Bagian 15. Amarah Adnan

1239 Kata
Suasana remang-remang diikuti suara musik DJ yang dimainkan oleh DJ profesional terdengar mengalun di seluruh penjuru yang berada tepat di sebuah klub malam ternama. Banyak jenis manusia yang berada di dalam gedung tempat pencari kebahagiaan tersebut. Seorang wanita dengan langkah anggun dan santainya melangkah memasuki klub malam dengan setelan rok lengan panjang juga rok di atas lutut. Rambutnya berwarna pirang terurai ke sisi samping. Warna kulitnya yang eksotis tentu menjadi daya tarik tersendiri. Wanita itu tersenyum menatap orang-orang yang menatap ke arahnya. Bibirnya dipoles dengan lipstik merah merona, sementara matanya mengenakan eyeliner dengan bulu tebal hingga terlihat tajam. Langkah kakinya dengan santai menuju lantai 2 termasuk ke dalam ruangan di mana sudah ada dua orang laki-laki duduk di dalam ruangan tersebut. "Hei, Sab! Kami mengira kamu akan lama datangnya," sapa seorang pria pada perempuan itu. Sosok yang tak lain adalah Sabrina duduk dengan tenang dan anggun di sofa yang tersedia. Gadis yang berdandan lebih dewasa dari usianya itu tersenyum singkat. "Aku harus menunggu kesempatan dulu untuk bisa keluar." Sabrina membalas. "Semua data-datanya sudah kalian simpan? Aku masih mencari beberapa bukti lainnya yang kuharapkan akan segera ditemukan," ujar Sabrina. "Sudah tersimpan dengan rapi. Kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu," ujar pria lainnya. "Bagaimana kabarmu setelah menjadi seorang istri dari pria kaya raya itu?" "Menyenangkan. Apalagi aku harus berhadapan dengan ibu mertua tiri dan juga nenek dari suamiku," sahut Sabrina. "Ah, aku hampir lupa mengatakan padamu, Sab, setelah misi di rumah sakit selesai, masih ada misi lagi." Ronaldo atau kerap di sapa Ronal mengangkat kepalanya saat menatap Sabrina. "Misi apa lagi? Berikan beberapa misi lagi padaku sebelum beberapa tahun lagi aku akan pensiun." Sabrina menyesap minuman di dalam gelas berukuran kecil yang dituangkan oleh Samuel ke dalam gelasnya. "Kali ini mengungkapkan kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah sekolah menengah atas. Sampai sekarang kasusnya masih ditutupi dan pelakunya belum juga ditemukan." Ronal menjawab pertanyaan Sabrina. "Pihak keluarga menginginkan agar pelaku bisa ditemukan. Pihak keluarga membayar total 3 miliar jika kasus ini berhasil dipecahkan." "Sebesar itu nominalnya?" Kepala Sabrina miring ke samping menatap Ronaldo dengan tak percaya. Biasanya paling 1 miliar untuk satu kali misi yang mereka kerjakan dan tentunya dengan risiko yang sangat tinggi. "Sekolah itu sering terjadi pembullyan yang membuat banyak sekali menelan korban jiwa. Terakhir kali, anak dari seorang pengusaha kaya raya meninggal ditemukan di dalam gudang dalam kondisi tidak bernyawa. Orang tua dari anak itu meminta untuk segera mencari pelakunya. Mereka sudah melibatkan banyak pihak namun tidak mendapatkan hasil. Pelakunya sangat licin," jawab Samuel pada Sabrina. Mendengar itu, Sabrina menganggukkan kepala. "Bisa kirim foto-foto korban ke emailku saja. Aku akan melihat situasi terlebih dahulu sebelum menerima misi ini." Ronal menganggukkan kepalanya. Mereka berdiskusi tidak lebih dari 30 menit, sampai kemudian mereka membubarkan diri dan keluar dari klub malam tersebut. Sabrina diantar oleh Ronald pulang ke rumah. Melewati tempat tersembunyi agar tidak ketahuan oleh pelayan yang lain. 20 menit setelah mereka membubarkan diri, klub malam tersebut digeledah oleh petugas kepolisian yang mendapati laporan jika ada beberapa selebgram maupun artis terkenal yang saat itu sedang mengadakan pesta obat-obatan terlarang. Sabrina menonton berita tersebut saat pagi menjelang ketika ia menyalakan televisi untuk melihat perkembangan berita dari hasil yang mereka lakukan tadi malam. Sabrina tersenyum miring. Perempuan muda itu akhirnya memutuskan untuk pergi membersihkan diri dan turun ke bawah agar bisa sarapan bersama karena ia tahu jika Papa mertua dan juga kakak ipar pertamanya ada di rumah. Benar saja saat tiba di lantai bawah, Sabrina mendengar suara tangisan dan permohonan dari Ina agar tidak dipecat. "Saya mohon, jangan pecat saya, Tuan dan nyonya. Kalau saya dipecat, saya harus makan apa?" Ina menatap Adnan dan juga Antika secara bergantian dengan tangan ditangkupkan di d**a. "Saya sudah mendengar apa yang dikatakan oleh anak pertama saya. Kamu bisa memperlakukan menantu saya seperti itu, tentu karena kamu merasa punya orang yang mendukung kamu 'kan? Kalau begitu kamu minta saja pekerjaan ke dia." Tidak lupa Adnan melirik pada Antika yang langsung menundukkan kepala. "Sudahlah, Adnan. Biarkan saja Ina bekerja di sini. Lagi pula mungkin saja Ina sedang bercanda dengan perempuan itu. Bukankah perempuan itu memang pekerjaannya sebagai tukang bersih-bersih?" Warti duduk dengan tenang dan santai di kursinya, menatap ke arah putranya. "Pekerjaannya memang tukang bersih-bersih tapi bukan di rumah ini. Ibu mau menyamakan kedudukannya dengan pelayan?" Adnan menatap ibunya dengan sebelah alis terangkat. "Dia seorang pelayan saja bisa memperlakukan menantuku seperti itu." Adnan mendengus. "Mas, maafkan saja Ina. Tolong beri dia kesempatan untuk tetap bekerja di rumah ini." Antika menyentuh lengan suaminya. "Kenapa aku harus mengizinkan dia bekerja di rumah ini? Kamu tidak bisa mendidik pelayanmu sendiri. Ini karena ulah siapa? Karena kamu yang memaksa istri Abraham untuk membersihkan lantai tadi malam." Adnan mendengus. "Kemasi barang-barang kamu dan pergi dari sini." "Adnan, kamu tidak mendengar apa yang Ibu bicarakan tadi sama kamu? Biarkan Ina tetap bekerja di sini. Mau bagaimanapun dia sudah lama bekerja di sini. Tidak sepantasnya kamu mau memecat dia hanya karena orang asing yang masuk ke dalam rumah kita." Kali ini Warti menegur dengan suara yang keras, menatap putranya dengan tatapan kesal. "Selamat pagi," ujar Sabrina dengan suara pelannya. Semua pasang mata spontan menoleh ke sumber suara dan menatap Sabrina yang pagi ini sudah tampak fresh. "Ini dia orangnya yang menyebabkan kekacauan di rumah ini. Kamu memang benar-benar tidak tahu malu." Warti berkata dengan sinis. "Saya yakin tadi malam itu semua keinginan kamu yang mau mengerjakan pekerjaan rumah. Gara-gara ulah kamu, Ina harus dipecat." Mendengar perkataan Warti tentu Sabrina menatap terkejut. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya diminta oleh Mama Antika untuk membersihkan lantai dan membiarkan Ina yang mengawasi pekerjaanku. Sebagai menantu yang berusaha untuk berbakti pada ibu mertua, aku menuruti saat Mama Antika meminta tolong padaku." Sabrina meletakkan kedua tangannya di depan dengan jari saling memilin. Ekspresi wajahnya terlihat menyesal dengan mata berkaca-kaca, membuat Adam berdeham "Membersihkan lantai bukan tugas kamu. Kamu duduk saja, kita mulai sarapan bersama," ujar Adam. Jangan tanyakan ekspresi wajah Antika yang sudah tidak enak dilihat. Wanita itu tidak menyangka jika Sabrina akan mengatakan hal itu dengan terang-terangan di depan suami dan juga anak tirinya. Ekspresi wajah Adnan langsung berubah stagna melirik tajam pada Antika. "Kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang memang tidak pantas kamu kerjakan. Kamu adalah istri dari anak saya Abraham. Jadi, Jika ada yang memintamu untuk mengerjakan sesuatu lagi, kamu harus menolaknya." Adnan berkata menatap Sabrina. "Mengerti, Sabrina?" Sabrina yang ditanya menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti, Papa." Ekspresi wajah Sabrina terlihat sungkan dan takut. Melihat itu tentu Adam tidak tega. "Kamu sarapan dulu. Jangan hiraukan mereka. Juga, Ina tetap dipecat dan tidak diperbolehkan untuk bekerja di sana." Wati segera membanting sendok di atas piringnya ketika mendengar apa yang diucapkan oleh cucu dan juga anaknya sendiri. "Kalian tidak mendengar perkataanku dari tadi? Aku bilang biarkan saja Ina untuk bekerja di rumah ini. Lagi pula ini bukan sepenuhnya salah Ina. Aku yang memang meminta Tika untuk menyuruh perempuan ini membersihkan lantai karena pelayan yang lain sudah lelah seharian bekerja," kata Warti sambil meninggikan suaranya. "Oma, kira-kira level siapa yang lebih tinggi untuk Oma bela? Istri dari cucu kandung Oma sendiri atau seorang pelayan yang jelas-jelas melakukan kesalahan? Kalau memang Oma tidak terima pelayan kesayangan menantu Oma dipecat, bagaimana kalau suruh menantu Oma yang membersihkan rumah ini sebagai bentuk tanggung jawabnya atau hukuman atas apa yang sudah dia lakukan?" Adam memiringkan kepalanya ke samping, menatap wanita tua yang selalu membuat masalah. Warti terdiam. Wanita tua itu kemudian berbalik pergi setelah melemparkan tatapan tajamnya pada Sabrina yang masih menundukkan kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN