Bagian 10. Abigail

1289 Kata
Sosok perempuan muda berusia 19 tahun itu melipat tangannya di d**a menatap Abraham dan juga seorang perempuan muda yang baru saja diketahuinya adalah istri dari kakak sepupunya sendiri. Perempuan bernama lengkap Abigail Smith itu terus menatap bergantian pada Kakak sepupunya dan juga istrinya. "Jadi, kak Abraham menikah dengan perempuan ini dan tidak jadi menikah dengan Joanna?" Abigail memiringkan kepalanya ke samping menatap mereka dengan tatapan polos miliknya. "Seperti yang aku katakan tadi," jawab Abraham acuh. "Aku benar-benar tidak menyangka. Sangat plot twist sekali di mana Oma mengatakan jika calon istri Kak Abra adalah seorang model cantik dan terkenal berasal dari keluarga kaya raya. Tapi kenyataannya, Kak Abra ternyata menikah dengan perempuan biasa, dengan wajah yang luar biasa. Ow-ow-ow. Ini sangat menakjubkan." Abigail bahkan bertepuk tangan. "Bagaimana rasanya menikah dengan Kak Abra? Apakah rudalnya besar?" Spontan, Abraham melemparkan sendok yang ada di hadapannya ke wajah Abigail yang beruntung langsung menghindar tepat waktu. Jika tidak, mungkin wajahnya akan terluka karena ulah Kakak sepupunya ini. "Apa tangan Kakak tidak akan patah jika tidak menyentuh wajahku?" Abigail menunduk mengambil sendok yang jatuh ke lantai. "Bisakah mulutmu untuk berhenti berceloteh yang tidak-tidak?" Abraham menatap tajam pada sepupunya yang memang memiliki mulut asal bicara. Ada keturunan dari mana mengingat jika ibunya Abigail yang tidak lain adalah Patricia adalah wanita berkelas dan anggun. "Memangnya kenapa jika aku bercerita yang tidak-tidak? Ini mulut-mulutku sendiri. Kakak tidak berhak untuk melarangku." Abigail membalas. "Ngomong-ngomong, namaku Abigail. Setidaknya kamu lebih baik daripada Joanna, perempuan murah itu sangat menjijikkan di mataku." Tidak lupa Abigail mengulurkan tangannya yang disambut Sabrina dengan membalas uluran tangan gadis itu. "Aku Sabrina." "Tidak perlu menyebutkan namamu, Kak Abra tadi baru saja menyebutkannya." Abigail melepaskan tautan tangan mereka. "Jadi pertemuan pertama kali adalah di rumah sakit dengan Kak Abra sebagai dokter dan Kak Sabrina sebagai cleaning service. Hmm, ini cerita yang menarik untuk dijadikan novel. Coba bayangkan, novelnya akan diberi judul cintaku klepek-klepek pada cleaning service. Agak amazing." Abigail menangkup pipinya menatap pada pasangan suami istri di hadapannya. "Baru pertama kali aku melihat seorang pria berprofesi sebagai dokter mau menikah dengan seorang cleaning service." Abigail berkata dengan santai dan tenang. "Jika Kak Sabrina tidak memiliki wajah yang begitu cantik seperti ini, aku jamin Kak Abrar tidak akan mau." "Bisakah kamu pergi dari sini, Abigail? Berhenti mengoceh yang tidak-tidak. Jika tidak, Kakak akan melaporkan kamu pada Mama kamu kalau Kakak pernah melihat kamu pergi ke klub malam bersama beberapa temanmu." Ancaman tersirat dilontarkan oleh Abraham pada sepupu kecilnya itu. "Kakak pikir aku takut? Kalau kakak tidak memiliki bukti, mamaku tidak akan percaya." Abigail tersenyum pongah tidak merasa takut sama sekali dengan ancaman yang dilontarkan oleh Kakak sepupunya. Abraham tersenyum miring. Pria itu mengambil ponselnya kemudian mengotak-atik sebentar untuk memperlihatkan sebuah video yang diambil dengan cara dizoom memperlihatkan bagaimana Abigail tengah menggoyangkan tubuhnya di lantai dansa. Lokasi tempatnya berada di sebuah klub malam yang cukup terkenal di kota ini. Ekspresi wajah Abigail berubah tidak percaya, sebelum akhirnya gadis itu dengan terburu-buru mengambil tasnya dan pergi dengan kaki dihentakkan. Jangan tanyakan bagaimana Abraham yang merasa menang. Pria itu tersenyum lalu menatap Sabrina. "Makanlah. Setelah ini kita akan pulang ke rumah." Sabrina menganggukkan kepalanya kemudian mulai menyantap hidangan yang disajikan begitu juga dengan Abraham. Setelah selesai, mereka duduk beristirahat sejenak sebelum akhirnya melanjutkan kembali perjalanan pulang ke rumah. Mobil yang dikendarai oleh Abraham akhirnya tiba di halaman depan kediamannya. Abraham segera turun dan membukakan pintu untuk Sabrina. Pria itu tersenyum miring saat melihat wanita tua kini sudah berdiri di depan pintu utama. "Ayo, Sayang." Abraham membukakan pintu lalu menyambut uluran tangan Sabrina. "Terima kasih, Mas." Sengaja Sabrina berkata dengan suara keras ketika tubuhnya tiba-tiba saja ditarik oleh Abraham untuk mereka berpelukan. "Tidak perlu berterima kasih. Ini memang tugas suami untuk menyenangkan istri." Bibir Abraham bergerak menyentuh kening Sabrina hingga membuat si empunya membeku di dalam dekapan Abraham. Jangan tanyakan Warti yang kini sudah berdiri dengan tangan terlipat di d**a. Menatap dingin dan benci pada pemandangan di hadapannya ini. Abraham tersenyum senang. Pria itu kemudian memberi kode pada pengawal yang bertugas mengikuti mereka untuk segera menurunkan barang-barangnya. Segera puluhan paper bag diturunkan dari mobil membuat Warti yang sudah menunggu langsung menegakkan tubuhnya dan tercengang ketika melihat puluhan paper bag berisi berbagai jenis perlengkapan diturunkan begitu saja. "Apa-apaan ini! Kenapa kamu belanja banyak sekali, Abra? Apa kamu sudah mau membuka toko di rumah ini?" Warti berbicara dengan nada kerasnya. Tentu suaranya yang melengking menarik perhatian para pelayan di dalam rumah yang kini sudah melangkah keluar. "Tentu saja ini untuk istriku tercinta. Kami berbelanja menghabiskan uang hampir 400 juta. Tenang saja, aku belum sempat membelikan istriku tas seharga satu miliar. Mungkin aku akan membawanya jalan-jalan ke luar negeri untuk membelikan barang-barang branded. Untuk sekarang ini, istriku hanya dibelikan barang-barang murahan saja dulu." Abraham berkata dengan santai sambil merangkul pinggang Sabrina. "Kamu senang, Sayang?" Sabrina yang ditanya langsung menganggukkan kepalanya. "Aku sangat senang, Mas. Terima kasih banyak." Memulai akting sesuai dengan apa yang sudah diarahkan oleh Abraham waktu mereka di dalam mobil, inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh Sabrina di hadapan Warti yang saat ini sudah mendidih. Sekali lagi Abraham bergerak untuk mencium kening Sabrina hingga membuat perempuan itu kembali berdebar karena ulah yang dilakukan oleh suaminya. "Pokoknya, kalau kamu mau apa-apa langsung bilang sama aku. Aku adalah suami kamu, jadi kamu harus bergantung sama aku. Kalau kamu pengen pakai berlian, juga tidak masalah. Kita bisa pesan dengan pengrajin yang tinggal di Meksiko." Abraham berbicara dengan nada yang agak dikeraskan agar suaranya bisa masuk ke telinga Warti. Jangan tanyakan posisi Warti saat ini yang sudah sangat marah. "Tolong bawa barang-barang istri saya ini ke dalam kamar kami. Pastikan tidak ada yang ketinggalan satupun." Abraham langsung memberi perintah pada pelayan yang berada di depan pintu utama. Mereka tentu langsung bergerak mengambil paper bag dan langsung membawanya masuk ke dalam rumah. Abraham merangkul pinggang istrinya sambil melangkah masuk ke dalam meninggalkan Warti yang masih merasa panas dengan apa yang sudah dilakukan oleh cucunya. "Menghambur-hamburkan uang saja untuk perempuan tidak berguna itu," ujar Warti secara terang-terangan. "Siapa bilang istriku tidak berguna? Istriku sangat berguna. Buktinya tadi setelah aku mandi, aku sudah disiapkan pakaian. Oma pasti tidak pernah melakukan hal ini pada Opa 'kan? Makanya aku beruntung memiliki istri seperti Sabrina." Abraham berbicara pamer menatap Omanya. Pria itu langsung menarik istrinya masuk ke dalam dan kebetulan berpapasan dengan Celine yang sudah bersiap untuk pergi entah ke mana. "Kak Abra, baru pulang? Pasti asik belanjanya," ujar Celine menatap Abraham. Gadis itu tersenyum hanya menatap fokus pada Abraham dan tidak mengalihkan perhatiannya pada Sabrina yang berdiri di sebelah Abraham. "Memangnya kamu lihat arwahku tadi?" Abraham memiringkan kepalanya ke samping. "Pertanyaan basa-basi yang sangat tidak berbobot," ujar pria itu terang-terangan. Abraham kemudian melengos pergi sambil terus merangkul pinggang Sabrina membawanya masuk ke lantai atas di mana kamar mereka berada. Setelah mereka masuk melewati pintu dan terkunci, barulah Abraham melepaskan pelukannya pada istrinya. "Lelah juga kalau harus akting terus seperti ini. Tapi aku suka." Abraham berbicara sambil melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Kamu bangunkan aku jam 6 sore nanti. Soalnya jam 7 aku harus berangkat untuk pergi ke rumah sakit. Ada shift malam." Sebelum memejamkan matanya tentu Abraham sudah memberi perintah pada Sabrina untuk membangunkannya jam 6 petang karena malam ini ia ada shift malam dan mengharuskannya untuk bermalam di rumah sakit. "Iya, Mas. Mau dibawakan bekal untuk makan malam?" "Memangnya kamu yang memasak?" Abraham membuka kelopak matanya sedikit menatap Sabrina yang berdiri di pinggiran tempat tidur. "Aku bakalan bilang sama bibi dibawah untuk memasakkan kamu." "Kalau begitu tidak perlu. Aku bisa makan di luar kalau aku lapar. Bangunkan saja aku sesuai dengan yang aku bilang tadi." Sabrina menganggukkan kepalanya mengerti. Gadis itu kemudian memilih untuk merapikan pakaian-pakaian yang dibeli oleh Abraham tadi ke dalam walking kloset yang sudah disediakan untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN