Bagian 12. Dibobol

1373 Kata
Seorang wanita melangkah dengan pakaian santai yang dikenakan olehnya. Kulitnya yang berwarna kecoklatan dengan rambut pendek tidak menarik perhatian. Atasan mengenakan blouse lengan panjang, sementara bawahnya menggunakan rok ketat selutut. Rambutnya pendek, ditutup dengan bandana berbentuk kelinci. Sesekali perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan sopan pada suster dan beberapa orang yang dilewatinya. Langkah kakinya membawa masuk ke dalam sebuah lift. Perempuan muda itu mengeluarkan sebuah alat berukuran kecil yang ditempelkan ke telinga. "Langsung matikan CCTV sekarang." Memberi perintah pada orang yang di seberang, perempuan itu kemudian langsung meletakkan alat tersebut di telinganya sambil menunggu lift membawanya ke lantai 4. Lantai 4 merupakan tempat-tempat penting yang memang sangat privasi untuk direktur dan juga wakil direktur rumah sakit serta jajarannya. Setelah tiba, pintu lift terbuka, membuat perempuan itu segera melangkah keluar. Pintu lift tidak lagi tertutup dan dibiarkan terbuka begitu saja. "Aku membutuhkan waktu 3 menit 30 detik. Pastikan semuanya terorganisir." Perempuan itu memberi perintah. Ditatapnya sekeliling, tidak mendapati satu orang pun membuatnya segera bergegas melangkah memasuki sebuah ruangan yang memang sudah diintai sejak beberapa waktu lalu. Langkah kakinya dengan pasti memasuki sebuah ruangan dan mulai memakai sarung tangan dengan bahan seperti kulit manusia. Lalu mulai mengobrak-abrik ruangan untuk mencari bukti-bukti yang memang dibutuhkan. Apa yang sudah diacak-acak olehnya tentunya kembalikan ke tempat semula. Perempuan muda itu kemudian mulai mengotak-atik laptop yang ada di dalam ruangan tersebut. Setelah menemukan apa yang diinginkannya, perempuan itu tersenyum dan mulai mentransfer salinan informasi ke perangkat miliknya yang tersimpan di suatu tempat. "Pihak keamanannya sudah mulai mencurigai lift yang tiba-tiba mati dan CCTV yang tidak berfungsi. Cepatlah bergerak." Sebuah suara terdengar di telinga perempuan itu, membuatnya dengan gerak cepat berusaha seterusnya mentransfer salinan informasi ke dalam perangkatnya. Dari hitungan 1 sampai akhirnya menuju ke 88%, membuat perempuan itu mengetuk jari-jarinya di atas meja. Sampai beberapa detik kemudian, salinan mencapai 100% dan ia langsung mematikan perangkat di hadapannya tanpa meninggalkan jejak. Baru kemudian, perempuan itu keluar dari ruangan tersebut dan melangkah menuju tangga darurat. Tujuannya menuju ke arah rooftop di mana tidak akan ada orang yang melihat kehadirannya. Sementara pihak keamanan kini sudah mulai mencurigai keanehan yang terjadi dimulai dari CCTV yang tiba-tiba saja mati, lalu ada pula lift yang tidak bisa beroperasi. Segera pihak keamanan mulai menelusuri apa yang sebenarnya terjadi. Sementara di sisi lain, Sabrina baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Gadis cantik itu meletakkan kain pel di tempat ruang penyimpanan dengan tubuh yang lelah. Senyum melebar di bibirnya saat menyadari jika pekerjaannya sudah selesai. "Kamu belum makan siang 'kan, Sab? Ayo, kita makan siang bareng sebelum pulang. Aku tahu kamu pasti kelaparan juga," ajak Riyanti. "Boleh deh, Mbak. Tadi pagi aku tidak sempat untuk sarapan." "Kenapa tidak sempat sarapan? Bukankah seharusnya kamu sudah tinggal makan saja? Kan, ada pelayan yang melayani kamu," ucap Riyanti. "Aku kesiangan tadi pagi. Makanya tidak sempat untuk sarapan. Kita makan siangnya di mana, Mbak?" "Di soto Bang Husein aja. Soalnya udah lama juga aku belum makan di soto Bang Husein," ajak Riyanti. Sabrina menganggukkan kepalanya setuju. Mereka berdua kemudian melangkah menuju soto Bang Husein yang memang terletak di depan rumah sakit. Keduanya menyeberang jalan dengan pakaian santai yang sudah berganti. Ekspresi wajah Bang Husein langsung semeringah menatap kedua perempuan yang sudah menjadi langganannya. "Udah seminggu lebih neng Riyanti dan neng Rina belum pernah makan ke sini." Sapaan terdengar dari Bang Husein menyapa indra pendengaran kedua perempuan itu. "Sibuk, Bang, kami makanya jarang ke sini." Riyanti duduk diikuti oleh Sabrina. "Pesan soto dan nasinya dua." "Sibuk memang harus setiap hari. Begitu juga dengan makan, harus setiap hari juga. Nah, di warung Bang Husein ini, Abang udah menyediakan beberapa menu makanan lainnya. Ada ayam penyet, sambal cumi, dan beberapa menu lainnya." "Wah, ini udah ada menu varian baru. Tapi sekarang ini saya cuma mau makan soto aja sama nasi. Harganya masih sama atau udah naik?" Sebelah alis Riyanti terangkat naik menatap Bang Husein. "Tetap harga semula. Cuma 15 ribu." "Tidak ada diskon? Diskon lah kami berdua dengan es teh jadi 20 ribu buat dua orang," tawar Riyanti. "Rugi kalau saya kasih diskon, Neng. Bisa-bisa tahun depan saya gulung tikar," kekeh Bang Husein. "Udah, Bang. Pesan aja sotonya dua sama es tehnya dua. Nanti Mbak Riyanti saya yang bayar," kata Sabrina. Spontan Riyanti menatap takjub pada Sabrina yang duduk di sebelahnya. "Tidak usah dibayar, Sab. Aku bisa bayar sendiri, kok. Tidak usah repot-repot segala. Tapi, kalau kamu maksa, tidak masalah 'sih." Riyanti tersenyum senang, membuat Sabrina menggelengkan kepalanya dengan segala tingkah laku Riyanti yang memang agak absurd. Selesai makan siang di warung soto Bang Husein, kedua perempuan cantik itu memilih untuk kembali ke rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit, mereka justru melihat banyak orang berkumpul di suatu tempat, membuat keduanya saling menatap kemudian mendekati kerumunan. "Ada apa ini? Kenapa di sini rame-rame?" Riyanti bertanya pada salah satu rekannya. Cukup penasaran dengan mereka yang semua berkumpul di sebuah ruang yang agak luas daripada yang lain. "Katanya ada pembobolan data di rumah sakit. Ini lagi dicari siapa pelakunya. Makanya itu, semua kita entah itu pihak rumah sakit maupun keamanan dikumpulkan di sini." Riyanti dan Sabrina saling menatap. Keduanya kemudian mulai berbaris mengikuti yang lain. Sementara kepala keamanan Rumah sakit menatap mereka satu persatu untuk menilai siapa orang yang masuk ke dalam rumah sakit untuk terakhir kalinya. "Tidak ada yang cocok dengan gambar ini. Terakhir kali perempuan ini masuk dan menghilang di lift, sejak itu juga terjadinya kekacauan entah itu lift yang tiba-tiba mati dan tidak bisa beroperasi atau CCTV yang tiba-tiba saja mati secara mendadak." Kepala keamanan memberitahu pada rekan-rekannya yang lain. Tidak lupa sambil menunjukkan wajah yang ada di potret wanita yang mengenakan blouse berwarna biru tua yang dipadupadankan dengan rok ketat selutut. "Kami akan mencari tahu siapa perempuan itu. Ada kemungkinan besar, dia bisa saja berbaur dengan pasien yang lain." Salah satu rekannya memberitahu. Ekspresi wajah kepala keamanan terlihat tenang. Tatapan matanya kemudian tertuju pada sosok perempuan muda yang kini berdiri di antara kerumunan. Wajahnya yang cantik juga kulitnya yang putih bersinar tentu menarik perhatian. "Siapa dia? Apa dia bagian dari kalian juga? Kenapa dia ada di sini?" Bu Dina, selaku kepala kebersihan langsung mengangkat tangannya menatap pada kepala keamanan. "Dia adalah Rina, pekerja baru di rumah sakit ini. Mungkin baru masuk 3 bulan bekerja di sini," jawab Bu Dina. "Apa mungkin dia ada hubungannya dengan perempuan yang ada di foto tersebut?" Bu Dina melirik pada Sabrina lalu fokus pada wajah kepala keamanan di hadapannya. "Tidak ada hubungannya. Perempuan yang ada di foto ini berkulit coklat, juga rambutnya pendek. Berbeda dengan yang ada di hadapan saya ini." Kepala keamanan mengangguk pada rekan-rekannya yang lain untuk membubarkan diri. Sementara mereka akan melakukan investigasi mencari keberadaan pelaku yang sudah membobol data keamanan rumah sakit. Direktur utama Rumah sakit kehilangan beberapa data yang agak cukup penting. Jadinya, melaporkan hal tersebut ke kantor polisi untuk melacak keberadaan pelaku. Tim cyber juga sudah dikerahkan dan mereka sedang berusaha. Sabrina yang merasa tidak ada kepentingan apapun lagi memilih untuk pulang. Perempuan muda itu naik taksi dan memasuki area kompleks setelah memberi tanda pada petugas yang berada di gerbang utama komplek perumahan. Sabrina tiba saat hari masih sangat siang. Perempuan cantik itu turun dari taksi dengan pakaian biasa yang sudah diganti olehnya. "Kita sambut kedatangan pekerja keras kita sebagai cleaning service di rumah sakit," timpal sebuah suara. Padahal Sabrina baru saja melangkahkan kakinya masuk melewati pintu utama ketika mendengar suara Warti yang sangat sinis mengalun tidak indah di telinganya. "Apa Oma memerlukan sesuatu?" Sabrina bertanya dengan nada lembutnya, pada wanita tua yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya. "Heh! Siapa yang kamu panggil Oma? Saya tidak sudi dipanggil Oma oleh perempuan seperti kamu." Warti marah-marah menatap Sabrina yang menurutnya sangat tidak enak dipandang oleh matanya. "Oke, nenek." "Siapa yang suruh kamu panggil saya nenek? Benar-benar perempuan tidak beretika. Kamu--" "Kamu sudah pulang? Udah makan siang belum?" Suara Abraham mengalun di dalam ruang tengah seraya melangkahkan kakinya menghampiri Sabrina. "Sudah, Mas. Tadi makan siang sama Mbak Riyanti di warung makan Bang Husein." Sabrina menjawab dengan tenang. "Ya udah kalau begitu, kita ke kamar. Kamu pasti sudah lelah seharian bekerja." Abraham merangkul pinggang Sabrina kemudian membawanya masuk menuju lantai 2 di mana kamarnya berada. Jangan tanyakan Warti yang kini sudah menelan emosinya melihat bagaimana Sabrina melewatinya begitu saja padahal ia belum puas untuk memaki perempuan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN