15

791 Kata
Satu bulan setelah kepergian Darian, Clara terus saja merenung, memikirkan segala alasan terkait apa yang membuat sang papah menikahkan dirinya dengan Justine. Kalau boleh Clara jujur, ia lebih membutuhkan Papahnya dibandingkan lelaki b***t yang menghamilinya lima bulan lalu. "Apa Papah hukum Clara, makanya Papah pergi?" isak Clara menatap foto mendiang sang Papah, "Cla janji buat nggak nangis Pah. Cla janji buat nggak sebut-sebut nama Justine. Papa pulang ke rumah dong." lirihnya berharap Darian akan pulang ke rumah. Clara menyesali diri yang terus saja meratap hingga kondisinya semakin lemah kala hamil. Mungkin itulah yang membuat kondisi kesehatan sang Papah ikut menurun. Kesedihannya adalah kesedihan terdalam Darian dan Clara lupa akan hal itu. "Pah, maafin Clara.. Jantung papah kambuh pasti karena mikirin Clara, ya?" Clara mengusap foto Darian. Air mata terus saja menetes. Menyesal? Tentu saja. Andai ia tak menampakkan kesedihan setelah tahu hamil. Andai ia tak terus mencoba ingin bunuh diri, mungkin Papahnya masih ada. Darian Dirgantara tak akan menutup mata. "Clara, makan dulu ya." Clara mengadahkan wajah saat wanita yang kini menjadi mami mertuanya membuka pintu kamar, bukan kamar Justine karena Clara memang memilih tidur terpisah. Ia tidak sanggup jika terus-terusan melihat wajah Justine, penyeban kemalangan dalam hidupnya terjadi. "Cla enggak lapar Mi." jawab, Clara menolak untuk makan. Seminggu yang lalu Clara meninggalkan kursi roda, kursi yang sejak beberapa bulan lalu menjadi teman setia Clara. Kehamilannya bermasalah. Kandungannya lemah. Stres menjadi penyebab utama semua terjadi. Ia tak bisa lagi menolak ketika kaki-kakinya saja ternyata tak bisa menyangga tubuhnya. "Jangan gitu, anak kamu butuh nutrisi yang cukup. Mami udah masakin makanan buat kamu. Yuk, makan." ajak Shella. Shella menggandeng pelan tangan Clara, membantu Clara untuk berjalan. Ia tahu Clara mungkin tak terbiasa menggunakan kaki-kakinya karena lebih sering menggunakan kursi roda selama ini. "Cla, kamu masih ingat kan pesan Papah Darian?! Kamu haruh hidup lebih baik, Nak. Makan ya, Sayang?!" Ya, Satu bulan ini Clara menjalankan perintah sang Papah. Hidup lebih baik, agar cucu Papanya dapat selamat ketika melihat dunia. Kelak Clara akan menceritakan, betapa Opa anak itu sangat mencitainya. Ah, Omi dan Opinya tentu saja. Sejak Clara tinggal dirumah milik keluarga Justine, Mami Justine selalu menemani wanita itu. Shella tidak ingin menantu satu-satunya terus larut dalam kesedihan. Semua kebutuhan Clara sebisa mungkin Shella dan Michell penuhi. Untuk memudahkan akses Clara pun, Michell sengaja menempatkan Clara dikamar bawah. Mereka tidak ingin terjadi sesuatu pada Clara jika harus naik-turun tangga. "Nyusahin!" dengus Justine saat melihat sang Mami yang membantu Clara untuk berjalan. Tangan Clara mengepal. Ia bertekad untuk cepat sembuh. Akan ia buktikan pada Justine bahwa ia tidak membutuhkan bantuan siapain dalam hidupnya. Terlebih anak mereka nanti. "Justine! Jaga bicara kamu!", hardik Michell keras saat menuruni tangga, "Clara istri kamu!", peringat laki-laki itu pada sang putra. "Cih, aku udah paksa dia buat gugurin anak itu. Jadi jangan salahin aku, kalau aku nggak anggap dia istri Po." "Justine!" bentak Michell kencang. Ia tidak menyangka Justine akan berbuat sejauh itu. Terlebih mulut lancang sang putra yang tidak ada akhlak. "Ah, males Justine lama-lama di sini. Mending Justine pergi." Michell mengeram kesal. Entah bagaimana caranya menyadarkan sang putra. Ia tidak ingin Justine kelak menyesali apa yang telah ia perbuat. Terlalu banyak kesakitan, Michell tidak suka itu. "Gue nggak butuh lo ada dihidup gue sama anak gue." itu adalah kalimat pertama yang Clara lontarkan pada laki-laki yang saat ini sudah menjadi suaminya. "Gue sama anak gue bakalan hidup tenang, kalau lo enyah dan jauh-jauh dari hidup kita!" Justine mengepalkan jemari tangan. Kaki-kakinya melangkah mendekati Clara, seiring dengan rahang laki-laki itu yang mengeras. Plakk... "Justine!" kali ini Shella yang memekik tajam pada Justine. Sang Mami menatap Justine tidak percaya. Bagaimana bisa anak itu melayangkan tamparan pada Clara. Ibu dari anaknya?! "Lo nggak sopan sama suami! Jadi lo pantes dapetin tamparan itu." ujar Justine tajam memandang Clara penuh kebencian. "Justine Papi nggak..." "Papi jangan ikut campur rumah tangga Justine. Ini urusan Justine sama wanita sialan ini Pi. Jadi stop ikut campur urusan Justine. Justine udah cukup menderita karena papi maksa Justine nikahin wanita ini." amuk Justine memotong ucapan Michell. "Muak Justine di sini, semua pada belain dia. Kapan kalian liat penderitaan Justine. Kapan?!" teriak Justine frustasi. Ia terlalu terlalu menguarkan kemerderitaannya. Tak ada satupun orang perduli dengan hatinya. "Lo emang cewek termunafik tahu nggak?! Gue benci sama lo!" ucap Justine lalu memilih berlalu dari hadapan ke dua orangnya. Clara mengepalkan tangannya kuat, menatap nanar laki-laki yang sialnya masih wanita itu cintai. Sayang, rasa kecewa telah merasuk ke dalam hati Clara atas perlakuan Justine selama ini. "Cla mau pulang ke tempat Cla. Cla nggak butuh ijin Papi atau Mami. Ini hidup Clara, jadi Clara mohon ijinkan Clara hidup dengan tenang mulai sekarang!" to be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN