus mesra-mesraan, biar nanti pas kita sudah sama-sama tua sudah puas bermesraan dan tidak iri lagi dengan hubungan pasangan muda anak dan cucu kita." Abraham tersenyum dan mengedipkan matanya pada Sabrina, lalu membawanya pergi masuk ke dalam meninggalkan Warti yang saat ini sudah marah-marah dan Aska yang akhirnya mengerti ke arah mana pembicaraan Omanya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN