Bagian 16. Ayam Bakar Sambal Setan

1215 Kata
Abraham pulang ke rumah dan tidak bertemu dengan Alexa karena gadis itu ternyata sudah berangkat lebih dulu daripada dirinya yang tiba di rumah. Rumah tampak lengang karena para penghuninya pergi beraktivitas di luar. Hanya menyisakan para pelayan yang bekerja. Abraham langsung menuju lantai 2 untuk membersihkan dirinya. Pria itu langsung terlelap setelahnya dan terbangun pada siang hari. "Lebih baik aku cari makan di luar saja." Abraham hanya tidur beberapa jam lalu keluar dengan keadaan fresh. Pria itu memainkan kunci mobilnya sambil bersiul dan bersiap untuk melangkah keluar dari rumah ketika berpapasan dengan Celine. "Kak Abra? Kak Abraham mau ke mana?" Celine menatap Kakak tirinya itu dengan mata berbinar. Ketiga kakak laki-lakinya tidak ada yang memiliki wajah jelek. Semuanya tampan-tampan dan tentunya Celine akan lebih senang membanggakan ketiga Kakak laki-lakinya itu pada teman-temannya yang lain. Celine sendiri masih duduk di bangku kuliah. Usianya 2 tahun lebih muda dari Sabrina, meski begitu penampilannya jauh lebih dewasa karena make up menor yang selalu dikenakan olehnya. "Cari makan di luar," sahut Abraham ketus. "Kalau begitu boleh tidak Celine ikut Kakak makan siang di luar? Kita udah lama tidak makan siang bersama," tanya Celine. Manik mata berbinar menatap pada Kakak tirinya berharap agar ia bisa dibawa keluar untuk cari makan bersama. "Tidak bisa. Aku mau makan siang bersama Zaidan dan Felix. Jadi kamu tidak bisa ikut," tolak Abraham secara terang-terangan. Pria itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari rumah utama meninggalkan Celine yang merenggut kesal karena ditinggalkan begitu saja padahal ia masih ingin untuk makan siang bersama kakak tirinya itu. Terutama ketika ia mendengar nama Zaidan dan Felix tentu membuat ia semakin membara. Sayang sekali ia tidak bisa ikut karena memang Kakak tirinya itu melarang. Ekspresi wajah Celine berubah merenggut lalu melangkah pergi menuju kamarnya. Jangan tanyakan Abraham yang saat ini sudah mengendarai roda empatnya menuju restoran tempatnya sudah membuat janji dengan Zaidan dan juga Felix. Meskipun tidak membuat janji dengan mereka berdua tetap saja Abraham tidak akan Mau mengajak Celine. Sesampainya di restoran ternyata Zaidan dan juga Felix sudah lebih dulu tiba. "Sorry, bro terlambat. Maklum aja jalanan macet. Kalian berdua sudah lama menunggu?" Abraham menyapa keduanya dengan bersalaman ala laki-laki, kemudian duduk dan menanyakan seberapa lama kedua sahabatnya itu sudah menunggu di sini. "Masih belum lama menunggu. Mungkin baru 7 menit 36 detik. Ngomong-ngomong, kamu tidak membawa istrimu itu?" Zaidan menggelengkan kepalanya, lalu menatap Abraham dengan tanya yang terlihat dari raut wajahnya. Dari grup yang dikirim oleh Abraham ke mereka tentu mereka tahu jika Abraham sudah menikah dengan seorang perempuan bernama Sabrina. Lebih anehnya lagi perempuan itu berprofesi sebagai cleaning service di rumah sakit tempat Abraham bekerja. Menurut mereka agak mencengangkan mengingat profesi Abraham bukan hanya sebagai seorang dokter tapi juga memiliki banyak usaha atas namanya. "Tidak. Dia saat ini sedang bekerja. Jadi aku tidak mau merepotkannya dengan mengajaknya untuk berkenalan dengan kalian." Abraham menyahut dengan santai. "Apa kamu yakin kalau dia benar-benar seorang cleaning service? Kenapa rasanya aku kurang percaya, mengingat jika kamu tidak mungkin menikah dengan wanita sembarangan." Kali ini Felix menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya. "Kalian tidak usah menebak-nebak. Faktanya dia cuma cleaning service biasa. Lagi pula, aku sengaja menikahinya karena aku tahu Oma pasti akan sangat marah. Belum lagi saat Oma tahu jika pekerjaannya sebagai cleaning service, membuatnya benar-benar marah saat itu dan aku senang." Abraham terkekeh membayangkan ekspresi wajah Omanya yang begitu marah saat mengetahui perempuan yang dinikahinya berada di level paling bawah. "Bukan karena alasan lain?" Abraham tersenyum miring menatap Zaidan sambil menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak ada alasan lain." Pria itu kemudian mengalihkan tatapannya dan langsung memanggil pelayan untuk memesan makanan mereka. Di sisi lain, Sabrina sudah menyelesaikan tugasnya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Gadis cantik itu menyelendang tas di pundaknya, kemudian melangkahkan kaki dan bertemu dengan Riyanti. "Kamu langsung mau pulang? Tidak ada niat untuk makan dulu? Aku mau traktir kamu makan di tempat Bang Anton kali ini. Tapi harus aku yang traktir. Aku bukannya tidak tahu kalau kamu ternyata sudah membayar lunas kontrakan kita selama 1 tahun ke depan. Anggap saja ini sebagai bentuk ucapan terima kasihku karena kebaikan kamu." Riyanti berkata panjang lebar menatap Sabrina. "Bagaimana menurutmu?" Tidak lupa gadis itu menaik turun alisnya hingga membuat Sabrina tentu tidak bisa menolak. Kali ini mereka memilih untuk makan di rumah makan Bang Anton yang lokasinya agak jauh dari rumah sakit. Tentunya mereka tidak pergi ke warung tempat di mana Bang Husein jualan karena saat ini memang masih sangat ramai. "Ayam bakar sambal setan memang paling enak dan juara. Kamu mau pesan itu? Tidak takut sakit perut lagi? Jangan seperti waktu itu, kamu tiba-tiba sakit perut karena makan pedas." Diingatkan kembali dengan kejadian lalu tentu membuat Sabrina meringis malu. Saat itu sebenarnya ia pura-pura pergi duluan bukan karena ia sedang mengalami sakit perut karena makan pedas tapi karena ada misi yang harus dijalankan. "Saat itu memang aku sedang tidak enak perut ditambah makan pedas jadinya kumat. Kalau sekarang tidak apa-apa kalau makan makanan pedas." Sabrina berkata santai. "Ayo, Mbak, pesan makanannya." Riyanti segera menganggukkan kepalanya. Gadis itu memesan ayam bakar sambal setan pada pelayan yang memang bertugas. Baru kemudian mereka duduk santai dan menceritakan masalah yang terjadi. "Aku benar-benar penasaran dengan pembobolan data yang ada di rumah sakit. Sebenarnya orang gila mana yang berani masuk ke rumah sakit ini untuk mencuri data?" Riyanti memulai obrolan. "Paling anehnya lagi, petugas kepolisian sudah berusaha untuk mencari pelaku tapi tidak juga ketemu. Aneh bukan?" Sabrina mengerut keningnya. "Aneh sekali memang, Mbak. Seharusnya yang dicuri bukan data tapi uang. Kan, uang jauh lebih bermanfaat," sahut Sabrina polos. Segera Riyanti menepuk pundak Sabrina sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu salah kalau begitu, Sab. Bisa aja data-data itu sangat penting dan kalau minta tebusan mungkin uang yang diminta pasti bakalan banyak lagi. Itu menurut prediksiku." "Bisa juga, Mbak. Kalau masalah orang kaya memang sangat ribet sekali ya mbak. Beruntung Kita terlahir dari keluarga sederhana." Sabrina mengerjap matanya dengan polos membuat Riyanti yang melihatnya gemas. "Kalau aku lebih baik terlahir dari keluarga kaya raya walaupun banyak masalah. Setidaknya aku bisa makan dan minum enak tanpa harus kerja ngosek WC segala. Lihatlah aku terlahir dari keluarga miskin, harus kerja keras banting tulang." Sabrina yang mendengarnya langsung meringis sekali lagi. Menurutnya baik orang miskin maupun orang kaya memiliki masalah mereka masing-masing. Keduanya langsung menyantap nasi yang dicampurkan dengan ayam bakar sambal setan hingga keduanya sama-sama berkeringat. Setelah selesai menyantap makan siang mereka dengan perut yang terasa sudah agak enakan, keduanya kemudian melangkah menyusuri jalan. Niatnya ingin mencari taksi untuk membawa mereka ke tempat mereka tinggal. Lokasi kontrakan tempat di mana Sabrina dan Riyanti tinggal sebelumnya tidak begitu jauh dari lokasi mereka sekarang. Berbeda dengan lokasi Sabrina yang agak jauh dari tempat mereka saat ini berada. "Kalau aku jadi orang kaya, aku tidak akan bekerja lagi. Kamu sudah menjadi orang kaya kenapa masih bekerja?" Sambil menunggu taksi, Riyanti membuka obrolan. "Tidak apa-apa kalau aku bekerja, Mbak. Dari kecil aku sudah terbiasa bekerja, jadi kalau sudah besar tidak bekerja rasanya tidak enak." "Bener juga. Anehnya justru kalau tidak bekerja, badan terasa sakit-sakit." "Betul itu." Sabrina menganggukkan kepalanya. Keduanya sedang berbincang sambil menunggu taksi datang ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan mereka. "Sabrina!" Suara memanggil tersebut membuat Sabrina tersentak kaget dan menoleh ke sumber. Sosok yang berada di dalam mobil tentu tidak asing baginya hingga membuatnya meringis saat Riyanti menyenggol kakinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN