8

1120 Kata
"Damn!" umpat Axel kala lampu mobil menyorot jelas keadaan mengenaskan Clara saat ini. Buru-buru Axel turun. Tangannya bergetar menyentuh gadis yang ia bisa nilai tak baik-baik saja. "Ax.. Ax.. " Clara melepaskan lingkaran tangan dikedua lutut. Ia bangkit dan menghamburkan diri dalam pelukkan Axel. "Axe.." panggil Clara dengan suara bergetar hebat. "Angel.." lirih Axel dengan air mata yang jatuh membasahi tubuh Clara. Gadisnya tak baik-baik saja. Gadisnya terluka, cukup dalam. Gadisnya.. Axel mencoba mengenyahkan pemikiran yang masuk ke dalam otaknya. "Apa yang dia lakuin ke kamu Cla? Apa?" tanya Axel lirih memeluk Clara. Bukannya menjawab, Clara justru semakin mengeratkan pelukkan ditubuh Axel. Sembari menangis semakin hebat, membuat hati Axel kian miris mendengar tangisan yang sarat akan luka. "Ax... Help me." rintih Clara, ia melepaskan pelukkan Axel. Mata Axel membulat saat menemukan noda merah dikaki Clara. Itu bercak darah dan siapapun pasti tahu, mereka akan memiliki pikiran negatif melihat darah mengalir dari kaki-kaki putih itu. "Dia perkosa kamu?" tanya Axel dengan mata memerah. Tidak menjawab pertanyaan Axel, Clara hanya bisa menunduk sembari menghapus air mata yang keluar dari ke dua matanya. "Mi Amor.. Jawab!" sentak, Axel. Ia butuh memastikan sesuatu untuk dapat membunuh Justine, sekalipun laki-laki itu jantung hati sepupunya sendiri. Clara menganggukkan kepalanya lemah. Ia tak mampu menjelaskan apa yang telah ia lalui. Laki-laki itu mengoyaknya, membuat Clara kesakitan. "Justine b******k!" maki Axel kencang sembari kembali membawa tubuh Clara dalam pelukkannya. "Aku anter kamu pulang ya Cla." Clara menggelengkan kepalanya cepat. "Om.." sekali lagi Clara menggelengkan kepala. "Jangan.. Jangan sampai papa tahu." lirih Clara. Ia tidak ingin membuat papanya menderita, dengan mengganggap diri tak becus menjaga satu-satunya nafas hidup dihidup lelaki itu "Ke rumahku.. Kita pulang, Cla. Kita pulang ke rumahku." Axel membungkukkan tubuhnya, dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Clara dan membawa masu ke dalam mobil. Dengan pelan Axel meletakkan Clara yang masih terisak. Tangan Clara yang bergetar masih mencengkeram erat kaos hitam Axel. Axel menatap nanar wanita rapuh di hadapannya, membawanya ke dalam pelukkan hangatnya, sekali lagi. "Aku janji, aku bakal jagain kamu Cla, aku janji Mi Amor." bisik Axel lalu mengecup puncak kepala Clara sebelum berat hati melepaskan rengkuhan tubuh wanita yang ia cintai. * "Abaaaang, itu.. Itu Clara?" tanya Jingga panik saat putranya membawa tubuh anak perempuan yang sangat ia kenal. Axel mengangguk menjawab sang Mama yang terlihat begitu terkejut melihat penampilan Clara dalam gendongannya, "nanti Abang jelasin ke Mamah, Mama sama Papah tunggu Abang diruang keluarga aja." ujar Axel lalu melangkahkan kaki menuju kamar adik perempuannya. "Grace, Abang nitip Kak Cla ya. Tolong gantiin bajunya. Baju Cla masih ada di lemari kakak." pinta Axel pada Gracia sang adik. "Abang apain Kak Cla?" tanya Gracia menatap Abangnya penuh permusuhan, mengingat penampilan Clara yang dikatakan jauh dari kata layak, tentu saja Gracia menaruh curiga teramat dalam meski itu pada kakaknya sendiri. "Nanti Abang jelasin, Abang mau ke Mamah dulu." Gracia mengangguk, lalu menatap sedih Clara yang tertidur diranjangnya. Ditto; Papa Axel, menatap sang putra dengan tatapan meminta penjelasan. Bagaimana lelaki berumur empat puluh tahunan itu tidak menatap tajam sang putra jika istrinya bercerita yang tidak-tidak mengenai anak dari relasi bisnisnya. "Jelaskan sama Papah, kenapa kondisi Clara seperti itu. Demi Tuhan Axel, kamu tahu seberapa kaya keluarga itu. Papa tidak mau kamu menjadi sasaran Papah Clara, mengingat bagaimana sepak terjang Papahnya yang arogan di dunia bisnis." Axel mengghembuskan nafas lalu menatap sang Papa dengan berani, "Tolong Papa bantu Axel, Axel mau Papah bilang sama Om Michell kalau anak tersayang-nya itu sudah memerkosa Clara dengan kejam." "Apa?" kaget Ditto. Dirinya bahkan reflek berdiri saking kagetnya. Jingga menatap putranya, mencari kebohongan. Tapi nihil, ia selalu tahu jika Axel-nya membohongi semua orang. "Just ninggalin Clara dilahan kosong Pah, Axel nggak bisa biarin itu. Papah harus bantuin Axel buat kasih anak itu pelajaran Pah." sungut Axel pada Ditto. "Jangan ikut campur urusan mereka Xel, Papah nggak mau kamu kenapa-napa." peringat Ditto mengingat bagaimana perangai Michell- sahabatnya. Laki-laki itu meski pernah juga melakukan hal yang sama, namun Michell berbeda. Michell selalu memperlakukan wanita dengan baik, terutama Shella istri laki-laki itu. "Pah!" "Axel." sentak Ditto balik, "Papah bantu, tapi kita nggak berhak mengurusi urusan yang bukan urusan kita." Jingga menggenggam tangan Axel, bibirnya tersenyum memberi ketenangan untuk Axel yang tengah dilanda emosi, "Sayang, Papah bener Nak." "Mah." lirih Axel. "Nurut sama Mamah, kamu juga sudah punya Adriana." Axel menunduk takut. "Papah akan memberitahu Om Michell, kamu tenang saja." Axel akhirnya mengangguk pasrah, dengan keputusan sang Papah. Dirinya bangkit melepaskan tangan sang Mama. "Axel, apa kamu masih mencintai Clara?" tanya Ditto membuat langkah Axel terhenti di anak tangga. "Axel sudah punya Adriana Pah, itu sudah cukup! Selamanya, Clara nggak mungkin bisa Axel genggam. Dia mencintai orang lain," jawab Axel dengan bibir bergetar. Anak itu memejamkan mata, membayangkan wajah Clara dalam sisa ingatan tentang gadis itu sebelum kembali melangkah. Sampai di dalam kamar, Axel menatap nanar tubuh yang kini terbaring lemah diranjang Grace. Air matanya tak bisa ia tahan karena lagi-lagi ia hanya bisa berdiam diri melihat sosok yang ia cintai kembali lemah hanya karena urusan cinta. "Grace.. Abang nggak bisa menjaganya.. Dia.. Dia terlalu mencintai Justine, sama seperti laki-laki itu dulu." Grace membelai punggung Axel yang bergerak naik turun karena terisak. Sudah lama ia tidak melihat abangnya seperti ini. Lama sekali, paska wanita yang terbaring itu menangis karena ditinggal mati oleh kekasihnya dulu. "Masih ada Kak Adriana, Bang. Kak Adri nungguin Abang. Please, Abang nggak boleh begini." Axel bangkit dari duduknya. Masih dengan air mata yang mengalir, ia membungkukkan tubuh, mengecup kening Clara berulang kali. "Mi Amor, disini ada aku. Jadi bangkitlah kembali. Aku selalu menjagamu, Angel." bisik Axel ditelinga wanita yang sejak dulu menyinggahi hatinya. Katakanlah Axel bukan lelaki baik yang dengan mudahnya mengatakan kata cinta untuk wanita lain, selain kekasihnya Adriana. Tapi melihat Clara dengan keadaan seperti ini, membuat Axel tak lagi bisa diam, menahan diri atas apa yang sahabatnya lakukan pada wanita yang dia cintai. Persetan dengan Adriana, toh selama ini wanita itu tahu hubungan mereka hanyalah sebuah kerja sama untuk saling melupakan siapa sosok yang sebenarnya mereka cintai. "Setelah ini, meskipun kamu berteriak memintaku untuk tak mengenalmu, aku nggak akan pernah mengabulkan itu Cla. Nggak akan pernah." ucap Axel sebelum meminta adiknya untuk menjaga Clara. Ia tidak sanggup melihat wajah pucat Clara terlalu lama. Itu mengingatkan akan ketidakmampuannya menjaga Clara. Menyandarkan diri di pintu kamar Gracia yang tertutup, Axel membekap bibirnya saat isakkan tak lagi bisa ja tahan. Todavía amo a esa mujer, mucho! Mi amor, Mi Amor, dan setelahnya tubuh Axel rubuh, meraung merasakan rasa sakit dan sesak didadanya karena mencintai satu wanita. to be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN